Evelyn, penulis webtoon yang tertutup dan kesepian, tiba-tiba terjebak dalam dunia ciptaannya sendiri yang berjudul Kesatria Cinta. Tapi alih-alih menjadi tokoh utama yang memesona, ia justru bangun sebagai Olivia, karakter pendukung yang dilupakan: gadis gemuk berbobot 90kg, berkacamata bulat, dan wajah penuh bintik.
Saat membuka mata, Olivia berdiri di atas atap sekolah dengan wajah berantakan, baju basah oleh susu, dan tatapan penuh ejekan dari siswa di bawah. Evelyn kini harus bertahan dalam naskahnya sendiri, menghindari tragedi yang ia tulis, dan mungkin… menemukan cinta yang bahkan tak pernah ia harapkan.
Apakah ia bisa mengubah akhir cerita sebagai Olivia? Atau justru terjebak dalam kisah yang ia ciptakan sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26.Makan siang bersama.
Angin siang bertiup lembut, membawa aroma bunga dari taman sekolah ke atap yang sepi itu. Kotak bekal di pangkuan Owen terasa hangat, tapi tidak lebih hangat daripada sensasi yang memenuhi dadanya saat ia melirik Oliv. Gadis itu duduk di sampingnya, menatap langit biru dengan mata yang berkilau terkena cahaya matahari.
Suasana hening, hanya suara burung dari kejauhan dan gesekan dedaunan yang terdengar. Owen menelan sisa makanan di mulutnya, lalu berdehem pelan.
“Kau selalu punya cara…menggodaku,” katanya, suaranya nyaris seperti gumaman.
Oliv menoleh, alisnya terangkat. “mengoda siapa?,maksudmu aku mengodamu begitu?.mimpi kau Owen.untuk apa aku menggodamu apa didunia ini sudah tidak ada laki-laki lain?.”
"Terus apa maksudmu?, tidak ada yang menyuruh kau buat ku bekal dan juga kamu mau berduaan dengan ku di atap. Kalau bukan menggodaku terus apa?. "
"Aku jelaskan ya!, aku buat bekal mu karena mamaku buat bekal kelebihan, bukannya sayang kalau tidak di makan dan aku bawa kesini juga bukan mau berduaan dengan mu. "
"Sudah lah, katakan saja kamu suka padaku dan tidak perlu mencari-cari alasan. Aku sudah biasa disukai wanita, jika itu kamu aku pikirkan. "
"Kamu hari ini salah minum obat?. "
Tiba-tiba saja pembicaraan mereka berdua terganggu dengan kedatangan Luna, Leo dan Damian.
"Kalian sudah disini? " Tanya Luna yang didepan mereka.
"Hai!. "
"Mana kotak bekalnya, kata Luna kamu bawa untuk kami. Aku bosan makanan di kantin, jadi pingin makanan rumahan. " Ucap Damian yang duduk diantara Owen dan Oliv.
Damian dengan santainya langsung membuka kotak bekal yang tersisa di samping Oliv. “Wah, ayam goreng buatan rumah! Jauh lebih enak dari menu kantin. Kau benar-benar pahlawan hari ini, Oliv.”
Oliv menatap Damian dengan kesal. “Hei! Itu bekal untuk—”
“—semua orang, kan?” potong Leo sambil ikut duduk, mengambil sepotong roti dari kotak lain. “Jangan pelit, kita kan satu tim.”
Owen yang sejak tadi terdiam, akhirnya bersuara. Nada suaranya dingin tapi matanya sedikit menyipit ke arah Oliv. “Jadi… kau memanggilku ke sini bukan untuk berdua?”
Oliv menatapnya, lalu menghela napas panjang. “Owen, kau benar-benar salah paham. Aku tidak berencana menggodamu. Aku cuma tidak mau makan sendirian, jadi sekalian mengajak kalian semua. Dan lagi, Damian sudah merengek sejak pagi minta bekal.”
Damian pura-pura batuk kecil. “Ah, iya… merengek karena aku lapar jadi aku menghubungi Oliv untuk membawakan bekal rumahan ke sekolah.Dan Oliv meminta kami ke atap setelah jam istirahat.”
"Kalian semua punya nomernya Oliv? " Tanya Owen dengan nada meninggi.
"Iya! " Jawab mereka serentak.
"Oliv, kamu beri mereka nomermu dan aku tidak pernah kamu beritahu aku. "
"Untuk apa?. "
"Untuk apa katamu!, ini tidak adil Liv. " Ucap Owen kesal.
Mereka bertiga melihat pertengkaran mesra mereka berdua, membuat Damian gatal mengoda Owen.
"Aku sudah pernah katakan, jangan terlalu benci sama Oliv dan sekarang kamu tertarik dengan nya kan!. "
Oliv memukul bahu Damian dengan sumpit kayunya. “Diam, atau aku tidak akan pernah bawa bekal lagi untukmu!”
Leo tertawa kecil sambil menatap Owen. “Tapi aneh juga, ya. Dari semua orang, kenapa kau memanggil Owen pertama kali? Bukan Damian atau aku?”
Oliv tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Owen yang masih menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. “Karena… dia sekelas dengan ku, jika kamu, atau kamu sekelas dengan ku aku ajak dulu. Jadi aku bawa dia duluan.begitu saja dipermasalahkan.”
Owen berdecak pelan, tapi sudut bibirnya terangkat samar. “Hm..ph. Jadi maksudmu aku ini beruntung sekelas dengan mu?”
“Sudah jelas,” balas Oliv cepat, meski pipinya sedikit bersemu.
Suasana menjadi hangat. Luna yang sejak tadi diam hanya duduk di pinggir, menyandarkan punggung ke pagar atap. Ia menatap Oliv dan Owen sekilas, seolah ingin berkata sesuatu, tapi akhirnya hanya menarik napas dan membuka bukunya.
Damian menggigit ayam goreng sambil berseru, “Jujur saja, kalian ini cocok. Setiap hari bertengkar, tapi tetap saja bareng-bareng. Kalau bukan jodoh, apalagi?”
Leo tertawa. “Betul. Kalau suatu hari kalian pacaran, ingat, aku yang jadi saksi pertama!”
Oliv menatap keduanya tajam. “Kalian berdua ini mau makan atau mau cari masalah?”
Damian dan Leo serempak pura-pura serius mengunyah. Owen, yang melihat Oliv marah-marah, hanya tersenyum kecil sambil memandanginya. Entah kenapa, bahkan saat marah pun, gadis itu selalu terlihat… berbeda di matanya.
Saat bel sekolah berbunyi tanda akhir istirahat, mereka semua membereskan bekal. Damian dan Leo berlari duluan, bercanda sambil membawa sisa makanan. Luna berjalan pelan di belakang, sibuk dengan bukunya.
Hanya Owen dan Oliv yang tersisa di atap sejenak. Owen melangkah mendekat sebelum mereka turun. “Hei,” panggilnya pelan. Oliv menoleh.
“Berikan nomermu,” Owen berkata dengan senyum samar, “kalau ajak mereka beritahu aku dulu!.”
Oliv menatapnya sebentar, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil. “sebenarnya memberikan nomerku padamu itu tidak perlu, bukankah kita tinggal satu atap,baiklah dari pada kamu mengoceh terus!,mana ponselmu?.”
Owen pun memberikan ponselnya, dia baru sadar kalau dia merasa unggul daripada teman-temannya karena mereka tinggal bersama. Tapi ia juga perlu nomer pribadi Oliv, biar bisa lebih dekat.
Mereka saling bertatapan sejenak, angin kembali berhembus lembut di antara mereka, sebelum akhirnya turun bersama, langkah mereka perlahan menyatu.
Saat mereka berlima turun dari tangga atap sekolah, teman suruhan Melisa yang bertugas memata-matai Oliv. Bersembunyi dan melihat mereka berlima bersama, baru turun dari atap sekolah dengan bahagia.
Di lorong sepi belakang gedung sekolah, Melisa berdiri bersandar pada dinding, menunggu. Sepatunya yang berhak tipis mengetuk lantai pelan-pelan, menunjukkan rasa tidak sabarnya. Tak lama kemudian, seorang siswi berambut pendek, Kira, muncul sambil membawa ponsel di tangannya.
“Melisa,” kata Kira dengan suara pelan, memastikan tak ada yang mendengar. “Seperti yang kau minta… aku ikuti Oliv selama istirahat.”
Melisa menegakkan tubuh, matanya menyipit. “Dan?”
Kira membuka galeri ponselnya, menunjukkan beberapa foto. Dalam foto-foto itu, terlihat Oliv duduk di atap sekolah, bersama Owen, Damian, Leo, dan Luna. Salah satu foto bahkan menangkap momen ketika Owen dan Oliv turun bersama dari tangga, berdiri sedikit lebih dekat dibanding yang lain.
“Aku melihat mereka berlima makan siang bersama di atap. Tapi…” Kira melirik Melisa sekilas sebelum melanjutkan, “Oliv datang lebih dulu hanya dengan Owen. Mereka berdua sempat berdua sebelum yang lain datang. Owen bahkan terlihat cukup… santai di dekatnya. Beda dari biasanya.”
Melisa menatap foto-foto itu lama, rahangnya mengencang. “Jadi… benar. Owen dan Oliv semakin dekat. Bahkan sebelum Damian dan Leo datang, mereka sudah berduaan.”
Ia meraih ponsel Kira dan memperbesar salah satu foto, yang menampilkan Owen menatap Oliv dengan senyum samar. Matanya berkilat penuh rasa tidak senang.
“Bagus. Teruskan mata-mata ini. Aku ingin kau ikuti mereka setiap istirahat dan sepulang sekolah. Aku tidak mau ada momen mereka berdua yang luput dari pengawasanku.”
Kira mengangguk ragu. “Kau… mau apa dengan semua ini?”
Melisa mengembalikan ponsel itu, bibirnya membentuk senyum tipis namun berbahaya. “Oliv pikir dia bisa datang entah dari mana, merebut perhatian Owen, dan semua orang akan menerimanya begitu saja? Tidak semudah itu.”
Ia berjalan perlahan, suaranya rendah namun penuh tekad. “Aku akan pastikan seluruh sekolah melihat siapa dia sebenarnya. Gosip… rumor… sedikit permainan kecil. Dan sebelum Oliv menyadarinya, Owen akan mulai ragu padanya.”
Melisa berhenti, menoleh pada Kira. “Besok, sebarkan kabar bahwa Oliv mendekati semua pria populer Owen, Damian, dan Leo,seolah dia mencari perhatian. Pastikan gosip itu terdengar alami, seakan datang dari banyak mulut. Aku tidak mau ada yang bisa menuduhku.”
Kira menelan ludah, tapi mengangguk. “Baik. Aku akan atur.”
Melisa memandang ke arah jendela gedung, di mana bayangan Owen dan Oliv sempat terlihat sebelumnya. “Kita lihat, Oliv… seberapa lama kau bisa bertahan sebelum semuanya berbalik melawanmu.”