Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.
Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.
Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.
Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arena Pemecah Gelombang
Dua orang pria berlutut di sebuah aula kecil. Salah satunya memiliki perawakan yang tidak terlalu besar dengan pakaian dan gaya rambutnya yang rapi. Wajah orang itu tidak terlalu tua dengan kulit coklat kemerahan khas penduduk pesisir pada umumnya.
Pria yang lainnya bertubuh lebih besar yang kekar—wajahnya juga tidak terlalu tua. Otot-otot besar miliknya nampak sempurna menyatu dengan kulitnya yang juga coklat kemerahan. Terlihat tangan kiri pria besar itu terbalut dengan kain yang terkait rapi di leher.
Di hadapan mereka berdua duduk seseorang yang berwibawa dengan kaki kanan terlipat di atas kaki kirinya. Punggungnya bersandar malas, kepalanya ditopang oleh tangan kanan, matanya menatap tajam ke arah kedua pria yang sedang berlutut itu dengan pandangan merendahkan.
Dengan suara berat yang menghina ia berkata, "Tanganmu dipatahkan seorang anak kecil?"
Kedua pria yang berlutut itu hanya diam, wajah mereka tertunduk tidak berani merespon sama sekali.
"Bagus, aku penasaran bagaimana bentuk monster yang kalian bicarakan itu."
Suara yang berat dan dingin itu seolah menggetarkan jiwa orang yang mendengarnya.
...****************...
Anul keluar dari sebuah toko sembari menjinjing beberapa bingkisan di tangan. Hampir semua persediaan yang habis kini sudah ia beli.
Sebelum meninggalkan penginapan, ia, Arum dan Biro sudah membagi tugas untuk mencari barang untuk bekal di perjalanan. Mereka bertiga harus mempersiapkan persediaan yang sangat banyak agar bisa cukup selama perjalanan menuju kota selanjutnya—Kota Awan Petir.
Menyusuri jalanan kota yang ramai, Anul melangkah perlahan, setiap kakinya terasa mantap menapaki batu-batu yang sedikit berderak di bawah alas kakinya.
Lentera-lentera besar tergantung di tiang setinggi dua kali orang dewasa, berjajar rapi sepanjang jalan utama. Cahaya hangat menembus gelap malam, menciptakan bayangan yang bergerak lembut. Di bawah sinar itu, kehidupan kota tetap berdenyut—para pedagang menata dagangan mereka, anak-anak berlari-larian, sementara beberapa warga hanya berjalan santai, menikmati kesejukan malam yang dipenuhi aroma rempah dan suara percakapan hangat.
Di sebuah persimpangan jalan, Anul berbelok untuk menuju ke penginapan yang berada agak ujung dari jalan itu.
Di dalam kamarnya, ia menyusun belanjaannya di atas meja. Ia lalu menghitung uang yang kini tersisa di sakunya.
Dua koin emas, tiga puluh koin perak dan tujuh belas koin perunggu tampak berjejer rapi di atas meja ketika ia selesai menghitung.
Tok tok...
Suara pintu yang diketuk dari luar menggema tepat ketika ia hendak merapikan koin yang ada didepannya. Segera ia masukan koin itu ke kantung uang miliknya dan membuka pintu. Seorang pelayan perempuan berdiri di depan pintu, tangannya menyodorkan sebuah amplop putih dengan gaya elegan, wajahnya menunduk menunjukan rasa hormat.
"Tuan, seseorang memintaku untuk mengirimkan surat ini." nada lembut pelayan perempuan itu sangat enak didengar.
Melirik sebentar kearah surat itu, Ia mengambilnya dengan hati-hati. "Baiklah, terimakasih."
Pelayan perempuan itu segera pergi.
Anul kembali masuk ke kamarnya dan menutup pintu perlahan. Memperhatikan amplop surat yang ada ditangannya secara seksama, tapi tidak ada petunjuk apapun tentang asal-usul surat itu. Tanpa pikir panjang ia mengeluarkan selembar kertas yang terlipat dari dalam amplop.
Besok, Jam 8 pagi. Arena Pemecah Gelombang
Pada kertas yang ia pegang itu hanya ada beberapa kata yang menyebutkan waktu dan sebuah tempat yang terdengar seperti sebuah arena pertarungan. Tidak ada lagi penjelasan lain di surat itu.
...****************...
Di lorong sempit pintu masuk sebuah bangunan yang cukup megah, Anul, Arum, dan Biro berjalan berdesakan ditengah kerumunan orang yang hendak menonton pertandingan beladiri.
Tempat itu adalah salah satu tempat paling populer di Kota Gelombang—Arena Pemecah gelombang.
Sesuai namanya, di tempat ini orang-orang akan saling bertarung—biasanya dalam konsep pertarungan satu lawan satu.
Mereka yang bertarung memiliki berbagai motif, ada yang ingin menyelesaikan konflik, mendapat ketenaran, atau bahkan menghasilkan uang. Bagi mereka yang berkonflik biasanya akan menandatangani perjanjian hidup dan mati. Sedangkan untuk mereka yang hanya mencari ketenaran atau menghasilkan uang, tidak perlu bertarung sampai ada yang mati.
Mereka cukup membuat lawan mereka tidak berdaya atau menyerah. Beberapa orang yang berdarah panas terkadang naik ke atas arena untung menantang siapa pun yang ingin melawan mereka tanpa mengharapkan apa pun, murni berlatih dengan bertanding.
Bagian yang membuat Arena itu selalu ramai penonton bukanlah pertarungan yang terjadi di arena walaupun ada sebagian kecil orang yang murni menikmati jalannya pertarungan, melainkan adanya pertaruhan yang dibuka beberapa saat sebelum sebuah pertarungan dimulai.
Perbandingan dan sistem taruhan di arena itu terkenal adil. Reputasi itu terus dipertahankan sedari awal berdirinya Arena Pemecah Gelombang yang membuat Arena itu selalu ramai oleh penonton setiap harinya.
Di tengah bangunan yang megah itu, berdiri sebuah arena batu setinggi dua meter yang sangat luas.
"Hari ini aku pasti kaya,"
"Apakah pria itu akan bertanding lagi hari ini?"
"Semoga saja aku menang, aku akan mempertaruhkan semua uangku.."
Riuh suara penonton yang hadir memenuhi seluruh sisi gedung.
Bangunan itu sangat besar dengan bentuk lingkaran. Tempat duduk yang tersusun melingkar mengikuti bentuk bangunan dengan struktur yang bertingkat, tersusun rapi mengelilingi arena—semakin kebelakang semakin tinggi. Tempat duduk paling rendah masih lebih tinggi beberapa meter dari arena dan jarak titik tengah arena ke bangku terdekat sekitar tiga ratus meter. Pengaturan seperti ini memastikan penonton bisa menyaksikan dengan jelas pertarungan yang terjadi di arena sekaligus menjamin agar efek dari pertarungan tidak melukai orang yang menyaksikan.
Semua orang yang tadi berdesakan masuk, sebagian besar sudah mengambil tempat untuk duduk, tidak ada sistem tiket di Arena Pemecah Gelombang. Beberapa orang yang terlihat seperti pengurus tempat itu berdiri bergerombol di bawah Arena. Bejalan dengan santainya, seorang pria paruh baya berjalan menapaki tangga satu persatu untuk menaiki Arena.
Diatas arena ia mengangkat satu tangan dan berteriak keras.
"Seperti biasa, tanpa aturan, hanya bertarung hingga tidak berdaya atau mati!!"
Momentum yang diberikan oleh kalimat itu memacu detak jantung setiap orang yang mendengarnya. Suara gemuruh orang-orang yang menyaksikan langsung menyahut bagai gemuruh yang menjalar menunjukan betapa mereka sangat bersemangat. Setelah mengucapkan kalimat itu, pria itu turun begitu saja tanpa ada kata-kata selanjutnya—Arena dibuka seperti itu saja.
"Huaaaahhhh..."
Menggantikan pria paruh baya tadi, kini berdiri orang lain yang sepertinya akan menjadi wasit.
"Yang ingin bertarung silahkan maju."
Merespon perintah orang itu, seseorang meloncat maju dari bangku penonton. Tubuhnya tinggi, tidak terlalu berotot tapi tidak juga terlalu kurus, rambutnya terikat kebelakang, wajahnya masih muda, umurnya berkisar antara dua puluh sampai tiga puluh tahun.
Tatapannya tajam seperti pedang yang menunjukan tekadnya yang sekokoh karang. Ia berdiri dengan gagahnya di tengah arena sambil menatap berkeliling mencari seseorang. Tepat ketika menemukan orang yang Ia cari, tangannya mengulur dengan telunjuknya yang teracung mengarah ke tempat dimana Anul, Biro, dan Arum duduk.
"Dia menunjukmu!" seru Arum tersenyum puas, "Kau sepertinya lumayan menarik bagi pria..." lanjutnya dengan tatapan mengejek ke arah Biro.
Anul hanya tersenyum tipis, menepuk pundak Biro.
Dengan keringat di dahinya, Biro berdiri dan dengan sedikit kikuk menunjuk wajahnya sendiri. "A..a...ku??"