"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"
**
Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.
bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..
jangan lupa Follow ig Author
@nona_written
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26 kamu tetap miliku
Langit Bali sore itu terlihat seperti lukisan yang belum selesai. Gradasi oranye, merah muda, dan semburat ungu menjuntai di cakrawala, seolah menyimpan ribuan kata yang tak pernah sempat diucapkan. Ombak berlari ke bibir pantai lalu kembali, terus berulang tanpa lelah—seperti kenangan yang masih mengendap di dalam hati Zhavira.
Sudah tiga bulan ia tinggal di Bali. Menyendiri dari hiruk-pikuk Jakarta. Menyembuhkan luka, membangun hidup baru, dan berusaha melupakan—meski nyatanya, tak semudah itu.
Ponselnya bergetar siang tadi.
Gio: “Zha, aku di Bali. Kalau kamu nggak keberatan, aku ingin bertemu. Hanya ngobrol sebentar, di pantai favoritmu. Minggu sore?”
Zhavira menatap pesan itu lama sekali sebelum akhirnya membalas.
Zhavira: “Baik. Pantai Petitenget. Jam lima.”
**
Ketika matahari mulai condong ke barat dan angin pantai membawa aroma laut yang khas, Zhavira melangkah perlahan di atas pasir. Ia mengenakan dress putih sederhana, rambutnya dibiarkan tergerai tertiup angin. Wajahnya tenang, tapi dadanya terasa sesak.
Dari kejauhan, sosok itu berdiri. Masih dengan gaya santainya, celana kain dan kemeja lengan digulung, sandal jepit dan rambut agak acak karena angin. Gio.
Mereka saling pandang beberapa detik sebelum akhirnya Gio tersenyum kecil. Senyum yang pernah membuat Zhavira merasa aman… dan kini justru membangkitkan semua yang berusaha ia kubur.
“Aku hampir nggak mengenalimu,” kata Gio perlahan saat mereka sudah berdiri beberapa meter saja.
“Kau hanya lupa seperti apa aku saat tidak menangis,” jawab Zhavira tenang.
Gio tertawa lirih. “Kau masih tajam seperti dulu.”
Mereka mulai berjalan menyusuri bibir pantai. Ombak menyentuh kaki mereka yang telanjang, dan langit berubah semakin indah di atas kepala.
“Kenapa kamu ke Bali?” tanya Zhavira, tak menatapnya.
“Liburan. Juga… ingin lihat kamu,” jawab Gio jujur.
Zhavira menatapnya kali ini. “Sudah empat bulan.”
“Iya,” gumam Gio. “Tapi rasanya lebih lama. Sejak hari itu… aku nggak pernah benar-benar berhenti mikirin kamu.”
Zhavira menghela napas. Angin membawa aroma garam dan kenangan.
“Aku di sini karena ingin sembuh, Gio. Karena aku tahu… kalau aku tetap di Jakarta, aku akan terus berada di siklus yang sama.”
Gio menunduk. “Kamu bahagia di sini?”
“Aku belum tahu. Tapi setidaknya aku mulai bisa bernapas.”
Mereka terdiam. Matahari hampir menyentuh garis laut, meninggalkan cahaya keemasan yang menerpa wajah mereka.
“Zha,” kata Gio akhirnya. “Kamu pernah bilang, semua orang punya kesempatan kedua.”
Zhavira menoleh. “Aku juga bilang, tidak semua kesempatan kedua harus diberikan.”
Gio menatapnya. Ada luka dan harap yang bercampur jadi satu.
“Kamu mencintaiku?” tanya Gio, suaranya nyaris seperti bisikan.
Zhavira menatap mata itu, lama sekali, sebelum akhirnya menggeleng.
“Tidak seperti dulu,” jawabnya. “Rasa itu pernah ada. Tapi saat kamu pergi… saat kamu memilih diam ketika aku butuh kamu… aku kehilangan banyak hal. Termasuk percaya padamu.”
Gio tersenyum sedih. “Kamu berubah.”
“Aku belajar. Sakit membuatku belajar.” Zhavira menunduk, menggenggam tangan sendiri. “Aku bukan perempuan yang bisa terus-menerus menyembuhkan orang lain, sementara aku sendiri rusak.”
Langit kini benar-benar jingga, dan ombak terus berlari, seakan tak peduli pada dua hati yang sedang bertabrakan dengan masa lalu.
**
Ketika matahari akhirnya menghilang sepenuhnya ke balik cakrawala, dan langit menyisakan semburat biru gelap, mereka masih berdiri di sana.
“Kalau suatu hari nanti kamu benar-benar pulih,” kata Gio, “dan kamu melihat ke belakang… ingat bahwa aku pernah mencintaimu dengan caraku sendiri. Meski cara itu salah.”
Zhavira mengangguk pelan. “Dan aku pernah mencintaimu tanpa sisa, meski akhirnya aku belajar menyisakan sedikit untuk diriku sendiri.”
Mereka berpisah tanpa pelukan, tanpa genggaman tangan. Hanya satu pandangan terakhir, dan langkah kaki yang menjauh ke arah berbeda.
**
Langit Bali sore itu diliputi warna orange kemerahan. Angin laut menyentuh jendela apartemen Zhavira yang menghadap ke pantai Seminyak, membawa aroma asin yang mengingatkan pada luka lama yang belum kering. Di dalam ruangannya yang sederhana namun hangat, Zhavira baru saja menyimpan sandal ke rak, tubuhnya masih menyisakan debu pasir. Ia baru saja pulang dari berjalan-jalan bersama Gio—pria dari masa lalunya, seseorang yang dulu pernah menjadi bagian penting hidupnya sebelum Makes.
Empat bulan lalu adalah terakhir kalinya ia melihat Gio, di sebuah pantai di Jakarta. Pertemuan yang kala itu berakhir dengan luka, dengan kalimat-kalimat yang menggantung. Kini mereka bertemu lagi—secara tak terduga di Bali, di tempat Zhavira membangun ulang dirinya, dan berusaha melupakan semuanya.
Namun, semuanya tampak rumit kembali sejak pertemuan tadi sore.
Ponsel Zhavira yang ia letakkan di atas meja makan tiba-tiba bergetar keras. Nama itu muncul di layar. “Makes Rafasya”.
Jantungnya langsung berdetak tak karuan. Entah kenapa, setiap kali nama itu muncul, tubuhnya seolah memberi reaksi otomatis—campuran rasa bersalah, rindu, dan kebingungan. Ia mengabaikannya. Tak ingin bicara malam ini. Belum siap.
Namun suara bel pintu yang berdentang keras lima menit kemudian membuatnya terlonjak.
Zhavira bergegas ke pintu. Dan di baliknya, berdiri pria itu—Makes. Dengan kemeja putih yang digulung ke siku, wajahnya tegang, dan sorot mata tajam penuh emosi yang tidak bisa disembunyikan.
“Kamu baru pulang?” suara Makes terdengar datar, namun matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata.
Zhavira diam sejenak. “Iya. Dari pantai.”
“Dengan Gio?”
Pertanyaan itu menampar lebih keras dari dugaan Zhavira. Ia tak menjawab, hanya menunduk, menarik napas dalam-dalam. “Kamu ngikutin aku?”
“Kamu pikir aku nggak bakal tahu?” suara Makes meninggi, lalu segera menurun lagi, seolah menahan diri. “Aku punya orang yang lapor ke aku, Zha. Aku tahu kamu ketemu Gio hari ini. Dan aku juga tahu dia yang ngajak kamu ke pantai. Sunset. Seharian, ya?”
Zhavira menarik langkahnya mundur. “Dia temanku. Kami hanya bicara. Tidak lebih.”
Makes melangkah masuk tanpa dipersilakan. Ia berdiri di tengah ruang tamu, seakan mencoba mengatur napas yang sudah memburu sejak tadi.
“Teman?” dia menoleh cepat. “Zha, kamu bahkan nggak pernah kasih aku kesempatan untuk bicara seintim itu selama tiga bulan ini. Tapi kamu bisa duduk bareng Gio? Jalan berdua? Sore-sore di pantai?”
Zhavira menegakkan tubuhnya. “Karena aku belum siap, Makes. Aku belum bisa percaya sepenuhnya lagi sama kamu. Aku butuh waktu. Dan Gio… dia cuma bagian dari masa lalu yang datang tanpa aku duga.”
Makes menghela napas panjang, melangkah mendekat. Kini wajah mereka hanya terpisah satu jengkal. Mata pria itu menatap dalam, menyimpan kemarahan yang diselimuti rasa takut.
“Kamu tahu aku lagi berusaha, Zha. Aku pindah ke Bali bukan cuma buat proyek. Aku mau deketin kamu. Mau baikin semua yang rusak. Tapi kamu… kamu masih menjauh.”
Zhavira menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca. “Aku nggak bisa pura-pura semuanya baik-baik aja, Makes. Kita bukan cuma hancur karena kesalahan satu hari. Aku terluka, sangat… dan sekarang kamu tiba-tiba muncul lagi, berharap semuanya bisa langsung sembuh?”
“Maka dari itu aku sabar, Zha. Aku nunggu, aku dateng ke kantor tiap hari, ngajak kamu makan siang meski kamu selalu nolak. Aku tahu itu bagian dari proses. Tapi setelah semua itu, kamu malah buka pintu buat Gio?”
Suara Makes pecah. Kali ini bukan marah, tapi lebih seperti kecewa dan takut. Sorot matanya melembut, namun justru terasa semakin menyesakkan.
Zhavira memejamkan mata. “Dia cuma ingin menutup cerita kami yang dulu belum selesai.”
“Dan kamu?” Makes berbisik, nyaris tak terdengar. “Apa kamu juga belum selesai?”
Pertanyaan itu membuat segalanya hening. Hanya suara detak jam di dinding dan angin dari laut yang masuk lewat jendela terbuka. Zhavira ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Karena yang dia rasakan sekarang adalah kekacauan. perasaan terhadap Makes yang perlahan tumbuh lagi, dan kenangan bersama Gio yang datang mendadak seperti badai.
“Aku nggak tahu,” katanya akhirnya. Jujur. Lelah. “Aku lagi mencoba memahami diriku sendiri.”
Makes mengangguk pelan. Wajahnya tegang, tapi ada luka di matanya yang tak bisa disembunyikan.