Malam temaram, cahaya siluet datang menyambar. Detak jantung berlarian ke segala arah. Menimpali ubin yang kaku di tanah.
Di sana, seorang anak kecil berdiri seperti ingin buang air. Tapi saat wajah mendekat, Sesosok hitam berhamburan, melayang-layang menatap seorang wanita berbaju zirah, mengayunkan pedang yang mengkilat. Namun ia menebas kekosongan.
Apakah dimensi yang ia huni adalah dunia lain? nantikan terus kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asyiah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Egois
"Kau bisa bahasa hewan? " Tanya Kick. Matanya tak lepas menatap.
"Benar."
Malam yang mencekam. Suasana sedikit merinding. Di luar sana hanya ada kegelapan.
Mereka berlindung di sebuah gua. Menanti bantuan entah dari siapa.
Tiba-tiba terdengar suatu retakan ranting, Krekk, suaranya sedikit banyak mendekati mereka. Suara jejak kaki. Sepasang telapak kaki mendekat dengan langkah berat dan sepasang lagi dengan langkah yang ringan.
Kick dan Lucy menutup mulut mereka. Kunang-kunang yang menghiasi mereka, terpaksa harus Lucy kurung di dalam celah batu besar lalu dia tutup dengan jubah milik Kick.
Krekkk
Tap... Tap... Tap ....
Krekkk
Suara semakin mendekat. Kekuatan Lucy belum sepenuhnya normal. Sekarang dia merasakan nyeri di dadanya.
Kreekkk
TAP ....
Rasa menggigil hadir di pundak Kick. Dia ingin menjerit saat tiba-tiba dua orang yang familiar itu nongol dengan kepala yang tampak menyeramkan.
"Ehem... Apa Ka-"
"Haaaa!!!! " Seru Kick dan Lucy bersamaan. Tanpa sadar mereka berpelukan.
Dalam cahaya yang remang, terlihat jenggot panjang dan kepala botak licin.
Lucy meminta kunang-kunang untuk keluar. Lalu cahaya bersinar. Wajah-wajah yang mereka kenali. Akhirnya Lucy dan Kick kembali bernafas.
"Hemmm .... " Lucy melepas pelukan.
Mereka cukup lama salah tingkah. Lucy sibuk mengibas rambut panjang hitamnya dan Kick sibuk memakai kembali jubah hitam yang dipental oleh Lucy tadi.
"Bagaimana keadaan kalian? kalian baik-baik saja? " Tabib Zhu memecah suasana.
"Stella pingsan setelah terjatuh dari iblis yang terbang itu! Sialan! " Lucy menggenggam pukulannya.
"Biar aku periksa keadaannya. "
Tabib Zhu tak pernah melupakan jarum akupuntur nya. Tentu saja dia juga tidak lupa menyimpan jimat melindungi mereka dari bahaya.
"Stella hanya butuh istirahat. Aku sudah memeriksanya, hanya luka di kedua pergelangan tangan dan lutut sebelah kanan akibat terjatuh. Nadinya normal. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. " Tabib menepuk pundak Lucy.
Terlihat wajah Lucy yang pucat. Tabib Zhu menyarankannya untuk beristirahat.
Lucy beristirahat di atas batu besar berbentuk bulat dengan warna hitam seperti batu napal.
Sementara itu, Kick masih saja memandangi Lucy. Sedikit perasaan hangat masih menyelimutinya. Semburat merah menyala di pipinya.
"Kau tidak bisa lagi berbohong padaku. Dahulu kau katakan, kalau kau tidak suka padanya. Tapi apa yang terjadi tadi sudah menjawab dugaanku selama ini. " Tabib Zhu menatap dengan tatapan yang menggoda.
"Ah, yang benar saja, Tabib! "
Kick memegang pipinya. Lalu berpindah mengelus pundaknya.
Kunang-kunang yang bersaksi malam itu mengatakan hal yang sama. Tanpa mereka sadari, Lucy mendengar semua itu, matanya belum sepenuhnya terpejam. Masih melirik sekilas lalu tertutup kembali.
"Aku akan berjaga. Kau boleh beristirahat, Tabib. " Biksu Chou sudah bersiap duduk beralaskan daun.
"TIDAKKKKK!!!! Tolong lepaskan aku!!! " Stella terbangun.
"Awwww." Stella meringis menyentuh kepalanya.
Sekujur tubuhnya sakit semua. Tak ada tenaga untuk dia menjelaskan apa yang terjadi. Dia harus beristirahat.
"Istirahat lah. Pulihkan kekuatanmu. " Pinta Tabib Zhu.
Stella memandangi mereka satu persatu. Melihat Lucy yang tertidur dengan lelap, membuatnya tak tega berkata kencang. Dia memandangi Biksu Chou yang sedang bertapa merapalkan mantra-mantra dari kitab suci.
Melihat secara bergantian pada Tabib Zhu dan Kick. Stella sekarang merasakan aman.
"Terima kasih, Tabib, Kick dan semuanya. "
Tabib dan Kick mengangguk. Akhirnya Stella kembali beristirahat. Nyeri terasa di ulu hatinya. Dia hanya menguatkan hati agar besok pagi dia sudah pulih.
Terlihat Kick yang memiliki hampir semua kemahiran, menyalakan api unggun. Hanya untuk sekedar membuat suhu panas.
Kunang-kunang yang akan tidur, tampak hinggap di pundak Stella. Rasa aman itu membuatnya ingin tidur. Cahaya yang ada diperutnya perlahan meredup, seperti lampu emergency apabila listrik mati.
Stella mengelus perlahan binatang itu. Ketika dia raba, panas aliran listrik menjalar.
Stella menatap kembali telapak tangannya. Lalu memegang wajahnya. Dia masih belum menyadari sepenuhnya ada petir yang berasal dari matanya. Mata yang tampak tak biasa, menyimpan kekuatan yang di kemudian hari akan dia ketahui.
Stella hanya menerka saja, bahwa saat di lorong waktu kilatan itu berasal dari dunia ini. Tapi nampaknya tak ada satu pun kilatan menyahut, sedangkan yang ada hanyalah rasa sakit pada kedua bola matanya. Seperti terkena biji cabe atau sambal yang pedas luar biasanya. Sangat pedih, hingga dia sendiri menangis sangat pedih.
Api unggun berhasil dibuat. Cahaya nya menghangatkan dan memberikan rasa aman, namun matanya masih belum bisa tidur.
Rasa penasaran Stella semakin menguat, "siapa yang membunuh ayah dan ibuku? " pertanyaan itu selalu timbul ke permukaan meski banyak hal sudah terjadi.
Stella sudah tidak ingat lagi berapa lama dia berada di dunia lain. Entah sebulan, dua bulan, atau mungkin satu tahun. Cukup melelahkan memikirkan sesuatu yang tidak bisa diterka, karena bisa saja sehari di sini, seminggu di dunia nyata nya.
Stella juga hampir lupa dengan dunia yang sejak kecil dia huni. Bagaimana pamannya hilang secara misterius, hanya menyisakan tangisan bibi yang membuat Stella tak bisa berkutik.
Rasa bersalah dan balas budi yang tak kan mungkin dia lupakan. Secepatnya harus menemukan dalang dari semua yang terjadi.
Bisa jadi dia erat kaitannya dengan Lucy, karena bagaimana pun mereka sangat mirip. Hanya perbedaan di bola mata. Stella memiliki bola mata hitam pekat seperti mata sang ayah dan Lucy memiliki bola mata yang hijau.
Satu-satunya hal yang bisa Stella syukuri saat ini adalah dia bisa bersama dengan mereka dan memiliki kekuatan memprediksi dengan naluri yang sangat tajam.
Stella sadar dari lamunannya. Kunang-kunang itu tertidur, sangat lelap, cahayanya meredup dan akhirnya mati.
Sebuah suara terdengar, seperti dari balik bukit, ada sesosok monster yang pernah Stella temui. Baunya, seperti bau kapur barus. Monster itu sedang menggali sesuatu. Stella ingin mengintai lebih dekat, namun sorot mata merah itu seperti mengendusnya. Perlahan Stella kembali ke tubuh aslinya.
"Jangan bilang kalau pintu ke dunia bibi terbuka! "
Stella bergegas menuju bukit, namun dihadap oleh Tabib Zhu dan Kick.
"Apa yang kau lakukan? " Suara Tabib meninggi.
"Lepaskan! biarkan aku pergi! " Stella menjerit. Dia berusaha lepas dari Tabib Zhu dan Kick.
"Hentikan! Kau mau ke mana, Stella? " Bentakan dari Kick membangunkan Lucy, Stella terdiam.
"Apa yang terjadi? " Lucy mengucek matanya.
"Aku ingin ke bukit! pintu dunia bibi ku sepertinya sedang terbuka! " Stella berusaha melepaskan pegangan dari Tabib Zhu dan Kick.
"Sudahlah Stella. Apa kau tidak takut bahaya! Kau baru saja lepas dari iblis. Sekarang kau mau pergi ke tempat yang bahkan kita tidak tau jauh nya berapa mill!!! " Suara Kick kian meninggi.
"Apa kau tak sadar, jiwa kau dan Lucy sedang diincar. Darah kalian bukan sembarang darah biasa! "
"Ayolah, untuk kali ini dengarkan kami! " Kick memohon.
Stella mengendurkan niatnya. Dia terduduk di atas batu yang menaungi dia istirahat. Ada rasa bersalah karena dia hanya egois, peduli dengan dirinya sendiri.
"Ku harap kau bisa mengerti! " Kick pergi ke depan mulut goa. Entah melirik atau sekedar melepas rasa kesalnya.
Lucy mendekati Kick. Memberikan tepukan kecil di punggungnya. Membuat Kick tersadar dan jadi salah tingkah.
"Tim itu tidak akan mendahului egonya. Kau harus melepaskan rasa kesal dan amarah. Jangan pernah membuang amarahmu pada mereka yang sedang dilanda rasa sakit dan duka. Kendalikan dirimu! "
Lucy memandangi Kick dari samping. Dia duduk di sebelahnya. Menetralisir suasana, memberikan rasa aman, seperti yang selalu Kick lakukan padanya. Balas budi itu ternyata benar-benar nyata terjadi.