NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 2

Beginning And End Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Cintapertama / Balas Dendam / Romansa Fantasi / Anime
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan dari Beginning And End.

Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.

Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.

Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.

Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19 : Air mata darah.

Angin malam menerpa rambut panjang Andras yang bergelombang, membelai lembut wajahnya yang dipenuhi keputusasaan. Yumi, tertidur lelap di pahanya, tampak rapuh dan kecil di bawah langit gelap Tokyo. Alice, dengan rambut hitam putihnya yang berkibar-kibar, duduk bersebelahan, jari-jarinya memainkan helai rambutnya—sebuah kebiasaan yang mencerminkan pikirannya yang sedang berputar cepat. Ekspresinya, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, kini dipenuhi dengan simpati dan keraguan.

"Andras…" Alice memulai, suaranya lembut namun berat, diselingi oleh helaan napas yang panjang. Ia menatap Andras, matanya yang tajam mengamati setiap perubahan sekecil apa pun pada ekspresi wajahnya. "Bagaimana kronologi kejadiannya? Beberapa jam yang lalu, detektor kami mendeteksi keberadaanmu dan Yumi di sini… dan saat kami memeriksa kondisi mental Yumi… keadaannya sudah… hancur." Alice menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang mulai menggejolak di dalam hatinya. Rahangnya menegang, menunjukkan tekanan batin yang ia tahan.

Andras menghela napas panjang, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia mengusap lembut rambut Yumi, gerakannya menunjukkan kasih sayang yang mendalam. Matanya, yang semula kosong dan hampa, kini dipenuhi kenangan yang menyakitkan. "Aku… aku ingin menyusul Lynn," katanya, suaranya bergetar. "Ia ingin membeli bunga mawar untuk Reina… aku ingin menemaninya…" Andras terdiam sesaat, matanya berkaca-kaca, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Tapi… aku melihat Yumi." Ia menggigit bibirnya, menahan isakan. Bahunya sedikit terangkat, menunjukkan rasa takut dan keputusasaan yang terpendam. "Ia hendak… terjun ke sungai."

Andras mencengkeram erat tangan Yumi, jari-jarinya memutih karena tekanan. Tubuhnya menegang, bahunya bergetar hebat. "Aku mengejarnya… aku menahannya…" Suaranya nyaris tak terdengar, dipadamkan oleh kesedihan yang tak tertahankan. Ia menunduk, menatap Yumi dengan tatapan yang penuh penyesalan dan rasa bersalah. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, seolah-olah ia ingin menghilang dari pandangan.

Helena, yang sedari tadi mengamati mereka dengan ekspresi serius, mendekat. Rambutnya yang hitam panjang diikat rapi, menunjukkan sikap profesionalnya. Namun, matanya—mata elang yang tajam—terpancar kelembutan dan empati. Ia berhenti beberapa langkah dari Andras, memberikan ruang dan waktu bagi Andras untuk memproses emosinya. "Andras," suaranya tenang, namun tegas. "Apakah kau tahu tujuan kami datang ke sini?" Suaranya menunjukkan ketenangan yang terlatih, namun juga dipadukan dengan rasa pengertian yang mendalam.

Andras menggeleng, kepala tertunduk lemas. "Ada apa? Saingan lamaku di Moskow?" Ia tertawa kecil, suara tawa yang lebih menyerupai rengekan putus asa. Tawa yang dipaksakan, menunjukkan betapa rapuhnya kondisi mentalnya.

Helena menghela napas panjang, suaranya bercampur antara kelelahan dan simpati. "Haah… kau masih ingat, ya? Baiklah, tujuan kami ke sini atas perintah Ketua Craig dan Profesor Reiz… untuk menjatuhkan Danton dan Alexander." Helena mengamati reaksi Andras, menilai tingkat pemahamannya. Ia sedikit membungkuk, menunjukkan rasa hormat namun juga kepedulian.

Kata-kata Helena seperti pukulan telak bagi Andras. Ia terdiam sesaat, menelan ludah, matanya membesar, refleks tangannya menyentuh dadanya. "Jadi… kalian akan membantu kami?" Suaranya hampir terisak, dipadukan dengan desahan panjang. Harapan terlihat jelas di matanya yang berkaca-kaca. Tangannya mengepal erat, menunjukkan tekad yang mulai tumbuh di dalam dirinya.

Alice mengangguk pelan, matanya menunjukkan rasa simpati yang mendalam. "Iya, Andras." Ia meraih tangan Andras, memberikan sentuhan dukungan yang lembut. "Kami telah menganalisis kejadian di Osaka, tanggal 1 hingga 2 Agustus… Kau tertangkap oleh Alexander dan Danton, benarkah?" Alice menatap mata Andras dengan tatapan yang tulus dan penuh pengertian.

Andras mengangkat wajahnya, menatap langit malam Tokyo yang gelap. "Iya… aku dikurung selama sebulan…" Ia mengusap wajahnya, mencoba menghapus sisa air mata yang membasahi pipinya. Namun, yang keluar justru setetes… darah.

"Aku… tak sempat…" Andras terisak, suaranya terputus-putus. "Aku gagal… setelah kehilangan Alisia… aku juga gagal menyelamatkan Reina…" Air mata darah mengalir deras di pipinya, mencerminkan kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Tubuhnya gemetar hebat, menunjukkan keruntuhan mental yang sangat parah. Ia meringkuk sedikit, seolah ingin melindungi dirinya dari rasa sakit yang tak tertahankan.

Helena, dengan kepekaan yang luar biasa, mendeteksi kondisi mental Andras. Hasil pemindaian menunjukkan mental yang sekuat baja, tetapi emosi yang benar-benar terkuras habis. Ia mengambil tisu, mengusap air mata darah Andras dengan lembut. "Tenanglah, Andras," suaranya lembut, namun tegas. "Kau sangat lemah… biarkan kami membantumu." Tangan Helena terulur, memberikan dukungan yang nyata.

Andras menangis tersedu-sedu, menunduk. Air mata darahnya menetes di wajah Yumi yang tertidur. Alice dan Helena saling bertukar pandang, memahami betapa berat beban yang dipikul Andras. Malam itu, di bawah langit gelap Tokyo, mereka bukan hanya menjalankan misi, tetapi juga menyelamatkan jiwa yang hancur lebur. Misi mereka telah berubah menjadi lebih dari sekadar membalas dendam, tetapi menyelamatkan jiwa Andras dari cengkeraman luka masa lalu. Perjalanan panjang baru saja dimulai. Perjalanan yang akan mengungkap lebih banyak rahasia dan menguji kekuatan persahabatan mereka hingga batasnya.

Angin malam berbisik di antara bangunan-bangunan pencakar langit Tokyo, membelai wajah Andras yang dipenuhi luka dan keputusasaan. Yumi, masih tertidur lelap di pangkuannya, tampak rapuh seperti boneka porselen. Andras mengusap lembut rambut Yumi, gerakan tangannya begitu lembut, menunjukkan kasih sayang yang terdalam, namun juga rasa bersalah yang mencengkeram hatinya. Alice, dengan rambut hitam-putihnya yang berkibar, berdiri tegak, jari-jarinya memainkan helai rambutnya— sebuah kebiasaan gugup yang semakin terlihat jelas dalam situasi menegangkan ini. Ekspresinya campuran simpati dan kekhawatiran. Helena, dengan rambut cokelat tua pendeknya yang rapi dan kacamata bulat, mengamati mereka dengan tenang, namun matanya yang tajam menangkap setiap perubahan emosi yang terpancar dari Andras.

Keheningan yang berat menyelimuti mereka, hanya diiringi desiran air Sungai Sumida. Andras akhirnya angkat bicara, suaranya serak dan dipenuhi penyesalan. "Setelah kepergian Alisiya…" ia memulai, menahan isakan. "Aku… aku tak berdaya. Hanya… mengapai tangannya dari kejauhan… menatapnya… sementara cahaya bulan… menelan dirinya…" Matanya berkaca-kaca, bayangan Alisiya seakan muncul di depannya, senyumnya yang ceria, suaranya yang lembut, semua itu terasa begitu nyata dan begitu menyakitkan.

Ia mengusap wajahnya dengan kasar, jari-jarinya meninggalkan jejak air mata yang bercampur darah. "Dan Reina…" Andras melanjutkan, suaranya bergetar hebat. "Pacar adikku… wakil OSIS SMA Kyoko… dia… selalu menolongku. Dia sangat disayangi, bukan hanya oleh kami, tetapi seluruh murid SMA Kyoko…" Andras terdiam sesaat, menahan gejolak emosi yang hampir meruntuhkannya. Tubuhnya menegang, bahunya bergetar hebat.

"Kehilangan Reina… hati ini hancur…" Ia menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir pecah. "Adikku, Kei… juga sangat terpuruk… dan Yumi… semenjak Kei bertengkar dengan Hanna… dia… langsung berubah gila…" Andras tertunduk, menatap Yumi dengan tatapan yang penuh penyesalan dan rasa bersalah. "Aku… aku tak sempat membuat alat yang kau gunakan untuk menyembuhkan Yumi…" Ia terdiam, menunduk dalam-dalam, seolah terbebani oleh beban berat yang tak tertahankan.

Tiba-tiba, sebuah perubahan dramatis terjadi. Mata kiri Andras biru muda yang bersinar, sementara mata kanannya menyala merah terang. Aura yang menakutkan terpancar darinya, menunjukkan perubahan emosi yang ekstrim. Cahaya merah dari mata kanannya menyinari wajahnya yang penuh amarah.

"Aku… hanya memikirkan… membunuh Danton dan Alexander…" Suaranya berubah, menjadi dingin dan keras, dipadukan dengan raungan amarah. "Apakah kalian tahu…? Seluruh keluarga Alisiya… dibakar oleh Alexander…" Andras mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menegang. "AKU… AKAN MENCABIK MEREKA! AKU AKAN MEMBUAT MEREKA MENJADI MAKANAN BABI!! Ia berteriak, suaranya dipenuhi oleh amarah yang membara.

Helena, dengan cepat dan tenang, menahan Andras. Ia memegang kepala Andras dengan tangan yang kokoh, mencoba untuk menenangkannya. "Andras!" suaranya tegas, namun dipadukan dengan empati yang mendalam. "Dendammu berasal dari tekadmu… tetapi… apakah kau berpikir…? Kau, pemegang laboratorium terkenal… kau sama saja membawa teman-temanmu ke dalam jurang kematian!"

Helena menatap mata Andras dengan tatapan yang tajam dan penuh keprihatinan. "Aku tahu kau kuat… tapi lihatlah sekelilingmu! Kei dan teman-temannya masih terluka… masih menderita karena kematian Reina!" Ia sedikit membungkuk, menunjukkan rasa hormat namun juga ketegasan. Kacamata bulatnya memantulkan cahaya remang-remang, menambah kesan intelektual namun juga sedikit misterius.

Andras menepis tangan Helena, berteriak dengan amarah yang tak terkendali. "Kau… kau tidak tahu apa yang kurasakan, Helena! Kau tak berubah! Sama sekali tak berubah! Tak pandai menghiburku!!" Ia menarik napas dalam-dalam, dada naik turun dengan cepat, menunjukkan emosinya yang tak terkendali. "Kau… sangat… sangat…" Ia terdiam, kata-kata selanjutnya tertahan di tenggorokannya. Tubuhnya bergetar hebat, menunjukkan rasa sakit yang luar biasa.

Helena, tanpa ragu-ragu, menampar pipi Andras dengan keras. "Kau juga tak berubah, Andras! Kau hanya memikirkan perasaanmu sendiri! Keras kepala seperti batu lautan!" Ia mencengkeram bahu Andras, matanya menunjukkan kesedihan dan kekecewaan yang mendalam. Gerakan tangannya tegas, namun diselingi dengan sentuhan yang lembut, menunjukkan empati yang tulus.

Andras menangis tersedu-sedu, tubuhnya lemas. Ia memeluk Helena dengan erat, menunjukkan keruntuhan mentalnya. "Lalu… apa yang harus kulakukan, Helena…" Suaranya teredam di antara isakan yang tak tertahankan.

Helena membalas pelukan Andras, mencoba menenangkannya. "Kita akan menghadapi ini bersama-sama," bisiknya, suaranya lembut namun penuh kekuatan. "Kita akan menemukan jalan untuk membalas dendam, tetapi kita juga harus melindungi diri kita sendiri dan teman-teman kita. Kita harus menemukan cara untuk memulihkan diri kita, dan mencegah tragedi lain terjadi."

Malam itu, di bawah Jembatan Rainbow, perjuangan mereka tidak hanya melawan Danton dan Alexander, tetapi juga melawan monster dalam diri mereka sendiri— monster dendam yang mengancam untuk menghancurkan mereka dari dalam. Jalan menuju keadilan akan panjang dan penuh tantangan, tetapi dengan ikatan persahabatan yang kuat, mereka harus menemukan jalan untuk mengendalikan amarah mereka, dan menuju pemulihan. Perjalanan panjang dan penuh emosi baru saja dimulai.

Angin malam berdesir di antara bangunan pencakar langit Tokyo, membawa aroma sungai dan asap kendaraan. Di bawah Jembatan Rainbow, bayangan panjang ketiga sahabat—Andras, Helena, dan Alice—terbentang di atas beton dingin. Yumi masih tertidur pulas di pangkuan Andras, tubuhnya kecil dan rapuh di tengah keputusasaan yang menyelimuti mereka. Suasana tegang, diselingi oleh desiran air sungai dan kegelapan malam yang mencekam.

Alice, dengan rambut hitam putihnya yang berkibar, mendekat ke Andras. Ia meletakkan tangannya di pundak Andras, sentuhannya lembut namun tegas. "Itu sebabnya kami di sini, Andras," katanya, suaranya berat, dipadukan dengan helaan napas yang panjang. "Kami akan memeriksa mental kalian, memastikan kalian bisa membalaskan dendam… tanpa kehilangan diri kalian sendiri." Matanya yang tajam mengamati setiap reaksi Andras, menilai tingkat kesiapan mentalnya. Ekspresinya campuran simpati, keprihatinan, dan tekad.

Andras mengangkat wajahnya, matanya sembab dan berkaca-kaca. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, jari-jarinya meninggalkan jejak air mata bercampur darah. "Leon…" katanya, suaranya bergetar. "Bahkan Leon tak bisa berbuat apa-apa…" Ia terdiam sesaat, menahan isakan. "Tapi… aku tak mau mengecewakannya. Dia selalu membantuku membuat persenjataan teknologi… untuk membalaskan dendam kita semua…" Suaranya dipenuhi rasa bersalah dan juga tekad yang kuat. Tangannya mengepal, menunjukkan tekadnya yang tak tergoyahkan.

Tiba-tiba, sebuah sosok muncul dari balik bayangan. Leon, dengan rambut panjang putih bergradasi merah muda yang berkibar tertiup angin, dan tubuh kekar yang menunjukkan kekuatan dan ketahanan fisik, berdiri di belakang Andras. Ia tersenyum kecil, menunjukkan ekspresi yang tenang dan penuh keyakinan.

"Kan aku sudah janji," katanya, suaranya dalam dan berwibawa. "Tidak akan meninggalkan mereka sebelum kita semua selesai membunuh Danton dan Alexander." Leon menatap Andras dengan tatapan yang penuh kasih sayang dan tekad. Ia mengulurkan tangannya, memegang pundak Andras dengan lembut, menunjukkan dukungannya yang tak tergoyahkan.

Leon menoleh, melihat Helena dan Alice. Ia menyipitkan matanya, mengenali mereka. "Wah… ada tamu jauh-jauh dari Rusia," katanya, suaranya berubah menjadi lebih ceria. "Bagaimana kabar kalian berdua, Helena dan Alice?" Ia tersenyum lebar, menunjukkan persahabatan yang terjalin erat. Ekspresinya ramah, namun di balik itu terpancar kekuatan dan kewaspadaan.

Alice, dengan ekspresi wajah yang menunjukkan rasa risih yang kuat, menjawab dengan ketus. "Nyenyenye… gembel…" Ia memutar bola matanya, menunjukkan ketidaksukaannya yang terselubung. Sikapnya yang dingin dan penuh perhitungan terlihat jelas. Ia membalikkan tubuhnya, menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kehadiran Leon.

Leon tertawa kecil, mengusap rambutnya sendiri dengan santai. "Bahkan kau juga pernah berubah, Alice," katanya, suaranya lembut namun penuh arti. "Lihatlah wajah lesumu… hmmm… seperti ada yang mengantuk…" Ia tersenyum tipis, memperhatikan ekspresi wajah Alice. Matanya yang tajam melihat kelelahan dan beban emosi yang ia pendam.

Alice berbalik dari tatapan Leon, wajahnya memerah. "Bodoh amat!" Ia membentak, namun suaranya sedikit gemetar, menunjukkan bahwa ia sebenarnya terluka oleh kata-kata Leon. Ia membalikkan badan dan menjauh, menunjukkan sikap defensif yang terselubung.

Helena mengamati interaksi di antara mereka tiga, ekspresinya tenang namun penuh arti. Ia mengerti dinamika persahabatan mereka, hubungan yang rumit namun diikat oleh ikatan yang kuat. Helena melangkah maju, mempertemukan pandangannya dengan Andras. "Andras," katanya, suaranya lembut namun tegas. "Kita harus fokus. Kita memiliki informasi penting. Kita harus menggunakannya dengan bijak. Kita harus membalas dendam, tetapi kita juga harus melindungi diri kita sendiri dan teman-teman kita. Kita harus mencari cara untuk mengatasi emosi kita, untuk tetap kuat dan terkendali."

Suasana menegangkan di bawah Jembatan Rainbow perlahan mulai mereda, digantikan oleh tekad yang baru— tekad untuk membalas dendam namun dengan cara yang terencana dan terkendali. Malam itu, di bawah langit gelap Tokyo, persahabatan dan tekad mereka akan diuji hingga batasnya. Perjalanan panjang dan penuh emosi baru saja dimulai.

Beberapa menit berlalu, meninggalkan keheningan yang berat di bawah Jembatan Rainbow. Angin malam berdesir, membawa aroma sungai dan asap kendaraan, seakan ikut menyaksikan kepergian Andras, Yumi, dan Leon. Yumi, masih tertidur lelap di pundak Andras, tampak rapuh dan tak berdaya di dalam mobil Leon yang mewah. Andras, wajahnya dipenuhi kelelahan dan kesedihan, menatap ke belakang, mengucapkan terima kasih kepada Helena dan Alice.

"Dari semua informasi yang kita punya…" Andras memulai, suaranya berat dan serak, diselingi oleh helaan napas yang panjang. "Aku akan mengandalkan kalian berdua…" Ia menatap Helena dan Alice dengan tatapan yang penuh rasa syukur dan kepercayaan. "Terima kasih, Helena… terima kasih, Alice…" Suaranya dipenuhi rasa syukur dan juga beban tanggung jawab yang berat. Ia mengusap wajahnya, mencoba menghapus jejak air mata yang membasahi pipinya.

Alice, dengan langkah tegas yang kontras dengan postur tubuhnya yang kecil, berjalan menuju pintu, menunjukkan sikapnya yang dingin dan penuh perhitungan. Ia melemparkan nomor teleponnya kepada ke arah wajah Leon dengan gerakan tangan yang cepat dan tepat. "Jangan salah paham, ya, gembel," katanya, suaranya ketus namun penuh penekanan. "Aku memberikan nomor teleponku dan Helena hanya untuk memberikan informasi penting tentang penciptaan teknologi Andras… paham!" Ekspresinya menunjukkan ketidaksukaannya yang terselubung, namun juga tekadnya yang kuat untuk membantu.

Leon, dengan senyum tipis di wajahnya, menangkap nomor telepon yang tertempel di pipinya. "Hahh… berhenti bersikap jengkel kepadaku, Alice…" katanya, suaranya lembut namun penuh arti. Ia menatap Alice dengan tatapan yang hangat dan penuh pengertian. Ia memahami sifat Alice yang keras dan penuh pertahanan, namun di balik itu semua, ia tahu betapa tulusnya Alice.

Mobil Leon perlahan melaju, meninggalkan Helena dan Alice di bawah Jembatan Rainbow. Helena menatap kepergian mobil itu, mengucapkan sesuatu yang lirih. "Hahh… Alice… Alice…" Ia menghela napas panjang, menunjukkan rasa lelah dan juga keprihatinan. "Kenapa kau masih membenci Leon?"

Alice, dengan ekspresi wajah yang masih menunjukkan ketidaksukaan, menjawab dengan dingin. "Cih… si gembel itu lebih mementingkan Alisiya daripada sahabatnya dari kecil…" Ia memutar bola matanya, menunjukkan rasa kecewanya. Sikapnya yang dingin dan penuh pertahanan menunjukkan luka masa lalu yang masih belum terobati.

Helena menghela napas panjang, menunjukkan rasa lelah dan juga pemahaman. "Hahh… ternyata masalah masa lalu tak hilang-hilang, ya…" Ia menatap Alice dengan tatapan yang penuh simpati dan pengertian. Ia memahami luka masa lalu yang masih membebani Alice, dan ia tahu betapa sulitnya untuk melepaskan masa lalu.

Helena menekan earphone-nya, suaranya tenang dan profesional. "Jimmy, Reina, Alisiya, Mike… langsung pergi ke penginapan…" Ia melaporkan kepada timnya. "Misi di malam ini telah selesai…" Ia menjeda, menunjukkan kepastian. "Dan siap-siap kan diri kalian untuk pertunjukan Sirosaki Emi… dia akan menampilkan kontes piano di Stadion Kuroku… sesuai dengan informasi yang kudapat dari Andras…"

Helena dan Alice berjalan meninggalkan Jembatan Rainbow, langkah kaki mereka meninggalkan jejak di atas beton dingin. Mereka meninggalkan bayangan panjang di bawah cahaya lampu kota, bayangan yang seakan merepresentasikan beban masa lalu dan tekad untuk masa depan. Langkah mereka mantap, menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan untuk menyelesaikan misi dan mengungkap semua rahasia yang tersembunyi. Perjalanan mereka masih panjang, dan tantangan masih menunggu di depan. Namun, dengan persahabatan dan tekad yang kuat, mereka siap untuk menghadapinya.

1
Riri
ini bukan maha karya, ini sebuah wahyu yang di tulis dengan tinta jiwa dewa author 🤓🙀
secret: wihhh 😭🙏🙏
total 1 replies
Rezaa..
semoga season dua lebih bagus dari season satu... no momy Andras 😭
secret: gapapa... nanti Andras muncul lagi kok... tapi nunggu lama ya wkwkw
total 1 replies
Rezaa..
baru bangun dari kematian lansung rasis si Reina cok 🤣🤣
secret: rasis dulu sebelum membantai /CoolGuy/
total 1 replies
esere
Serius... cerita ini walaupun panjang, tapi seru... karakter karakter nya unik sama narasi nya hidup gitu... pokok nya setia dari s1 🔥
secret: yoi dong 🤝
total 1 replies
esere
hampir kenak parani gara gara Reina mati 😭😭
secret: Dawg... mereka lansung putus asa baca waktu Reina mati 🤣
total 1 replies
Author Sylvia
semangat,moga rame yang baca/Smile/
secret: makasih ya author... kamu juga!!
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!