Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.
hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.
selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 7 Perjalanan Pertama.
Karina mengemas beberapa baju ke dalam tas ransel hitamnya, jumper merah kesayangannya juga tidak lupa ia bawa. Sore ini, Karin dan Nia berniat untuk mengunjungi kerabat Nia di Bandung. Setidaknya, itulah yang ia katakan pada bu Nurma. Alasan sebetulnya tentu saja, mencari alamat rumah lamanya di Bandung. Beruntung Nia memiliki seorang tante di sebuah kecamatan di Bandung yang tidak jauh dari alamat yang mereka cari.
“Rin, jangan lupa bawa jaket ya. Bandung dingin kalau malam.”
Bu Nurma membuka pintu kamar Karin yang tidak terkunci. Menyerahkan sebuah dompet kecil berisi obat-obatan seperti minyak angin, obat pereda nyeri dan obat flu.
“Ini, dibawa. Buat jaga-jaga kalau kamu gak enak badan.”
Karin menerimanya dengan lega, ibunya tak mempermasalahkan kepergiannya, begitu gumam Karin dalam hati.
“Minggu sore harus sudah sampai rumah ya Nak. Gak boleh sampai malam.”
“Iya ma.”
“Siapa nanti yang jemput kalian di stasiun?”
“Sepupunya Nia, Ma.”
“Langsung kerumah tantenya Nia kan, Rin?”
Bu Nurma memperhatikan Karin bersiap-siap, memasukan beberapa barang pribadi dan ada beberapa buku yang Karin masukan.
“Iya ma. Gak akan kemana-mana kita kalau malam kok ma.”
Karin membaca kekhawatiran ibunya. Mencoba menenangkan wanita berusia 43 tahun yang sangat ia sayangi itu.
“lagian kenapa gak berangkat besok pagi aja si Rin, biar gak kemalaman dijalan.”
“Kalau berangkatnya besok, waktu kita buru-buru ma. Kan Karin libur sekolahnya cuma sabtu minggu. Makanya kita berangkatnya Jumat sore ini aja, biar besok pagi udah disana.”
“Memang mau ngapain sih kok gak bisa buru-buru.”
Ups, hati-hati Karin, kata hatinya, jangan sampai keceplosan. Mama tidak boleh sampai tau misi besar yang membawanya harus sampai ke Bandung. Tidak, belum boleh untuk saat ini.
“Cuma mau ketemu saudara Nia ma. Cuma kan sekalian aja kita jalan-jalan. Gak asik kalau waktunya mepet.”
Karin segera menyudahi beberesnya, ia tak mau bu Nurma semakin mengulik tujuan kepergiannya ke kota yang memiliki banyak kenangan masa lalu untuk bu Nurma. Ia kenakan jumper merah dan menggendong tas ransel hitam, berpamitan dengan ibunya dan segera meluncur stasiun menggunakan ojek online. Karin dan Nia berjanji untuk bertemu di stasiun Jati Negara sore itu.
Karin melirik ponselnya, 18.30 WIB. Masih ada waktu 11 menit sebelum kereta yang akan mereka tumpangi meninggalkan stasiun. Karina duduk memangku tas ranselnya dengan sesekali mencari-cari keberadaan sahabatnya diantara keriuhan orang-orang yang berlalang menggeret koper atau membawa tas dan tentengan.
Jam 18.38, rangkain gerbong kereta yang akan membawanya ke kota kembang sudah berada pada jalurnya. Matanya belum juga menangkap sosok yang dicari, dan ia mulai cemas. Sudah beberapa kali ia mencoba mengirim pesan tapi belum juga ada balasan.
“Kak, lu nyariin kak Nia kan?”
Sebuah suara mengejutkan Karin yang sedang berusaha menghubungi Nia. Dan lebih terkejut lagi saat ia melihat siapa yang ada dihadapannya.
“Dimas?! Lu ngapain disini?”
Dimas menunjukan tiket kereta elektronik di ponselnya.
“Kak Nia yang kasih ini ke gue. Dia gak bisa nemenin lu. Nyokapnya mendadak sakit. Udah critanya tar di kereta. Ayok masuk gerbong.”
Dimas mengambil alih tas ransel Karina dari pangkuan kakaknya, tak memberi kesempatan Karina bertanya lebih lanjut, ia berjalan memasuki gerbong sesuai yang tertera dalam tiket.
“Lu pamitnya gimana ke mama?”
Karina tidak sabar untuk segera menginterogasi adiknya, tepat setelah ia duduk dalam kursi kereta. ia tak hanya khawatir misinya akan gagal jika sampai ibunya tahu tujuan kepergiannya, tapi juga khawatir bagaimana nasibnya di Bandung tanpa Nia.
“Ijin camping ama temen-temen”
“Trus Nia cerita apa aja ke lu?”
“Semuanya. Semua rencana lu nyari papa.”
Karina menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia berharap Dimas bisa mengerti alasan yang ia katakan pada Nia untuk mencari keberadaan pak Budiman di Bandung.
“Udah tenang aja. Apapun tujuan lu nyari papa, gue dukung. Nia juga udah pesen ama sepupunya buat jemput kita distasiun. Semua udah Nia atur.”
Dimas menenangkan kakaknya yang terlihat panik dan cemas.
Kereta melaju, deru roda besinya menemani lamunan Karin yang sudah lebih dulu sampai ke Bandung. Apakah ia akan menemukan papanya, apakah papa masih hidup, apakah papa akan mengenalinya. Pertanyaan-pertanyaan itu tak mampu ia tepikan. Ia tak hanya berharap bahwa ia akan mendapat kabar baik disana, tapi ia lebih berharap lagi bahwa ketakutan yang menyelimutinya tidak akan terjadi.
Dimas menutup telinganya dengan headphone sepanjang perjalanan. Bukan untuk mendengarkan musik sepenuhnya, Dimas sedang berusaha mengalihkan kegundahan hatinya. Diantara mereka berdua, sebetulnya Dimas-lah yang paling cemas. Selain dia tidak pernah mengenali wajah ayahnya, Dimas juga tidak mengerti mengapa kakaknya secara tiba-tiba dan diam-diam berniat mencari ayah mereka hingga ke Bandung. Apakah ini terjadi karena omongannya saat dia terpergok berkelahi waktu itu? Entahlah, Dimas hanya bisa meredam kegugupannya dengan mendengarkan musik yang hanya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
“Dim?”
Karina memecah keheningan yang tercipta dari buah-buah kesibukan pikiran mereka masing-masing, memanggil adiknya yang Nampak seolah sedang menikmati perjalanan dengan memejamkan mata dan headphone yang diam ditelinga.
“Hmm…” Dimas menyahut, memang sebetulnya tak ada musik yang betul-betul ia simak.
“Kalau umur gue gak panjang, lu bisa kan gue percaya buat jagain mama?”
“Trus ngapain kita nyari papa kalau ujungnya elu yang pergi ninggalin kita?”
Dimas enggan membuka mata untuk menanggapi pertanyaan kakaknya, ia tidak terlalu memahami arah pembicaraan itu. Karina yang berharap Dimas balas menatapnya, pada akhirnya melemparkan arah padangnya menatap pohon-pohon dan bangunan-bangunan yang seolah berlari kencang saling susul menyusul, seiring laju kereta dari luar kaca jendela samping tempat duduknya.
“Bisa gak lu?”
Tak puas karena diabaikan, Karin mengulang pertanyaannya.
“Apaan sih kak? Yang ada diotak lu sekarang apa sih sebenernya?
Dimas jengah juga, dilepasnya benda bersuara lirih dari telingannya untuk menatap kakaknya dengan serius. Sementara justru yang ditatapnya balas mengabaikan.
“Lu yang tiba-tiba mau nyariin papa aja udah aneh buat gue. Jangan ditambahin lagi ama pikirin elu yang aneh-aneh deh.”
“Apanya sih yang aneh? Orang nyari papanya sendiri kok aneh sih?”
Kakak beradik ini kini saling bertatapan, saling berhadapan. Berusaha untuk mempertemukan rasa tak mengerti dengan rasa ingin mengungkapkan yang ternyata sulit untuk disatukan.
“masalahnya kita gak tau kak papa itu masih ada atau enggak.”
“Papa masih ada kok.”
“Tau dari mana papa masih idup? Kalau emang masih idup napa gak nyariin kita dari dulu?”
“Ya itu yang mau gue cari tau. Kenapa papa gak nyariin kita selama ini.”
“Lagian yakin banget kalau papa masih ada. Tar kalau kenyataanya gak gitu elu sedih lagi. Down lagi. Gue lagi yang repot.”
“Papa masih ada Dimas…”
“Tau dari mana sih lu kak??”
Dimas gemas dengan kekerasan hati kakaknya. Malas berdebat lebih panjang ia bermaksut kembali memasang headphone dan ingin menghabiskan sisa setengah perjalananya dengan berusaha menghindari pembicaraan yang baginya sia-sia. Kesediaannya menggantikan Nia menemani Karin mencari pak Budiman semata-mata ingin memastikan kakaknya baik-baik saja di kota Bandung. Ia tak memiliki minat yang berlebihan dengan mengharap bertemu ayahnya atau sekedar mendengar kabar apakah ayahnya masih hidup atau memang betul sudah tidak ada lagi di dunia ini.
“Papa sendiri yang kirim pesan ke nomer gue.”
Karin menyahut lirih sembari menghembuskan nafasnya perlahan menatap jendela. Namun Dimas cukup bisa mendengar jawaban Karin yang membuatnya berpaling wajah dengan cepat dan mendelik kaget.
“Apa???”
***