Sudah menginjak usia 30 tahun, Rendra belum juga menemukan jodohnya dan membuat dua sahabatnya Dimas dan Gilang ikut pusing memikirkan siapa yang akan dinikahinya.
Namun tanpa diketahui, selama ini diam-diam Rendra menyukai Dina adik dari sahabatnya Dimas, seorang perawat yang baru saja lulus kuliah.
Perbedaan umur juga sifat membuat Dimas menentang hubungan Rendra dengan adiknya.
"Lo sahabat gue, Dina adik gue. Terus gue bela siapa kalau kalian bermasalah?" ucap Dimas yang membuat Rendra menahan rasa cintanya.
Lalu bagaimana kisah cinta mereka? Mampukah Rendra meyakinkan Dimas dan apakah Dina yang selalu bergantung pada Rendra akan menerima cintanya?
~Spin off dari "Turun Ranjang"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ningsihe98, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KENCAN
Rendra tengah bersantai menunggu di teras rumah. Hari ini rencananya ia akan mengajak Dina mencari baju untuk acara lamaran mereka minggu depan.
Sejak Dina mengatakan setuju menikah dengannya tahun ini. Rendra langsung semangat untuk menyiapkan pernikahannya, bahkan ia juga sudah memesan gedung dan catering terbaik di Bandung. Padahal acara pernikahannya sendiri belum di tetapkan.
"Hayu A!" ajak Dina.
"Masyaallah cantik banget calon istri shalehah." puji Rendra.
"Nggak usah berlebihan deh, kan Dina memang udah cantik dari lahir."
"Bener juga sih, Aa juga udah ganteng dari lahir." sombong Rendra.
"Prett!"
"Nggak boleh gitu eh sama calon suami!"
Dina hanya memutar bolanya malas, kini Rendra selalu memperingatinya dengan iming-iming calon suami.
Merekapun berangkat dengan mobil Rendra menuju salah satu butik milik sahabat Rendra. Di dalam mobil Rendra selalu mengoceh dengan riang.
"Din, kamu kenapa setuju nikah sama Aa tahun ini?" tanya Rendra.
Dina yang tengah serius menatap ke arah jalan, menoleh ke arah Rendra yang sedang menyetir.
"Dina cuma mikir, nikah sekarang atau tahun depan itu sama aja, lagian banyak juga teman Dina yang nikah, dan--," ucapnya terpotong.
"Dan apa?"
"Dan menghidari kehilafan a'Rendra kayak kemarin," ucap Dina.
"Ya Allah, Din kemarin Aa bercanda doang kok."
"Aa belum siap kalau punya anak?" tanya Dina ragu.
Rendra yang tengah serius menyetir menghentikan mobilnya saat mendengar ucapan Dina, gadis itu tampaknya tengah berpikir tidak baik dan Rendra tak mau gadis itu akan salah paham dengan ucapannya.
"Kenapa berhenti?" tanya Dina.
"Kata siapa Aa nggak siap punya anak Din? Aa tuh pengen banget punya anak apalagi dari kamu Din, kalau nanti punya anak dari kamu nggak kebayang Ibunya cantik Ayahnya tampan pasti anak kita bahagia," jawab Rendra.
Dina hanya menunduk, antara terharu dengan ucapan Rendra atau karena malu pipinya memerah.
"Aa sayang sama kamu Din, makanya Aa pengen jaga kamu, pengen jadi imam kamu dan pengen kamu yang jadi Ibu dari anak-anak Aa," lanjut Rendra.
Dina menoleh ke arah Rendra dengan mata berkaca-kaca menatap haru dengan ucapan Rendra. Ia tersenyum dan merasa beruntung karena selama ini orang yang selalu menjaga akan menjadi suaminya.
"Dina nggak tahu mau jawab apa," ucap Dina.
"Nggak usah di jawab. Karena kamu adalah jawaban dari doa Aa selama ini," kata Rendra tersenyum dan langsung mengusap kepala Dina yang memakai kerudung.
"Jangan gombal A, nggak cocok sama umur," jawab Dina tersenyum sambil menghapus air matanya.
"Lagi romantis malah di ingetin umur!" ucap Rendra.
Dina hanya cekikikan dengan wajah Rendra yang kini cemberut. Ia pun kembali fokus menyetir.
...***...
Sesampainya di butik, Rendra meminta agar Dina yang memilih pakaian yang ia inginkan, sedangkan Rendra sendiri. Ia hanya duduk sambil mengangkat satu kakinya ke atas.
"Gimana udah dapat?" tanya Rendra.
"Udah. Tapi bingung sama warnanya," jawab Dina bimbang.
"Capcipcup aja pilih warnanya," jawab Rendra santai.
Dina melotot dengan jawaban Rendra yang terlampau santai dan terkesan tak peduli. Rendra yang melihat Dina tengah menatap tajam ke arahnya langsung berdiri sigap dan tersenyum.
"Yang mana memang bajunya?" tanya Rendra.
"Tahu ah males!" jawab Dina.
"Jangan ngambek atuh, Aa mah tadi cuman heurey hungkul (hanya ercanda)."
"Aa bercanda terus ue, mau nikah nggak?"
"Mau Dina, mau."
"Ya atuh geura pilih mau yang mana?" tanya Dina.
Rendra langsung mengikuti Dina yang berjalan ke dalam.
"Nih ada dua warna, mau yang mana?" tanya Dina.
"Kata Aa mah warna coklat itu bagus juga, cocok warnanya nggak tua banget dan nggak muda juga," ucap Rendra.
"Tapi Dina maunya warna cream!"
Rendra menghenal nafasnya sejenak.
"Kalau kamu maunya warna cream, terus ngapain nanyain ke Aa?"
"Ya kan minta pendapat Aa aja!" jawab Dina.
"Dasar cewek!"
"Dasar cowok nggak mau ngertiin!" jawab Dina tak mau kalah.
"Kalian berdua memang pasangan serasi!" ucap pemilik butik.
"Memang!" jawab Rendra dan Dina serempak.
"Luar biasa, baru kali ini ada pasangan yang kompak sampai kayak gini. Ya udah Ren, lo setuju nggak warna yang di pilih?" tanya pemilik butik.
"Bungkus aja!" jawab Rendra menatap ke arah Dina yang masih menatap kesal ke arahnya.
"Bentar Mbak, ada selendangnya nggak? Biar kayak model sekarang kan banyak pake selendang," tanya Dina.
"Pake selendang segala, kayak selendang dayang sumbi aja!" jawab Rendra.
"Biarin suka-suka Dina!"
"Tenang, ada kok selendangnya," jawab Nia pemilik butik.
"Ya sudah bungkus semuanya." kata Rendra.
"Siap bos, kalian tunggu di luar dulu ya."
Rendra dan Dina berjalan ke arah luar ruangan ke tempat pembayaran sambil menunggu baju mereka selesai di kemas.
Dina memilih memainkan ponselnya sedangkan Rendra yang tampak bersalah mencoba menggoda Dina yang masih kesal kepadanya.
"Cewek, godain abang dong!" goda Rendra.
Dina tak menyaut, ia tetap berfokus dengan ponselnya tanpa menoleh pada Rendra.
"Cewek, jangan marah dong masa belum nikah udah berantem, nggak asik dong!" ucap Rendra kembali.
"Males!" jawab Dina.
"Sayang, maafin Aa yang ganteng ini udah bikin neng Dina marah."
"Udah tahu kan kesalahannya?" tanya Dina menoleh.
"Udah, beneran minta maaf ya."
"Tergantung!"
"Tergantung apa, Din?" tanya Rendra.
"Tergantung Aa ngulangin lagi atau enggak?"
"Inshaallah enggak."
Dina masih diam. Ia memang sulit marah berlama-lama pada Rendra sejak dulu, bagaimana tidak setiap ia sedang marah, Rendra akan langsung meminta maaf dan selalu melakukan segala cara agar Dina memaafkannya. Lelaki itu selalu bisa menaklukkan Dina.
"Sudah selesai!" ucap Nia.
"Oke." jawab Rendra berdiri dan mengeluarkan kartu ATM nya.
Dina berdiri disebelah Rendra yang tengah menenteng bungkus pakaian mereka.
"Nih kamu bawa!" ucap Rendra.
Dina mengambilnya sambil mengecek barangnya.
"Udah itu aja? Masih ada yang mau di beli lagi?" tanya Rendra berjalan keluar.
"Nggak ada."
"Ya sudah, kita kencan yuk!" ajak Rendra.
"Kencan?"
"Iya kapan lagi kita kencan, lagian udah sore juga biar pas gitu momennya."
"Nonton bioskop gimana?" tanya Dina.
"Boleh, ya sudah kita langsung ke bioskop aja."
Dina mengangguk setuju sambil tersenyum, ia pun membuka ponselnya dan mencari list film yang sedang tayang di bioskop.
...***...
Mereka sudah sampai di mall, yang kebetulan bioskop ada di lantai teratas.
"Mau nonton film apa?" tanya Rendra.
"Horror. Gimana?"
"Romance aja atuh, masa kencan nontonnya horror?"
"Nggak apa-apa bagus ih, tadi Dina baca sinopsisnya dan kayaknya seru!"
"Film romantis aja, Din."
"Nggak mau!"
"Ya udah iya, sok kamu pilih."
Dina langsung memesan tiket untuk mereka berdua.
"Uangnya mana?" tanya Dina.
Rendra mengeluarkan dompetnya dan memberikan uang seratus ribu.
"Kamu beli tiket dulu ya, Aa mau beli popcorn dulu." pamit Rendra pergi.
Dina mengangguk seraya mengantri membeli tiket untuk mereka berdua. Sedangkan Rendra sudah menghilang membeli popcorn entah ke mana.
Tak berselang lama, Rendra datang membawa popcorn dan juga menenteng satu kantung plastik.
"Aa beli apa?" tanya Dina.
"Ini beliin popcorn."
"Yang di kantung kresek itu apaan?" tanya Dina mengambil kresek di tangan Rendra.
"Aa, ngapain beli yasin?" tanya Dina heran.
"Buat jaga-jaga Din. Kalau nanti setannya keluar Aa bacain yasin." kata Rendra.
"Ya Allah A, ini cuma film nggak usah dramatisir!"
"Udah nggak apa-apa, ayo ke dalam kita cari kursi," ajak Rendra yang masuk ke dalam.
Dina menggeleng kepala tak percaya dengan tingkah calon suaminya itu yang sekarang sudah masuk ke dalam bioskop.
"Kalau takut bilang aja!" omel Dina dari belakang.
...****...
Selesai menonton bioskop, Rendra terlihat sedikit pucat. Dina bahkan sampai tak henti tertawa melihat Rendra yang sejak awal filmnya tayang ia malah berteriak paling kencang di banding wanita lain yang ada di dalam bioskop.
"Nggak usah ketawa Din, Aa beneran takut!" ucap Rendra menatap Dina.
"Ya habisnya film belum tayang udah panik duluan, parno banget tahu nggak?" ucap Dina sambil tertawa.
"Seneng kamu lihat Aa ketakutan?"
"Seneng banget, Alhamdulillah masih ada orang yang bisa bikin tertawa tak berbayar," ucap Dina.
Rendra ikut tersenyum dengan jawaban Dina dan langsung mengelus kepala gadis itu.
"Kita makan dulu ya, Dina laper," ajak Dina.
"Ya udah hayu, mau makan ke mana?"
"Hmm gimana Aa aja deh, sekarang giliran Aa yang milih.
"Oke kita makan ramen?" tanya Rendra.
"Jangan ah, makan soto madura aja gimana?" tawar Dina.
"Tapi kan tadi kamu nyuruh Aa yang milih?"
"Ya nggak apa-apa, ya sudah hayu kita makan soto ih udah lama kita nggak ke sana," ajak Dina berjalan meninggalkan Rendra di belakang.
"Sumpah, cewek itu ribet!" omel Rendra.
Dina yang masih tertawa merasa tak enak pada lelaki itu karena sejak tadi dirinyalah yang memilih.
Ia pun memilih kembali menemui Rendra yang berjalan di belakangnya, dan mengandeng tangan lelaki itu sambil tersenyum cantik ke arahnya.
"Kenapa?" tanya Rendra dengan wajah cuek.
"Nggak apa-apa, cuma kasihan aja lihat Aa jalan sendirian."
"Takut ada yang nikung ya?" goda Rendra.
"Hmm enggak juga, eh tapi bisa jadi sih soalnya kalau mau nikah tuh suka banyak godaannya," jawab Dina sambil tertawa.
"Dasar cewek!" Rendra mengelus kepala gadis itu.
"Ih nanti kerudung Dina kusut!"
"Nggak apa-apa, asal jangan hati kamu aja sampai kusut."
"Mulai ngegombal!"
Rendra langsung mencium kepala Dina tanpa persetujuan gadis itu yang membuat Dina terdiam karena terkejut dengan tingkah Rendra.
"Cuma cium kepala kok, kena kerudung juga!" ucap Rendra.
"Ih tetep aja nggak boleh, malu ih!"
"Kena kerudung aja kok."
"Tetep aja ih nggak boleh, Aa mah agresif!" protes Dina.
"Habisnya kamu bikin Aa posesif!" jawab Rendra.
Rendra kini menggenggam tangan Dina dan berjalan keluar dari mall. Hingga mereka di dalam mobil, Rendra terus mengajaknya berbincang, sedangkan gadis itu kini malah sibuk menatap ponselnya.
"Din, kalau sudah nikah kamu tinggal sama Aa ya," ucap Rendra.
"Iya."
"Nanti tinggal sama Aa di rumah bareng Mamah sama Andin, soalnya rumah baru Aa belum selesai di bangun."
"Iya," jawab Dina."
"Nanti kita bikin anak 5!"
"Iy--, apa A?" tanya Dina menengok.
"Jawab iya aja Din!"
"Nggak mau ah!"
"Lagian sih fokus banget sama handphone dan jawab iya terus dari tadi!"
"Dina lagi cari sourvenir."
"Udah dapet?"
"Belum, Dina bingung mau milih yang mana. Pengennya yang unik."
"Nggak usah yang unik Din, yang penting bisa kepake sama orang itu lebih baik," jawab Rendra.
"Apa dong?"
"Kebetulan temen Aa, dia jualan gelas dan bisa di kasih tulisan, gimana kalau itu?"
"Hmm boleh sih, tapi ada yang lain nggak?" tanya Dina.
"Atau cangkir aja gimana? Itu juga bagus dan bisi pake nama dan lebih aman juga nggak mudah pecah!"
"Boleh, Dina masukin list dulu!" jawab Dina.
"Masukin list? Kamu mau beli souvenir berapa macam?"
"Rencana sepuluh sih, biar beda-beda gitu!"
"Dina sayang, souvenir itu nggak perlu macam-macam, kamu beli aja satu macam yang penting dari pernikahan itu bukan cendra matanya tapi doa dari mereka," jawab Rendra.
"Tapi kan A, souvenir juga penting buat mereka bawa pulang, kan?"
"Souvenir itu kan sebagai ungkapan terima kasih aja Din, kamu udah kasih satu macam aja itu udah cukup buat mereka," ucap Rendra tersenyum.
Dina mengangguk, sepertinya apa yang dikatakan Rendra memang benar. Meskipun awalnya ia memang berencana membeli beberapa souvenir berbeda, namun setelah penuturan Rendra ia merasa cukup untuk membeli satu macam saja.
Dina menatap Rendra sambil tersenyum, ia bersyukur karena Rendra mau memberikan pengertian dengan sabar padanya tanpa harus saling mengeluarkan ego. Hingga mereka berdua sampai di warung soto langganan mereka dulu. Keduanya tampak semangat untuk makan di tempat favorit mereka. Meskipun sederhana namun jika makan bersama rasanya lebih nikmat dan bahagia.
...°°°...
...Terima Kasih Yang Sudah Membaca Kelanjutannya. ...
...Jangan Lupa Komen dan Likenya ...
...^_^...