"Aku terbangun di dunia asing. Tanpa ingatan, tanpa petunjuk, tapi semua orang memanggilku Aqinfa—seolah aku memang gadis itu."
Namun, semakin lama aku tinggal di tubuh ini, semakin jelas satu hal: ada sesuatu yang disembunyikan.
Wajah-wajah yang tampak ramah, bisikan rahasia yang terdengar di malam hari, dan tatapan pria itu—Ziqi—seolah mengenal siapa aku sebenarnya... atau siapa aku seharusnya menjadi.
Di antara ingatan yang bukan milikku dan dunia yang terasa asing, aku—yang dulu hanya Louyi, gadis sederhana yang mendambakan hidup damai—dipaksa memilih:
Menggali kebenaran yang bisa menghancurkanku, atau hidup nyaman dalam kebohongan yang menyelamatkanku.
Siapa Aqinfa? Dan… siapa sebenarnya aku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amethysti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal kehidupan baru diakademi
Fajar pertama setelah ujian ketiga datang membawa ketenangan yang aneh. Tidak ada suara denting senjata, tidak ada bisik-bisik strategi. Hanya sinar lembut matahari yang menyelinap masuk lewat celah jendela, membangunkan Aqinfa perlahan dari tidurnya.
Ia membuka mata dan menatap langit-langit kamar asrama yang kini terasa... berbeda.
Hari ini, semuanya telah berubah.
Dia bukan lagi calon murid yang was-was menghadapi ujian. Mulai hari ini, Aqinfa adalah murid resmi Akademi Seomu.
Di lorong luar, suara langkah cepat terdengar—suara yang akrab.
“FINFAAA!!” teriak Weyi sambil menerobos masuk tanpa mengetuk. Di belakangnya, Seril, Axia, dan Dwiyu berlari menyusul, masing-masing membawa sesuatu di tangan: seikat bunga liar, roti hangat dari dapur, dan sekotak kecil kue kacang yang diam-diam diselundupkan dari kantin tengah malam.
“Kau sudah bangun!” seru Weyi sambil menjatuhkan diri ke ranjang Aqinfa. “Kita resmi murid sekarang! Ada pengumuman upacara siang ini!”
Aqinfa hanya bisa tersenyum lebar, diserbu gelombang semangat dari para sahabatnya.
“Kalau kau tak bangun sekarang,” sambung Seril, “kami akan mendandanimu dengan pita dan melemparmu ke aula!”
Axia mengangkat pita ungu besar sambil terkekeh. “Jangan kira aku bercanda!”
Dwiyu, si paling kalem, hanya meletakkan kue di meja dan berkata, “Kami bangga padamu, Finfa.”
Kata-kata itu membuat Aqinfa terdiam sesaat. Ia menatap mereka satu per satu—orang-orang yang telah bersamanya dari awal. Bersama mereka, langkah menuju dunia kultivasi yang penuh tantangan terasa lebih ringan.
Hari itu berlalu dengan cepat. Siang diisi dengan upacara resmi pelantikan murid baru, di mana nama-nama mereka dipanggil satu per satu oleh para tetua. Aqinfa berdiri tegak dengan jubah biru muda yang baru, senyum tipis menghiasi wajahnya saat namanya disebut.
Di antara kerumunan, ia sempat melihat sosok Ziqi yang berdiri di barisan senior. Tatapan mereka bertemu sekejap—hanya sekejap—tapi cukup untuk membuat dada Aqinfa terasa hangat.
Sore harinya, setelah semua hiruk-pikuk mereda, mereka berlima duduk di atas bukit kecil di belakang asrama, memandangi matahari yang perlahan turun.
“Ini awal dari segalanya,” gumam Aqinfa.
“Awal dari kisah kita,” balas Axia sambil menjatuhkan tubuh ke rerumputan.
“Aku tidak sabar melihat siapa yang paling cepat jadi murid elit!” ujar Weyi, tertawa.
“Yang pasti bukan kau,” ledek Seril sambil melempar daun ke arahnya.
Suara tawa mereka memenuhi udara sore. Tak ada tekanan, tak ada ujian. Hanya hari yang baru... dan langit yang seolah berkata: kau telah melewati badai pertamamu.
Saat malam menjelang dan satu per satu kembali ke asrama, Aqinfa masih duduk sendirian di bukit itu. Ia menatap langit yang mulai berbintang, membiarkan angin malam membelai wajahnya.
“Terima kasih,” bisiknya.
Untuk dirinya sendiri. Untuk mereka yang bersamanya. Dan untuk jalan yang kini terbuka di depan.
Saat Aqinfa akhirnya bangkit dan berjalan kembali ke asrama, ia tak tahu bahwa dua pasang mata sedang memperhatikannya dari tempat berbeda.
Dari balik balkon tingkat dua asrama senior, Ziqi berdiri bersandar pada pagar kayu. Rambut peraknya berkilau diterpa cahaya bulan, dan matanya tak lepas dari siluet Aqinfa yang menuruni bukit perlahan.
Ia menggenggam lipatan jubahnya sejenak, lalu bergumam pelan, “Kau punya cahaya sendiri... dan aku ingin melihat ke mana cahaya itu akan membawamu.”
Sementara itu, di sisi belakang asrama murid utama, Weimu berdiri diam di balik pepohonan. Ia tak sengaja melihat Aqinfa duduk sendirian tadi—dan juga menyadari kehadiran Ziqi yang tak jauh dari pandangan. Tangannya mengepal pelan.
“Aku harus lebih cepat. Sebelum bayangan siapa pun menghalangi sinarnya.”
Weimu lalu berbalik, melangkah kembali ke dalam gelap, tapi dengan semangat baru menyala dalam dadanya.
Malam itu sunyi, namun dalam keheningan, ketiga hati telah mengucapkan sesuatu—meski belum dengan kata.