NovelToon NovelToon
Bukan Cinderella Sekolah: Deal Sinting Sang Pangeran Sekolah

Bukan Cinderella Sekolah: Deal Sinting Sang Pangeran Sekolah

Status: sedang berlangsung
Genre:Si Mujur / Diam-Diam Cinta / Idola sekolah / Cinta Murni
Popularitas:111
Nilai: 5
Nama Author: Dagelan

Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.

Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”

Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.

Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.

Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25: Latihan Weekend dan Mobil Cakra

Weekend itu, aku bangun dengan perasaan campur aduk yang bikin kepala pusing. Alarm bunyi jam 6 pagi—padahal weekend biasanya buat tidur sampe jam 12 dan malas-malasan sambil nonton drakor. Tapi sekarang… latihan Runner Team menungguku. Dan yang lebih bikin deg-degan. Cakra juga ada.

Aku pilih baju sporty yang sederhana—kaos longgar warna abu, celana training hitam, sepatu kets yang udah agak usang—tapi tetep pengen terlihat rapi. Setelah menelan napas panjang sampe perut sakit, aku melangkah keluar rumah sambil berharap jantungku nggak copot begitu ketemu dia.

Di lapangan olahraga kota, dia sudah menunggu—santai duduk di tribun sambil ngemil energy bar, rambutnya agak berantakan karena angin pagi. Begitu aku nyampe, dia langsung menatap dan senyum.

“Siap, Sa?” sapanya dengan nada santai tapi penuh perhatian—seolah dia cuma nungguin aku.

Aku mengangguk gugup, jari ku gemetar. “Enggak… semampu gue aja. Kalau pingsan, lo yang bawa pulang ya.”

Dia ketawa pelan, menepuk bahuku ringan. “Kalau malu, gue yang tanggung jawab. Gue temenin lo dari awal sampai akhir—janji.”

Aku cuma bisa mengangguk, tapi dada panasnya bikin aku pengen pura-pura nggak peduli dan menatap langit.

Latihan dimulai. Aku ngos-ngosan sejak pemanasan—kaki gemeteran, napas tersengal, kayak orang yang baru belajar lari. Cakra tetap di sampingku, pelan-pelan menyesuaikan langkahku jadi nggak tertinggal.

Kadang dia nyeletuk semangat. “Sedikit lagi, Sa, gue di samping lo!” Kadang dia nendang bola kecil ke arahku biar aku bisa tersenyum walau ngos-ngosan sampe mulut kering.

Di satu tikungan lapangan, aku hampir tersandung tali sepatu sendiri. Cakra langsung nyamperin dengan cepat, nahan tanganku sebelum aku terjatuh—dan pura-pura bergaya dramatis.

“Waduh, lo hampir jatuh! Gue selamatin lo dari kejahatan tali sepatu!”

Aku tersedak napas, tapi tetep bisa ngomong: “Berhenti sok dramatis bisa? Gue cuma kesandung doang!”

“Bercanda aja. Biar lo nggak sedih ngos-ngosan,” katanya sambil ketawa kecil—suara tawanya yang bikin dada aku lebih panas.

Latihan berjalan sekitar satu jam. Aku ngos-ngosan, keringetan basah baju, tapi rasanya… senang. Aku merasa bagian dari sesuatu yang baru—bukan cuma “pacar pura-pura” atau “anak kafe”—tapi bagian dari tim. Sedangkan Cakra? Dia berjalan santai seolah ini biasa banget—ternyata dia sering ngelakuin olahraga. Sedangkan aku? Duta rebahan sampai rumah. Olahraga di sekolah doang, dan di kafe itu kerja, bukan olahraga!

Setelah latihan selesai, aku duduk di rumput sambil minum air yang dia ulurkan. Angin sepoi-sepoi berhembus, dan dia langsung meletakkan jaketnya di bahuku. Panas di dada tetap ada, tapi rasanya manis dan aman—seperti ada bantal yang menutupi hati.

“Lihat kan, gue bilang lo bisa!” katanya santai, senyumnya bikin dunia terasa berhenti sebentar.

Aku nyengir kaku, mengusap keringetan di alis. “Gue nggak nyangka bisa bertahan… tanpa pingsan. Itu sudah prestasi buat gue!”

Dia menepuk bahuku lagi, sentuhan yang lembut. “Hebat, Sa. Gue seneng lo ikut hari ini. Lo bikin semuanya lebih seru—bukan cuma latihan, tapi hari ini juga.”

Aku tersedak sedikit, gugup tapi bahagia. “Berhenti manis, Cak. Muak sama kata-kata kayak gitu! Nanti gue lupa ini cuma pura-pura!”

Setelah semua bersih-bersih dan stretching, aku bersiap pulang dengan jalan kaki. Tapi Cakra tiba-tiba bilang. “Lo capek kan? Gue antar pulang. Jalan kaki jauh banget dari sini.”

Aku terdiam, mata bulat. “Eh… gue bisa jalan sendiri, kok! Jalan sehat, hemat uang!”

Dia cuma nyengir, tidak mau pusing. “Nggak papa, naik mobil gue aja. Cuma sebentar.”

Aku naik ke mobilnya dengan hati deg-degan yang makin kencang. Interiornya rapi, AC dingin yang pas, tapi yang bikin aku panik bukan cuma itu—tapi cara dia menatapku dari sebelah pengemudi sambil tersenyum santai. Seperti kami beneran pasangan yang biasa jalan-jalan weekend.

Di perjalanan, kami ngobrol ringan. Kadang dia nyeletuk lucu tentang “tali sepatu yang jahat”, kadang aku cerewet sendiri tentang latihan tadi yang bikin kaki pegal—semuanya terasa… nyaman. Napasku tetap nggak beraturan, tapi aku nggak mau turun dari mobil ini! Bahkan pas lampu merah, aku malah nggak sadar diri ngelap kaca mobilnya sambil bicara—seperti udah biasa bangun pagi dan latihan bareng dia.

Keesokan harinya, aku masih setengah mengantuk tapi terpaksa bangun jam 6 lagi. Hari ini jam olahraga sekolah dipakai buat latihan Runner Team. Aku pakai kaos olahraga sekolah dan celana training—biasa aja, tapi berasa canggung karena semua mata bakal ke arah kita.

Begitu aku sampai di lapangan, Cakra sudah berdiri, menyandar di pagar lapangan sambil nunggu.

“Telat dikit, tapi datang. Bagus,” sapanya santai—tapi bikin jantungku langsung berdegup kencang.

Aku nyengir kaku. “Iya… masih hidup, Cak. Itu aja cukup kan?”

Dia ketawa pelan, menepuk bahuku ringan. “Lo bakal bertahan. Gue temenin lo—janji lagi.”

Karena cuma punya satu jam, latihan dilakukan kilat. Aku ngos-ngosan lagi, kaki gemeteran, napasku nggak beraturan. Cakra tetap ada di sampingku, sesekali menepuk punggungku atau menarik tanganku pelan biar nggak tertinggal. “Santai, Sa. Jangan lupa senyum, walau ngos-ngosan!”

Aku tersedak udara. “Gue nggak kuat sama kata-kata kayak gitu—jantungnya mau copot!”

Di satu putaran, aku hampir tersandung lagi. Cakra langsung nyamperin, nahan tanganku sambil pura-pura dramatis. “Waduh, lo jangan jatuh lagi! Untung gue selalu ada!”

Aku nyengir kaku, napas masih ngos-ngosan. “Idih, sok hero banget lo!”

Setelah latihan kilat selesai, aku duduk di rumput sambil minum air. Dia lagi-lagi meletakkan jaketnya di bahuku karena angin agak dingin. Panas di dada tetap ada, tapi rasanya nyaman—seperti itu tempatnya.

“Lo hebat, Sa. Gue senang lo ikut hari ini. Lo bikin semuanya lebih seru,” katanya santai sambil senyum.

Aku tersedak, pipi panas sampe mau meleleh. “Seru ngatain gue aja yang buat lo seru? Bukan karena latihan?”

Dia ketawa pelan, tapi matanya tetap bersinar—hanya ke arahku. “Iya. Cuma karena lo.”

Aku langsung berdiri, panik. “Nyebelin lo. Gue… gue ke kantin dulu ya! Mau ngadem didepan kipas jajanan!” Tanpa menunggu jawaban, aku lari ke kantin—takut kalau dia nyebut kata lain lagi yang buat hati aku terbang ke bulan.

 

✨ Bersambung…

1
Yohana
Gila seru abis!
∠?oq╄uetry┆
Gak sabar nih nunggu kelanjutannya, semangat thor!
Biasaaja_kata: Makasih banyak ya! 😍 Senang banget masih ada yang nungguin kelanjutannya. Lagi aku garap nih, semoga gak kalah seru dari sebelumnya 💪✨
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!