Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 3 Spontan kaget
Beberapa hari kemudian, Adinda tengah menikmati makan malamnya di kamar bersama Mbak Tia. Suasana hening, hanya suara sendok beradu dengan piring yang terdengar pelan.
BRAK!
Pintu kamar tiba-tiba terbuka keras hingga menghantam dinding. Adinda dan Mbak Tia sontak terperanjat. Jantung Adinda seolah berhenti berdetak saat melihat sosok suaminya berdiri di ambang pintu dengan wajah murka.
Mbak Tia buru-buru berdiri, berusaha melindungi Adinda.
"Hebat kamu ya!" bentak Riko dengan nada tajam. "Selingkuh di rumahku sendiri!"
Riko melangkah mendekat. Aura marahnya begitu kuat, membuat dada Adinda berdebar tak karuan.
"Mbak Tia, keluar kamu!" suaranya menggelegar.
"Ba... baik, Tuan."
Mbak Tia segera keluar, tapi hatinya gelisah. Ia berdiri di depan pintu, berjaga kalau sesuatu terjadi.
Adinda menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri meski tangannya gemetar.
"Kamu sudah pulang?" ucapnya pelan. "Bagaimana kabarnya? Maaf, tapi kamu salah paham. Tidak ada apa-apa antara aku dan Kak Vikto. Dia cuma datang menjenguk, memberi vitamin, buah, dan camilan seperti biasanya. Hanya sebatas kakak dan adik."
Riko kini berdiri tepat di hadapan istrinya. Pandangan matanya menusuk tajam.
"Semudah itu kamu pikir aku percaya?" katanya dingin. "Obrolan kalian terlalu akrab untuk disebut saudara. Siapa tahu dia cuma berpura-pura jadi pengganti kakakmu."
"Jadi kamu lebih percaya ucapan Mama daripada penjelasanku?" tanya Adinda dengan nada bergetar.
"Tentu saja," balas Riko cepat. "Aku lebih percaya Mama daripada kamu. Aku jijik melihatmu. Kamu bahkan tak berguna di rumah ini. Kondisimu saja sudah seperti itu. Aku sudah cukup sabar menjadi suamimu, tapi kamu malah makin keterlaluan."
Adinda menunduk, air mata mulai menetes.
"Baik... kalau kamu memang lebih percaya pada Mama kamu," ujarnya lirih. "Aku hanya berharap, suatu hari nanti kamu tidak menyesal setelah tahu siapa Mama kamu sebenarnya."
Wajah Riko mengeras.
"Mulai sekarang, kamu tidak tidur di kamar ini lagi. Pindah ke kamar tamu bersama Mbak Tia. Setelah kita resmi bercerai, kamu bukan lagi istriku."
Adinda menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tapi suaranya tegas.
"Baik. Kalau itu keputusanmu, aku tidak akan menyesal."
Riko mendengus, penuh amarah.
"Bagus. Cukup aku saja yang menyesal telah menikahi perempuan sepertimu."
Pintu kamar tertutup keras.
Suara langkah kaki Riko menjauh, meninggalkan jejak dingin dan luka di udara.
Adinda terdiam lama, memandangi pintu yang kini menutup rapat seolah menjadi batas antara dirinya dan dunia luar. Matanya kosong, tubuhnya lemas, dan sendok di tangannya terjatuh menimbulkan bunyi nyaring yang menggema di keheningan kamar.
Mbak Tia segera masuk kembali setelah memastikan keadaan aman. Wajahnya cemas melihat Adinda yang kini menunduk tanpa suara.
"Nona..." panggil Mbak Tia pelan, mendekat sambil berlutut di sampingnya.
Namun Adinda tidak menjawab. Air mata mengalir pelan di pipinya, menetes ke piring yang belum sempat disentuhnya.
"Sudah, jangan dipikirkan dulu, Nona. Istirahat ya, nanti saya bantu bereskan makanan ini," ujar Mbak Tia lembut, suaranya bergetar ikut menahan tangis.
Adinda menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mbak. Aku cuma... lelah."
Ia menatap kosong ke arah jendela. Hujan turun perlahan, menempel di kaca, seperti menggambarkan kesedihannya yang tak terbendung.
"Aku tidak pernah menyangka... orang yang dulu aku cintai bisa berkata seperti itu," bisiknya lirih.
"Padahal aku hanya ingin menjadi istri yang baik... tapi kenapa seolah semua salahku?"
Mbak Tia menggenggam tangan Adinda erat, mencoba menyalurkan kekuatan.
"Nona yang sabar. Jangan biarkan hati Nona hancur karena ucapan orang yang buta oleh amarah."
Adinda tersenyum pahit.
"Kalau saja dia mau percaya padaku... mungkin semuanya tidak akan sejauh ini."
Tangisnya pecah, lirih tapi memilukan. Mbak Tia hanya bisa memeluknya tanpa kata, membiarkan Adinda menumpahkan semua sesaknya di pelukannya.
Di luar kamar, hujan semakin deras. Seolah langit pun ikut menangis melihat perempuan rapuh itu harus menanggung luka dari cinta yang dulu begitu ia percayai.
_____
Keesokan paginya, udara masih terasa dingin sisa hujan semalam. Cahaya matahari baru menembus tirai tipis ketika Adinda terbangun. Matanya sembab, kepalanya berat akibat tangisan yang tak kunjung reda.
Mbak Tia mengetuk pelan pintu kamar sebelum masuk.
"Nona, maaf… tapi Tuan Riko menyuruh saya memindahkan semua pakaian dan barang Nona ke kamar tamu," ucapnya pelan, seolah takut melukai perasaan Adinda lebih dalam.
Adinda terdiam sejenak. Matanya menatap kosong ke arah lemari. Ada jeda panjang sebelum ia mengangguk lemah.
"Baik, Mbak… kalau itu maunya dia."
Dengan hati-hati, Mbak Tia mulai menurunkan pakaian-pakaian dari gantungan. Suasana kamar hening, hanya terdengar suara lipatan kain dan deru napas yang berat.
Adinda membantu sebisanya, meski setiap kali tangannya menyentuh barang-barang itu, ada rasa sesak yang menyesakkan dada. Setiap benda menyimpan kenangan, baju yang pernah ia pakai saat Riko membawanya ke rumah ini.
Kini semuanya terasa asing.
Dingin.
Seolah rumah itu bukan lagi tempatnya berpulang.
Saat mereka selesai beres-beres, Riko muncul di depan pintu kamar. Wajahnya tanpa ekspresi, matanya dingin seperti es.
“Sudah siap pindah?” tanyanya datar.
Adinda menatapnya, mencoba tersenyum walau bibirnya bergetar.
“Sudah. Tidak perlu khawatir, aku tidak akan menempati tempat yang bukan hakku lagi.”
Riko tidak menanggapi. Ia hanya melirik sebentar, lalu berbalik pergi.
Langkahnya tenang, tapi setiap langkah terasa seperti pisau yang menoreh hati Adinda.
Mbak Tia membantu membawa koper terakhir ke kamar tamu. Di sana, suasananya jauh berbeda, lebih sempit, tanpa cahaya yang cukup, dan udara lembap menyergap.
Adinda menatap sekeliling ruangan itu lama.
“Mulai sekarang… ini kamarku untuk sementara waktu,” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Mbak Tia mendekat, menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Nona, saya tahu ini berat. Tapi jangan menyerah, ya. Kadang Tuhan membiarkan kita kehilangan sesuatu untuk menunjukkan siapa yang benar-benar peduli.”
Adinda menunduk, tersenyum pahit.
“Aku hanya takut, Mbak"
Mbak Tia menepuk lembut bahunya. “Kalau sesuatu memang hancur karena dusta, berarti yang kita selamatkan nanti bukan lagi cinta, tapi harga diri.”
Adinda hanya diam. Dalam diam itu, ia berjanji pada dirinya sendiri, kalaupun Riko menyingkirkannya hari ini, suatu saat ia akan membuktikan bahwa kebenaran akan berpihak padanya.
Di luar, terdengar suara mobil Riko yang meninggalkan rumah. Bunyi mesin itu perlahan menjauh, meninggalkan hati Adinda yang kini benar-benar remuk.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..