"Kamu itu cuma anak haram, ayah kamu enggak tahu siapa dan ibu kamu sekarang di rumah sakit jiwa. Jangan mimpi untuk menikahi anakku, kamu sama sekali tidak pantas, Luna."
** **
"Menikah dengan saya, dan saya akan berikan apa yang tidak bisa dia berikan."
"Tapi, Pak ... saya ini cuma anak haram, saya miskin dan ...."
"Terima tawaran saya atau saya hancurkan bisnis Budhemu!"
"Ba-baik, Pak. Saya Mau."
Guy's, jangan lupa follow IG author @anita_hisyam FB : Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gara-gara kabar berita
Suasana rumah Budhe Ratna benar-benar seperti kawah kecil yang mendidih. Perempuan itu tampak sangat menggebu-gebu sampai matanya memerah.
“Oke,” kata Luna, “aku pamit. Aku enggak bisa di sini terus,” lanjutnya pelan.
“Apa, pergi? Pergi ke mana lagi kamu, Luna?!”
“Ke mana aja, asal enggak di sini,” jawab Luna lantang. “Aku juga enggak betah, Budhe. Tiap hari Budhe marah-marah enggak jelas. Aku ini salah apa, sih? Enggak ada angin enggak ada ujan, tiba-tiba aja dimarahin enggak jelas.”
Mendengar itu, Budhe Ratna langsung membanting kain di tangannya ke meja.
“Salahmu itu, Luna, karena kau nikah sama orang kaya! Kamu pikir Budhe ini bisa kamu bodohi terus, hah? Budhe kesel Luna, Budhe marah sama kamu!”
“Marah? Marah karena aku nikah? Aku kan enggak bilang aku mau nikah Budhe sendiri kok yang ngebet, waktu itu ....”
“Jangan muter-muterin omongan, Luna!” potong Budhe dengan suara keras. “Karena kamu bohong, kamu enggak jujur sama Budhe tentang Arsen.”
“Kan jadi salah aku lagi, padahal dari awal kalian yang enggak mau dengerin aku ngomong apa.”
“Kalau Budhe mau marah-marah dan nyalahin aku terus, lebih baik aku keluar aja dari rumah ini. Enggak usah anggep aku ponakan Budhe lagi, aku enggak papa kok.”
Belum sempat langkahnya menjauh, Budhe Ratna menghampiri Luna dengan cepat dan langsung memukul lenganya.
Plak!
Plak!
Luna menatapnya kaget, tangannya otomatis menutupi lengannya yang panas.
Namun, bukannya melanjutkan marah, Budhe Ratna justru terisak. Air matanya jatuh begitu saja, bahunya bergetar hebat.
“Budhe…,” ucap Luna lirih, tapi perempuan paruh baya itu menggeleng keras.
“Budhe cuma enggak mau kamu hidup sengsara. Budhe enggak mau kamu nikah cuma karena uang, Luna! Budhe mau kamu nikah karena cinta, bukan karena kamu butuh tempat bersembunyi.”
Tangisan itu membuat dada Luna sesak.
“Budhe, sebetulnya Budhe ini kenapa? Bilang sama aku.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah dapur. Pakdhe Surya muncul dengan ponsel di tangannya, dengan wajah bingung sekaligus gelisah.
“Budhe kamu marah gara-gara ini, Luna!”
Ia menunjukkan layar ponselnya. Di sana terpampang artikel dengan foto besar:
“Arsena Kusumawardhana, Pengusaha Muda dari Keluarga Terpandang Surabaya, Perluasan Bisnis sampai ke kota Bandung.”
Luna menatap layar itu lama. Lalu menarik napas panjang perlahan.
Ia menatap Budhe Ratna dan Pakdhe Surya bergantian, sebelum akhirnya kembali bicara. “Iya, Pakdhe. Itu Mas Arsen.”
Budhe Ratna langsung menoleh tajam. Menatap Aluna dengan tatapan marah.
“Jadi benar! Dia orang kaya besar! Ya Allah, Luna, kenapa kamu enggak bilang dari awal?! Kamu pikir Budhe ini bakal bangga, hah?”
“Budhe.” Luna menatapnya lembut. “Duduk dulu, ya. Aku mau jelasin. Kalau cuma marah-marah, kita nggak akan nemuin jalan keluarnya.”
Dengan berat hati, Budhe duduk di kursi, disusul Pakdhe di sebelahnya. Luna duduk di hadapan mereka.
“Budhe, Pakdhe… aku menikah bukan karena uang. Bukan juga karena aku mau hidup enak.”
Ia menunduk sebentar, lalu melanjutkan, “Entahlah, aku juga enggak tahu kenapa aku mau menikah sama Mas Arsen. Tapi yang aku tahu, cuma dia yang mau nerima aku, Budhe. Saat orang lain ngejek, karena latar belakangku, cuma Mas Arsen yang mampu merangkulku. Cuma dia yang enggak mempermasalahkan mama aku.”
“Luna, tapi kamu tahu sendiri, hidup di dunia orang kaya itu enggak gampang. Kamu akan selalu merasa kecil ....”
“Budhe,” potong Luna dengan suara tenang. “Aku ini memang kecil. Aku enggak punya apa-apa. Tapi kalaupun aku nikah sama orang miskin, apa itu bisa jadi jaminan aku bahagia? Apa ada jaminan aku enggak akan disakiti?”
Pakdhe Surya menatap Luna dalam diam, ekspresinya lembut penuh pertimbangan.
“Sekarang, meskipun mungkin belum ada cinta antara aku dan Mas Arsen, aku tahu dia orang yang tanggung jawab. Budhe sama Pakdhe enggak perlu khawatir soal uang, soal kebutuhan, karena semua sudah dia tanggung. Aku enggak minta kemewahan, aku cuma mau hidup tenang. Dan, aku yakin, cuma Mas Arsen yang bisa kasih itu sekarang.”
“Luna, Budhe cuma takut kamu kecewa nanti….”
Luna pun tersenyum tipis, kemudian menggenggam tangan Budhe dengan lembut.
“Budhe doakan aja yang baik, ya. Aku enggak minta apa-apa lagi selain restu. Doain aku bahagia, doain rumah tanggaku langgeng. Aku juga mau belajar jadi istri yang baik.”
Tangis Budhe akhirnya kembali menjadi-jadi, tapi kali ini bukan karena marah, melainkan karena pasrah.
Ia menarik Luna ke pelukannya, memeluk erat tubuh keponakan yang dulu ia rawat dari bayi itu.
“Ya Allah, Luna… Budhe cuma mau kamu bahagia. Kamu dengar, ya?”
“Iya, Budhe.”
Pakdhe Surya mengangguk pelan, ikut menepuk punggung Luna perlahan.
“Sudahlah, Ratna. Anak ini sudah besar. Biar dia jalanin pilihannya sendiri. Kadang bahagia itu datang dari tempat yang enggak kita sangka. Lagian, aku liat Pak Arsen itu orang baik, kok.”
“Baik dari mana, kalau baik, dia enggak bakal ninggalin Luna di sini. Semalem aja dia enggak pulang.” Budhe Ratna bersungut-sungut. Dia tidak tahu, kalau sejak tadi, Arsen mendengar semua hal yang mereka bicarakan.
Pria itu tersenyum-senyum sendiri setelah mendengar ungkapan hati Aluna. Meskipun begitu, dia tetap berusaha terlihat biasa saja untuk menjaga wibawanya.
Tok! Tok! Tok!
“Assalamu'alaikum!”
Arsen memberikan senyum terbaik yang bisa dia berikan, walau sulit dia lakukan demi menghargainya orang yang ada di rumah, tapi ketika pintu rumah itu terbuka, bukan sambutan hangat yang dia dapatkan, tapi malah....
“Budheee noooooo!” pekik Aluna.
Byurrrr!
Semuanya sudah terlambat, air satu baskom sudah dilempar ke wajah Arsen, pria yang tidak tahu apa-apa itu mematung dan kehilangan senyum.
“Astagfirullah Ratna ....” Pakdhe dan Luna sama-sama panik. Mereka berdua ingin membantu tapi Budhe malah mengambil sapu.
“Pakdhe tolong pengangin Budhe ... Tolong Pakdheee!” Luna berusaha untuk melindungi Arsen, tapi dia malah ikut dipukul, padahal Pakdhe Surya juga sudah mencoba untuk memeluk istrinya agar istrinya tidak bisa bergerak. Namun, serigala pemarah itu masih saja mengamuk.
“Budheee stoppp!”
lanjuttyy..
❤❤❤😍😙😙