Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Omongan Tetangga
Hujan kembali datang mengguyur kota hujan malam itu, udara dingin tidak begitu terasa di dalam rumah yang sudah dipenuhi tamu. Para tamu terbelah menjadi kelompok bapak-bapak di smoking area dan ibu-ibu di area ruang keluarga, juga ada kelompok anak-anak yang bermain di Playground indoor di lantai dua.
Di tengah ramainya suara ibu-ibu yang saling bertukar cerita, Hania memilih duduk di pinggir jendela besar yang mengarah ke taman, menatap taman samping rumah baru itu sambil mendengarkan suara hujan yang jatuh mengetuk jendela.
Di sudut lain, sekelompok ras terkuat di muka bumi ini saling berbisik dan melirik Hania dengan tatapan sinis. Semakin pelan suara bisikannya, maka berita gosip itu semakin hot dan layak digoreng untuk santapan dari pintu ke pintu rumah tetangga. Sebagai tetua yang menyebarkan informasi, bu RT membagikan password per-gosip-an,
"ini rahasia untuk ibu saja, jangan bilang siapa-siapa."
^^^"Tenang bu RT rahasia aman," jawab mereka.^^^
Tapi hati mereka berbisik...
'Bu Ani yang diujung gang harus tau nih'
'Kalau bu Emil tahu pasti makin seru!'
Begitulah seterusnya...
Bu Yanti yang ikut mendengar informasi dari bu RT dan mempunyai prinsip tidak suka ngomongin orang lain di belakang, memilih mendekati Hania untuk mendengar jawaban langsung dari sumbernya.
"Mba Hania, lagi ngapain, kok nggak bergabung sama kami?" tanya bu Yanti.
Hania tersenyum tipis, "bingung bu mau ngobrol apa," jawabnya
"Ya apa aja toh, belajar berbaur mulai sekarang sebelum jadi ibu rumah tangga dan tinggal di komplek sini."
"Baik bu." Hania tersenyum kikuk, belum mengerti arah pembicaraan bu Yanti.
"Ngomong-ngomong sejak kapan mba Hania kenal dokter Sabil," tanyanya dengan tatapan selidik
"Belum lama bu,"
"Oh pantesan, padahal baru enam bulan lalu mereka merayakan ulang tahunnya Jordan, ngundang semua tetangga. Ehh... Tau-tau dengar dokter Sabil sedang proses cerai sama dokter Danisha. Masalahnya apa toh mba Hania? bener ya dokter Sabil memiliki simpanan?"
"Wah saya kurang tahu masalah mereka, bu Yanti."
"Hati-hati lho mba Hania, jangan sampai sampean itu dituduh jadi orang ketiga hubungan mereka. Secara kamu itu cantik, muda, bukan tidak mungkin kan dokter Sabil kepincut sama sampean, mba."
Hania hanya diam dan tertunduk. Isi kepalanya semakin berisik, suara-suara di kepalanya saling bersahutan. Ia memegang erat pinggir jendela dengan tangannya yang berkeringat dan gemetar.
Bude Sunti yang sudah curiga dengan gelagat bu Yanti segera menghampiri, "memangnya kenapa kalau keponakan saya kepincut dengan Hania, Bu Yanti? Saya yang perempuan aja kepincut sama gadis ini."
"Bude nggak kasian sama menantu dan Jordan?!"
"Bukankah kalian juga yang sering bikin gosip tentang Danisha. kalian itu cuma tahu luarnya aja, yang tahu bagaimana ponakan saya menjalani rumah tangganya itu ya saya dan Sabil sendiri."
"Jadi bude setuju rumah tangga mereka dihancurkan karena orang ketiga?" tanya bu Yanti sambil melirik Hania dengan sinis.
"Tidak ada orang ketiga di antara mereka, cukup jelas ya bu Yanti." Bude Sunti memindai gestur tubuh Bu Yanti dari wajah hingga ke bawah lalu ke wajah lagi dengan sorot mata mengintimidasi.
"Je-jelas bude." Bu Yanti akhirnya menjauh dan memilih mendekati meja makan untuk mengambil cemilan.
Bude mengusap lengan Hania dengan lembut, "jangan kamu pikirkan mulut jahat orang lain Hania, kamu cukup fokus dengan diri kamu sendiri saja."
"Baik bude," jawabnya sambil menggenggam telapak tangan bude.
"Bude Sunti, mari kita foto-foto dulu," ajak Bu RT memasang senyum palsu.
"Wes sudah yang muda-muda saja, bude nggak usah di foto," tolak bude.
"Ayo bude, buat kenang-kenangan," bujuk Saraswati, sang tuan rumah langsung menarik tangan bude.
"Ikut saja bude, aku biar di sini."
Saat mereka sibuk foto dengan bermacam gaya, Hania memilih keluar dan menghirup udara taman sebanyaknya. Aroma tanah basah, aroma dedaunan segar karena terkena air hujan membuatnya sedikit rileks dari ketegangan yang baru saja terjadi.
"Sekarang aku sudah ada di sini, Nyai. Aku bisa memberikanmu kehangatan dan perlindungan yang kamu butuhkan. Kamu bisa menyentuhku, begitu juga aku." suara di balik punggung Hania adalah suara pria yang aromanya bisa Hania kenali meski wujudnya bukan Prabu Kamandaka.
"Tubuh siapa yang paduka manfaatkan, bagaimana kondisi orang itu saat ini, dia tidak mati, kan? apa benar berita yang sering aku dengar jika paduka seringkali menumbalkan orang lain?" tanya Hania tetap menatap pemandangan di taman tanpa menoleh ke arah Prabu.
Prabu terkekeh pelan, "manusia di dunia ini banyak sekali yang serakah, aku hanya mengambil janji mereka dengan menukarkan keserakahan yang mereka inginkan."
"Apa orang yang memiliki tubuh itu sudah mati?" tanyanya mengulangi.
"Belum, dia hanya koma. Aku meminjam tubuhnya sebentar. Tapi aku tidak menyukai tubuh ini, Nyai," jawab Prabu dengan sorot mata sedih karena Hania tidak ingin melihat ke arahnya. "Tubuh ini terlalu jelek, buktinya kamu tidak bersedia menatapku. Padahal sejak tadi aku selalu menatapmu, Nyai."
Hania mendengus kesal, ia memutar tubuhnya lalu berhadapan dengan Prabu dalam tubuh orang lain.
"Aku tidak suka dibohongi, Paduka. Semua yang aku lihat dari dirimu saat ini hanya ilusi dan kamuflase. Kamu berjanji akan menghadirkan kembali keluargaku, tapi ternyata kamu hanya menipuku. Semua yang hadir ke rumahku adalah prajuritmu yang berubah wujud menjadi keluargaku."
"Aku minta maaf soal itu, aku... " jawaban Prabu menggantung karena mendengar langkah mendekat.
Dari arah ruang tengah Sabil berjalan menghampiri, "Hania, kamu di sini rupanya. Kenapa tidak ikut foto bersama warga lain?" tanyanya sambil mengulurkan tangannya untuk Hania genggam. Tapi Hania tidak ingin menyambutnya, ia harus menjaga jarak mulai saat itu.
"Eh... dokter Sabil, Hania baru saja menanyakan pohon tabebuya ini, bagaimana perawatannya. Sepertinya Hania menyukai tanaman," dusta Prabu.
Hania memiringkan kepalanya sambil tersenyum tipis, "aku tidak tertarik dengan pohon tabebuya-nya pak Prabu, tapi aku bertanya tentang bunglon yang sedang berkamuflase di batang pohonnya," jawab Hania sambil menunjuk bunglon yang menempel di batang pohon.
"Oh itu... Iya, bunglon!" jawab Prabu.
Ada perasaan tidak nyaman di dada Sabil saat Hania dan Prabu saling berinteraksi dengan tatapan dan senyuman kikuk. Cemburu? Ya, dia merasakan kecemburuan yang tiba-tiba muncul ke permukaan. Sabil mengambil paksa tangan Hania yang berada di sisi tubuhnya. Menggenggam tangan gadis itu dengan erat sambil mengelus lembut jari-jari hania dengan ibu jarinya.
Genggaman yang erat adalah cara membuktikan sebuah kepemilikan, Hania milikku. Lalu usapan lembut di permukaan kulit Hania cara Sabil ingin memberikan ketenangan dan kenyamanan, agar gadis itu terlena dengan kehangatan kulitnya, menyalurkan kasih sayangnya dengan sentuhan.
Mata Prabu terbakar api cemburu, rahangnya mengeras dengan senyuman yang perlahan menghilang dari wajahnya. Mata itu berkilat marah, lelaki itu menggeram pelan.
"Sudah malam, Hania. Sebaiknya kita berpamitan pada tuan rumah," bisik Sabil. Hania melirik Prabu sebentar lalu mengangguk.
"Pak Prabu, karena besok aktivitas kami sangat padat, kami mohon undur diri. Terima kasih atas undangannya." Sabil mengangguk sopan lalu berlalu melewati Prabu sambil bergandengan tangan dengan Hania.
Lelaki itu tidak menjawab satu kata pun, tatapannya seakan ingin membakar habis Sabil hingga menjadi abu karena amarahnya kian mendidih.
Mereka keluar rumah harus melewati sekumpulan ibu-ibu yang masih sibuk berfoto, tatapan mereka tidak sedikit yang menatap Hania dengan sinis, terutama cara Sabil membawa Hania ke luar rumah sambil bergandengan tangan, seperti dua kekasih yang sedang dimabuk cinta. Sementara bude Sunti hanya tersenyum menanggapi bisik-bisik tetangga yang sudah meyakini bahwa Hania adalah wanita simpanan dokter tampan itu.
Setelah keluar dari gang blok S, Hania menghempaskan tangan Sabil, lalu berjalan cepat ke arah rumah. Mukanya cemberut, matanya memerah menahan airmata. Ia butuh waktu sendiri untuk menumpahkan kerapuhan hatinya yang sejak tadi ia jaga setengah mati.
"Hania, tunggu!" cegah Sabil saat Hania akan menutup pintu kamar tapi...
Bam!
Pintu itu tertutup rapat. Sabil menghela napas berat. Ia berdiri di depan kamar Hania dengan wajah tertunduk. "Hania, bisakah kita bicara sebentar."
"Bil, biarkan dia istirahat. Malam ini ada badai dalam jiwanya yang harus dia jinakkan sendirian. Kalau dia sudah tenang besok kamu bisa menemuinya lagi." Bude Sunti menepuk bahu Sabil dengan lembut.
"Ada apa dengannya bude, kenapa dia tiba-tiba cemberut?"
"Mulai besok jangan lagi bersikap mesra seperti tadi. Beri dia jarak dulu Bil, omongan tetangga lebih panas daripada kompor yang menyala."