Takdir yang tak bisa dielakkan, Khanza dengan ikhlas menikah dengan pria yang menodai dirinya. Dia berharap, pria itu akan berubah, terus bertahan karena ada wanita tua yang begitu dia kasihani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Efek Obat Terlarang
Malam sangat dingin menyelimuti tubuh Tanan yang terduduk di atas lantai yang dingin tanpa alas sama sekali. Matanya mengantuk, tubuhnya lelah, tapi Tanan tidak bisa tidur dengan tatapan aneh yang berasal dari teman satu selnya.
Teman-teman yang biasanya bergaul dengannya entah berada di sel mana, mereka terpisah dan sialnya, Tanan harus bersama dengan tiga orang laki-laki berbadan besar dengan penuh tato di lengan, leher, dan punggungnya.
Tanan lapar, tapi tidak ada makanan yang bisa dia nikmati seperti biasanya saat di rumah. Makanan penjara hambar, tidak enak dia rasa di mulutnya dan dia hanya makan dua suap saja tadi. Jelas lebih enak masakan sang ibu meski hanya makan seadanya dengan lauk tempe atau tahu.
Tiba-tiba saja seorang laki-laki dengan perut buncit mendekat pada Tanan dan menatapnya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seringaian laki-laki itu tampak mengerikan dilihat oleh Tanan.
“Kenapa nggak gabung sama kita?” tanya laki-laki tersebut. “Dari pada kamu di sini sendirian, bukannya lebih baik kalau gabung saja? Kamu bisa pijit kami, kebetulan sekali leher kami kaku,” ujar laki-laki tersebut dan tertawa dengan cukup keras.
Di sebelah lain, dua laki-laki tengah duduk sambil memainkan kartu, sama tertawa seperti lelaki yang ada di hadapan Tanan.
“Saya di sini saja,” tolak pemuda itu.
Laki-laki tersebut kembali dengan kedua temannya, sesekali tertawa melirik ke arah Tanan yang tampak ketakutan duduk di pojokan, keringat membasahi kening pemuda tersebut.
“Hei, dari pada kamu nggak berguna cuma duduk di situ, tolong ambilkan kami minum. Aku haus,” ucap laki-laki yang lain dengan kumis tebal. Dia menunjuk botol plastik kemasan yang ada di dekat Tanan.
Dengan segera Tanan bergerak, mengambil botol tersebut dan menggeserkannya ke dekat ketiga pria itu.
Semakin lama semakin Tanan merasa sebal di dalam sana, ketiga laki-laki itu terus menerus menyuruhnya ini dan itu, mengambilkan air, mengusir kecoak, bahkan menyuruhnya untuk mengelap air yang menyembur ke lantai dari mulut mereka saat tertawa terbajak-bahak.
“Hei, ayo lap ini. Kenapa kamu diam aja?” tanya laki-laki gendut tadi yang memiliki tato macan di dadanya. Mereka melanjutkan permainan mereka.
Tanan enggan beranjak, duduk di pojokan sambil memeluk tubuhnya sendiri, kepalanya sakit, tubuhnya juga menggigil. Dia merasa sangat tidak nyaman sama sekali malam ini.
“Hei, anak baru! Kamu tuli atau apa? Apa kamu nggak tau kalau genangan air akan sangat bahaya? Gimana kalau ada yang kepeleset?” tanya laki-laki itu memerintahkan Tanan.
Tanan melirik semua yang ada di sana dengan tatapan yang penuh kesakitan, matanya mulai memerah membuat ketiga orang itu saling menatap satu sama lain.
“Bersihkan saja sendiri. Memangnya gue masuk ke sini buat jadi kacung kalian?” geram Tanan dengan menahan emosi. Rasa aneh hampir sampai ke ubun-ubun dan dia sedang mencoba menahannya kini.
Mendengar ucapan penolakan dari Tanan, ketiga laki-laki itu merasa geram. Mereka mendekat dan mulai berbicara ketidaksukaannya.
“Heh, bagus banget ya elo nolak perintah dari kita!”
Dua orang yang lain memegangi tangan Tanan kanan dan kiri, sementara laki-laki dengan perut gendut tadi mengepalkan tangannya dan meninju perut Tanan cukup kuat.
Satu bogem mentah diberikan pemuda itu sehingga Tanan meringis kesakitan.
“Uhuk!” Tanan terbatuk, kedua orang tadi melepaskan tangannya. Dia tidak kuat untuk bangun karena tinjuan yang tadi cukup keras sehingga membuat ulu hatinya menjadi ngilu. Tanan hanya bisa tertunduk di lantai dan memegangi perutnya yang terasa sakit.
“Makanya, jangan coba-coba nolak perintah kita. Elo tuh anak bawang mesti nurut sama senior!” gertak laki-laki dengan tato besar di punggungnya.
Tanan kesal, membuang ludah hingga hampir mengenai kaki salah satu dari mereka.
“Cuihh! Nggak ada yang bisa merintah gue di sini. Status kita sama. Kita ini tahanan. Nggak ada senior atau junior, yang ada tahanan menyedihkan kayak sampah!” ujar Tanan.
Ucapan Tanan menimbulkan rasa marah dari ketiga laki-laki itu, sehingga mereka melayangkan tinjuan dan juga pukulan ke tubuh Tanan, bahkan seseorang melepaskan baju Tanan, melilitkannya pada tangan dan menjadikan pakaian itu sebagai sarung tinju.
“Akh!” seru Tanan terjatuh lagi di lantai yang keras. Darah segar mengalir di bibirnya akibat tinjuan keras dari laki-laki tadi, juga tubuhnya yang memar akibat pukulan dan tendangan dari yang lain. Tanan terbaring di lantai tanpa ada seorang pun dari mereka yang peduli atau kasihan.
“Bilang sekali lagi, elo mati!” ujar laki-laki dengan punggung penuh tato tersebut.
Baju Tanan dia lemparkan hingga mengenai kepalanya.
Tanan tidak bisa melawan, satu lawan tiga tentu saja tidak seimbang sama sekali. Dia hanya bisa berdecak kesal karena tubuhnya yang sedang tidak berdaya.
Malam semakin larut. Tanan terduduk di pojokan dan menatap ketiga orang yang tidur di tikar, mereka cukup nyenyak dan terdengar suara dengkuran keras yang mengganggu pendengaran. Memang sudah biasa untuk mereka sepertinya sehingga tidur dengan alas tikar dan tanpa bantal pun tidak membuat ketiganya bangun dan mengeluh sama sekali. Kini, Tanan hanya duduk sambil menguap, sesekali matanya tertutup, tapi dia mencoba untuk tetap bersandar pada jeruji besi yang kini menjadi rumahnya.
Lelah, Tanan memutuskan untuk berbaring di lantai. Ketiga laki-laki itu tidak memberikan alas tikar miliknya dan mereka pakai sebagai tambahan di bawah tubuh mereka. Sementara, Tanan berbaring meringkuk di lantai yang dingin dengan mengenakan celana pendek tanpa mengenakan pakaian.
Lantai itu terasa dingin. Sangat menyiksa untuk Tanan. Baru kali ini dia tidur di lantai tanpa alas sama sekali. Rasa yang tak nyaman itu kembali lagi, Tanan susah payah menahannya, tapi gejolak yang ada ditubuhnya tidak bisa dia tahan lagi.
Gumaman mulai terdengar dari mulut Tanan, tubuhnya mulai menggigil, yang Tanan inginkan sekarang adalah sesuatu yang bisa membuatnya tenang. Ya, Tanan butuh benda itu!
Tak butuh waktu yang lama, Tanan menjadi kejang sendiri. Matanya membola ke atas, tubuhnya semakin menggigil merasakan panas dari dalam yang tidak bisa dia tahan lagi. Bayangan-bayangan kenikmatan akan benda terlarang sudah mulai dia idamkan.
“Hhhsss.” Tanan mendesis, merasakan darahnya yang mengalir dengan cepat. Sakit, ingin, rindu, bercampur menjadi satu. Tidak ada sesuatu yang bisa dia hisap, maka dia menggigit tangannya dan berharap jika di dalam darahnya terdapat benda memabukkan yang sangat dia gilai.
Suara Tanan mulai mengganggu yang lainnya. Mereka bertiga terbangun dan melihat Tanan yang kejang-kejang di lantai. Tatapan laki-laki itu membola seperti sedang memohon sesuatu.
“Heh! Berisik aja! Kami mau tidur!” ujar seseorang, tapi Tanan tidak peduli, dia terus meracau tidak jelas sehingga membuat salah seorang dari mereka marah dan menendang punggung Tanan. Bukan hanya itu saja, bahkan dia juga menendang kepala Tanan cukup keras dan membiarkan pemuda itu dengan kesakitannya.