Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halaman Dua Puluh Lima
***
Kamar Airin terletak di lantai dua rumah mewah bergaya modern-minimalis milik keluarga besar Tanoto. Dindingnya berwarna krem lembut, dihiasi lukisan bunga dan rak buku yang rapi berjejer. Namun malam ini, suasana kamar itu tidak setenang biasanya.
Airin duduk bersila di tengah tempat tidur, masih mengenakan piyama satin biru langit. Rambutnya tergerai panjang, dan wajahnya tanpa make-up tampak lebih muda dari usia dua puluh tujuh tahun yang sebenarnya. Di tangannya, ia memegang ponsel—menatap layar kosong dengan mata yang menyimpan kekecewaan dan... obsesi.
Hafiz.
Nama itu terus berputar dalam kepalanya.
Airin mengingat jelas bagaimana pria itu menatapnya dingin kemarin, bahkan menolak di depan orang tua mereka. Padahal dari kecil, Airin tahu—dia yang paling dekat dengan Hafiz. Mereka sering bermain bersama, belajar bareng, bahkan sesekali liburan keluarga.
Tapi semua berubah sejak Hafiz mulai dewasa. Airin tidak bisa lagi dengan mudah mengontrol arah hubungan mereka. Dan sekarang... setelah bertahun-tahun diam-diam menaruh rasa, Hafiz malah menjauh.
Dan lebih menyakitkan lagi, Airin tahu... ada wanita lain yang menjadi alasan.
Bukan dari keluarga terpandang. Bukan dari kalangan atas. Bukan siapa-siapa. Seorang staf biasa, yang bahkan tidak punya latar belakang membanggakan.
Serena.
Nama itu keluar dengan getir dari bibir Airin dalam bisikan pelan.
"Apa bagusnya dia?" gumam Airin sambil menggigit ujung kukunya. “Apa karena dia diem-dieman? Karena dia kelihatan mandiri dan susah didekati? Apa Hafiz tertantang karena dia kelihatan ‘beda’?”
Airin bangkit dan berjalan mondar-mandir di kamar. Langkahnya cepat, nafasnya berat. Ia tahu orang tuanya sangat mendukung perjodohan ini—karena hubungan lama dengan keluarga Hafiz, karena koneksi bisnis, karena semuanya akan sempurna di atas kertas.
Tapi... semua itu tidak cukup kalau Hafiz terus menolak.
Airin duduk di meja riasnya dan menatap cermin. Ia cantik, sangat cantik bahkan. Banyak laki-laki meliriknya. Ia punya segalanya—pendidikan, keluarga terpandang, masa depan cerah.
Tapi kenapa justru yang ia inginkan, tidak bisa ia miliki?
Hatinya mulai tersulut panas. Airin bukan tipe gadis yang mudah menyerah. Ia terbiasa mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan kali ini... ia tidak akan membiarkan seorang Serena mengambil Hafiz begitu saja.
“Kalau aku mau main cantik... aku bisa, kok,” bisiknya pada pantulan dirinya di cermin.
Ia lalu mengambil buku catatan kecil dari laci dan mulai mencoret-coret sesuatu.
Pertama: Dekati Tante Farhana lebih sering. Airin tahu Mama nya Hafiz menyukainya. Kalau ia bisa membuat Mama nya Hafiz berada sepenuhnya di pihaknya, maka ia punya satu kekuatan besar untuk menekan Hafiz.
Kedua: Muncul terus di hadapan Hafiz. Ia harus membuat kehadirannya tidak terhindarkan. Kirim makanan, datang ke kantor, sesekali berpura-pura tidak sengaja ketemu. Lama-lama... Hafiz pasti luluh.
Ketiga: Cari kelemahan Serena. Ini yang paling penting. Airin yakin wanita seperti Serena pasti punya banyak luka masa lalu. Ia hanya perlu satu celah untuk menggoyahkan posisinya di hati Hafiz.
“Main sabar, Airin. Tapi jangan lugu. Kamu cantik, pintar, kamu bisa menang,” gumamnya lagi, senyum tipis mulai muncul di wajahnya.
Airin mematikan lampu dan berbaring di ranjang. Tapi tidak seperti biasanya, ia tidak langsung terlelap. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit kamar.
Malam itu, ia tidak tidur nyenyak—tapi bukan karena gelisah, melainkan karena pikirannya terlalu sibuk merangkai strategi.
Baginya, ini bukan lagi sekadar cinta.
Ini sudah menjadi pertaruhan harga diri.
Dan ia tidak akan kalah dari Serena... tidak akan.
.
Malam baru saja berganti. Jam digital di ruang tengah apartemen Hafiz menunjukkan pukul 00:12. Kota di luar jendela masih terang dengan lampu-lampu jalan, tapi kesepian terasa merayap di dalam ruang minimalis itu.
Hafiz duduk sendirian di sofa, kemeja putihnya sudah setengah terlepas dari celana, dasinya longgar tergantung di leher. Di atas meja ada laptop terbuka, tapi layar hanya menampilkan berkas presentasi yang sudah tak lagi menarik perhatiannya. Ia memandangi layar ponselnya dengan dahi mengernyit.
Pesan dari Bu Farhana, ibunya, baru saja masuk sepuluh menit lalu.
"Mama harap kamu bisa berpikir dewasa. Airin gadis baik. Kamu sudah mengenalnya sejak kecil. Mama dan Papa tidak akan memilihkan yang salah untuk kamu. Mama minta kamu mempertimbangkan ulang, jangan mempermalukan keluarga. Mama harap kamu segera memberi jawaban. Jangan buat kami kecewa."
Hafiz menaruh ponselnya ke meja. Nafasnya berat. Lagi-lagi begitu.
Ini bukan kali pertama pesan bernada serupa ia terima. Sejak acara makan malam minggu lalu di rumah orang tuanya, tekanan dari ibunya semakin gencar. Apalagi setelah Airin mulai sering muncul—mengantar makanan ke kantor, mengirim pesan basa-basi, dan sekarang... bahkan berani datang tanpa kabar.
"Jadi ini semua sudah direncanakan ya..." gumam Hafiz lirih, mata menatap kosong ke langit-langit.
Dari dulu, ia tahu ibunya tipe wanita yang tidak menerima penolakan. Ia wanita dominan, terhormat, terjaga reputasinya. Tapi tidak pernah Hafiz bayangkan bahwa ibunya akan sejauh ini menekan hanya demi menjodohkannya dengan Airin.
Ia memijat pelipisnya. Ia bukan anak kecil lagi, tapi tetap saja, tekanan dari orang tua—terutama ibunya—selalu sukses mengaduk emosi dan membuat dadanya terasa sesak.
Apa mereka tidak percaya bahwa dia bisa memilih sendiri?
Apa mereka pikir cinta bisa dibentuk dari pertemanan masa kecil dan reputasi keluarga?
Dan apa mereka pikir Hafiz tidak tahu siapa Airin sebenarnya?
Hafiz bukan pria polos. Ia tahu sejak dulu Airin menyukainya. Ia juga tahu kalau Airin selama ini bersikap manis hanya di depan orang tua mereka—dan bahwa sisi Airin yang sebenarnya tidak pernah benar-benar jujur.
Ia menghela napas panjang, bangkit dari sofa dan berjalan ke dapur. Diambilnya segelas air dingin dan diteguk setengahnya sekaligus.
Pikirannya kembali ke Serena.
Bersamanya, Hafiz tidak pernah merasa harus berpura-pura jadi siapa pun. Serena bahkan tidak tahu kalau dulu dia adalah putra pemilik perusahaan tempat mereka bekerja sekarang. Ia menyukai ketenangan Serena, kedewasaannya, dan bagaimana Serena bisa mengatur emosi meski pernah disakiti begitu dalam.
Serena adalah perempuan yang tahu rasanya ditinggalkan, diremehkan, dan tetap berdiri tegak.
Dan itu... justru membuat Hafiz ingin menjaganya.
Tapi sekarang, semuanya terasa seperti jalan buntu.
Ibunya tidak suka Serena. Dan Airin—terlepas dari sikap manisnya—jelas sedang mencoba bermain di belakang. Dan yang paling membuat Hafiz frustasi: ia tahu Serena pun masih ragu. Ada rasa takut, ada jarak yang belum bisa ditembus.
Dua tembok besar: keluarganya dan keraguan Serena.
Kembali ke ruang tengah, Hafiz menyalakan musik instrumental pelan dari ponselnya. Ia tenggelam dalam pikirannya. Kepalanya bersandar di sandaran sofa, mata terpejam.
Tiba-tiba ponselnya bergetar lagi. Pesan baru masuk.
“Hafiz, Mama tahu kamu keras kepala. Tapi pikirkan nama baik keluarga. Kamu itu anak laki-laki satu-satunya. Jangan buat aib hanya karena perasaan sesaat.”
Darah Hafiz mendidih seketika. Ia menggenggam ponselnya erat, nyaris melemparkannya ke lantai. Tapi ia urungkan.
Ia mengetik balasan singkat, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi.
Akhirnya ia menaruh ponsel itu terbalik di meja dan berjalan ke balkon. Angin malam menyambut wajahnya. Kota Jakarta masih hidup, tapi hatinya terasa beku.
Untuk pertama kalinya, Hafiz merasa... ia benar-benar sendiri dalam pertarungan ini.
Tapi jika mempertahankan Serena artinya harus berseberangan dengan keluarganya, mungkin—hanya mungkin—ia bersedia melakukannya.
Karena kali ini... ia ingin memperjuangkan yang ia pilih sendiri.