"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Napas Rosidah terasa berat.
Di saat paling sulit seperti ini, Riko justru tidak ada.
Sementara Doni—pria bajingan yang telah merusak anaknya, memberi aib pada keluarganya—hanya diam, tak menunjukkan sedikit pun kepedulian.
Sedangkan Laras, selama empat tahun pernikahannya dengan Riko, hidup seperti mayat hidup.
Karena di pikirannya... hanya ada Doni.
Laras baru mulai bicara dengan Bapak dan Ibunya saat doni datang memberi kabar kalau dia akan kembali dan menikahinya, dan hidup laras seolah kembali setelah sekian lama mati, itu sesuai dengan harapan dia, riko pasti kembali dan akan membahagiakan dirinya.
Selama itu pula, Laras hidup dalam penuh kebencian.
Benci pada ayah dan ibunya—karena telah menikahkannya dengan Riko.
Benci pada Melati—karena anak itu tidak bisa digugurkan.
Benci harus berpisah dengan Doni—pdahal jelas-jelas doni yang meninggalkan laras tanpa kabar saat laras cerita kalau dia hamil
Dan saat ibunya menyebut Doni sebagai bajingan, hati Laras terasa sangat sakit. Laras merasa ibunya benar-benar tidak menghargai semua pengorbanannya, laras merasa sudah berkorban banyak karena menikah dengan riko demi kehormatan keluarga.
Rosidah menatap tajam ke arah Laras dan Doni. Pertengkaran nyaris meledak—
Andai saja Ferdi tidak menghentikannya.
Tangan Ferdi yang lemah menggenggam tangan Rosidah, Kepalanya pelan-pelan menggeleng... memberi isyarat agar cukup sampai di sini.
////
Sementara itu, di kamar perawatan kelas tiga, tubuh Melati tampak mengejang.
Seorang ibu-ibu bangun karena ingin buang air kecil. Namun, saat melihat kondisi Melati, ia langsung berteriak histeris.
“Tolongggggggg!” jeritnya kencang.
Semua penghuni kamar terbangun.
“Ada apa, sih?” ucap salah satu pasien dengan nada panik.
“I-i-iitu...” jawab perempuan itu tergagap, menunjuk ke arah ranjang Melati.
Seketika semua mata tertuju pada Melati— yang tubuhnya terus menggeliat, wajahnya pucat, dan selang infusnya sudah terputus.
“Panggilkan perawat! Cepat!” teriak seseorang panik.
Seorang pemuda segera berlari menuju ruang perawat dan melaporkan kondisi Melati.
Tak butuh waktu lama, para perawat datang dengan tergesa.
Begitu melihat kondisi Melati, mereka semua panik. Selang infus berisi obat tampak terputus, dan tubuh Melati terus mengejang.
Namun dalam dunia medis, kepanikan adalah hal yang dilarang. Dengan cepat mereka berkoordinasi, melakukan tindakan darurat untuk menyelamatkan Melati.
Dokter bersama tiga perawat segera berkumpul di sekitar brankar. Semua mata serius. Semua tangan bergerak cepat menyelamatkan nyawa melati.
Riko yang baru saja kembali dari apotek di luar rumah sakit langsung terbelalak.
Pandangannya tertuju pada kerumunan di kamar perawatan kelas tiga.
Hatinya berdegup kencang.
Ia merasa panik melihat kondisi Melati.
Baru tadi sore ia bisa bernapas lega—dan kini, semuanya kembali berubah menjadi mimpi buruk.
Dengan langkah tergesa, Riko berusaha mendekati Melati. Namun, seorang perawat segera membentaknya.
“Menjauh!” bentak perawat tegas.
Riko terhenti. Tubuhnya gemetar. Matanya membulat. Ia hanya bisa berdiri di ambang pintu—menyaksikan perjuangan menyelamatkan anak yang bukan darah dagingnya, tapi yang lebih dari segalanya baginya.
Tubuh Riko terasa lemas.
Jiwanya kembali terguncang menyaksikan keadaan Melati yang kritis.
Sementara itu, dengan telaten, dokter dan para perawat memberikan pertolongan intensif.
Hampir setengah jam berlalu—ruangan terasa menegangkan.
Beberapa kali perawat mondar-mandir mengambil peralatan tambahan.
Semua bergerak cepat, hati-hati, tetap tenang walau dalam kondisi penuh tekanan.
Hingga akhirnya...
“Alhamdulillah,” ucap seorang dokter dengan napas lega.
Dokter dan para perawat tampak terharu—bahkan ada yang menitikkan air mata.
Setelah perjuangan panjang, Melati akhirnya berhasil diselamatkan.
Peralatan medis mulai dibereskan. Detak jantung Melati perlahan kembali stabil.
Seorang dokter menghampiri Riko dengan tatapan tajam.
“Bapak ke mana saja, sih?” bentak dokter, nadanya keras dan penuh emosi.
“Saya... saya beli obat di luar rumah sakit, Pak,” jawab Riko dengan suara gemetar.
“Memang yang jaga cuma Bapak? Ibunya ke mana?” Nada suaranya mulai melembut.
“Ibunya... tidak ada, Pak. Saya hidup cuma dengan anak saya.” Jawab Riko menunduk, menahan gelisah di dadanya.
“Ah, untung ketahuan lebih awal. Kalau tidak, maka...” Dokter menghentikan ucapannya, menatap Riko dengan serius.
“Emang... apa yang terjadi, Pak?” tanya Riko, mulai cemas.
“Ada seseorang yang memutus selang infus,” jelas dokter.
“Padahal, saat itu obat sedang diberikan melalui selang infus.”
“Maksud Bapak... ada yang iseng, Pak?” tanya Riko, kaget.
“Tim kami sedang menyelidiki kejadian ini,” jawab dokter.
“Kebetulan, di ruangan ini ada CCTV.”
“Sekarang, jaga anak Bapak baik-baik,” ujar dokter tegas.
“Kalau bisa, cari teman atau orang lain untuk bergantian menjaga. Jangan berpikir bahwa karena Bapak baik, lantas tidak ada orang jahat yang berniat buruk pada Bapak. Lebih baik berhati-hati.” Ucap dokter sambil menepuk pundak riko
Riko mengangguk pelan. “Terima kasih, Dok,” ucapnya lirih.
…..
Waktu terus berlalu. Pagi pun datang. Riko sama sekali tidak berani tidur karena takut terjadi apa-apa dengan Melati.
Hingga akhirnya, datang seorang perempuan berjilbab. Tatapannya menyejukkan, tanpa riasan tebal, tetapi terlihat cantik alami. Kerudungnya lebar. Dia datang membawa beberapa paper bag.
"Melati belum bangun, Mas?" ucap Melisa.
Riko menghela napas panjang. Melisa, orang asing yang kemarin ia tolong dari begal, kini kembali menjenguk Melati setelah mendonorkan darahnya. Ia datang membawa beberapa buku sesuai dengan keinginan Melati.
"Mas?" ucap Melisa.
Riko terdiam entah kenapa.
"Halo, Mas?" Melisa melambaikan tangannya di depan wajah Riko.
Riko tidak bereaksi.
"Assalamualaikum, Mas!" Melisa kembali menggerak-gerakkan tangannya.
"Waalaikumsalam," jawab Riko refleks.
"Mas, kenapa melamun?" tanya Melisa.
Riko menatap Melisa yang terlihat sejuk dan menenangkan, lalu menceritakan kejadian semalam. Melisa tertegun, air matanya hampir jatuh.
"Memang kakek dan nenek Melati ke mana, Mas?" tanya Melisa.
Entah kenapa, Riko justru jadi curhat. Padahal, ia jarang menceritakan masalah hidupnya pada orang lain. Sebagai anak panti, ia terbiasa menelan masalahnya sendiri.
Riko memberikan selembar tisu pada Melisa karena ia melihat Melisa menangis.
"Kenapa kamu menangis? Aku yang curhat, kok malah kamu yang menangis?" tanya Riko.
Melisa tersipu malu.
"Mas lelaki hebat," puji Melisa.
Aduh, rasanya jantung Riko hampir copot mendengar pujian itu.
"Aku... boleh minta tolong sama kamu?" tanya Riko.
"Ya, Mas. Katakan saja. Kebetulan hari ini aku libur. Di kos juga tidak ada orang, jadi aku ke sini saja menjenguk Melati," jawab Melisa.
"Bantu jaga hatiku," ucap Riko dalam hati.
"Bantu jaga Melati. Aku mau membayar kekurangan biaya operasi kemarin," kata Riko.
"Ya, Mas, silakan," ucap Melisa dengan nada lembut.
Melisa melangkahkan kaki mendekat ke brankar Melati. Air matanya kembali menetes. "Siapa yang tega menyakitimu, Dek?" gumamnya dalam hati.
Kemudian, Melisa membersihkan tangan Melati dan merapikan lemari pasien. Semua dilakukannya dengan telaten.
Riko tersenyum melihat semua itu. Pikirannya langsung berkata, "Andaikan dia jadi pendampingku. Ah, tidak mungkin, umurku dan dia terlalu jauh."
Setelah dari kemarin sampai tadi pagi ia gelisah, akhirnya pagi ini ia bisa tersenyum lega. Entah karena melihat Melati dua kali lolos dari kematian, atau karena melihat senyum Melisa. Hanya Riko yang tahu