NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:205
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Duo Dewa

Dua kata. Pilihanmu.

Dua kata itu, yang bersinar di layar ponsel di tengah keheningan penthouse mewah, memiliki kekuatan yang lebih dahsyat daripada serbuan pasukan. Itu adalah sebuah serangan presisi yang ditujukan langsung ke jantung Leo, memotong arteri utama yang menghubungkan masa lalunya yang damai dengan masa depannya yang penuh kekerasan. Gambar Pak Tirtayasa yang tersenyum di warungnya, tidak menyadari kehadiran malaikat maut di seberang jalan, terpatri di benak Leo. Itu bukan lagi sekadar foto. Itu adalah sebuah sandera. Itu adalah ultimatum.

Seluruh kehangatan dari momen intim mereka bersama Isabella menguap seketika, digantikan oleh hawa dingin Arktik dari rasa panik dan amarah yang membekukan. "Dia tahu," desis Leo, suaranya nyaris tak terdengar. "Bajingan itu tahu tentang Pak Tirta."

Isabella, yang berdiri di sampingnya, langsung beralih dari seorang kekasih menjadi seorang Ratu Perang. Wajahnya mengeras, matanya yang gelap berkilat berbahaya. "Ini jebakan, Leo," katanya, suaranya tajam dan praktis. "Sangat jelas. Dia tidak bisa menyentuh kita di sini, jadi dia memancingmu keluar. Dia ingin kau bertindak gegabah, didorong oleh emosi. Kau pergi ke sana, kau masuk ke dalam wilayahnya, dan kau mati. Dia menang."

Logika Isabella sempurna. Dingin, kejam, dan seratus persen benar dari sudut pandang strategis. Pak Tirtayasa, dalam kalkulasi perang ini, adalah pion yang bisa dikorbankan demi melindungi sang Raja, atau dalam hal ini, aset strategis terpenting Isabella: Leo.

Tapi Leo tidak bisa melihatnya seperti itu. "Dia bukan pion!" bentak Leo, berbalik menghadap Isabella, matanya menyala dengan api yang belum pernah dilihat Isabella sebelumnya. Ini bukan amarah seorang prajurit, tapi amarah seorang anak yang melihat orang tuanya diancam. "Pria itu menyelamatkan hidupku! Dia memberiku tempat berlindung saat aku tidak punya apa-apa! Dia mengajariku cara menemukan kedamaian di dapur saat pikiranku adalah neraka! Aku tidak akan duduk di sini dan membiarkannya menjadi korban dalam permainan caturmu!"

"Ini bukan permainanku! Ini permainan kita!" balas Isabella, tidak mau kalah. "Dan dalam permainan ini, kau tidak bisa mengorbankan dirimu untuk satu orang! Jika kau mati, maka semua yang telah kita bangun, pertahanan, rencana, semuanya sia-sia! Viktor akan melumat kita tanpa pikiranmu!"

Argumen mereka yang panas membangunkan Marco dan Bianca, yang segera masuk ke ruang tamu dengan wajah khawatir. Mereka berhenti saat melihat intensitas di antara kedua pemimpin mereka.

"Bos benar, Chef," kata Marco dengan hati-hati, memecah ketegangan. "Pergi ke sana sendirian adalah bunuh diri. Kita tidak tahu berapa banyak orang yang dia siapkan."

"Kita bisa mengirim tim," usul Bianca. "Serangan cepat untuk mengevakuasi target."

"Tidak," sanggah Leo dan Isabella bersamaan, sebuah sinkronisasi aneh di tengah pertengkaran mereka.

"Tim penyerang adalah apa yang dia harapkan," jelas Isabella, menatap Bianca. "Dia sudah menyiapkan penyergapan berlapis. Kita akan kehilangan banyak orang."

"Dan aku tidak akan mempertaruhkan nyawa orang lain untuk menyelamatkan seseorang yang menjadi target karena aku," tambah Leo, menatap Marco.

Ia terjebak. Setiap pilihan adalah jalan buntu yang mengerikan. Pikirannya, yang biasanya sejernih es, kini keruh oleh emosi. Ia berjalan mondar-mandir seperti harimau dalam sangkar, rasa bersalah dan amarah berperang di dalam dirinya. Ia yang membawa bahaya ini ke depan pintu warung Pak Tirta. Ia yang harus menyelesaikannya.

Ia berhenti, menatap Isabella dengan tatapan putus asa. "Aku harus pergi."

"Leo, jangan," pinta Isabella, suaranya melunak, melihat penderitaan di wajahnya.

"Aku akan pergi. Dengan atau tanpamu," katanya, suaranya kini datar, penuh dengan keputusan yang tak tergoyahkan. Ia akan berjalan ke dalam neraka itu sendirian jika harus.

Melihat tekad baja di matanya, Isabella menyadari bahwa ia telah kalah dalam argumen ini. Logika tidak bisa melawan loyalitas yang begitu dalam. Jika ia melarang Leo, ia mungkin akan kehilangan pria itu selamanya, bukan karena dibunuh Viktor, tetapi karena Leo sendiri yang akan hancur oleh rasa bersalah. Ada cara lain. Selalu ada cara lain.

"Baiklah," kata Isabella setelah hening yang panjang. Leo menatapnya, terkejut. "Kau akan pergi. Tapi kau tidak akan pergi seperti domba yang diantar ke penjagalan."

Ia berjalan mendekatinya, menangkup wajahnya dengan kedua tangannya, memaksanya untuk menatap matanya. "Kau adalah seorang ahli strategi. Pria di foto itu, mentor yang mengajarimu, dia tidak akan bangga jika kau mati karena kebodohan. Jika kau ingin masuk ke dalam jebakan, jangan masuk sebagai mangsa. Masuklah sebagai umpan untuk jebakan yang lebih besar. Jebakan kita."

Harapan kembali menyala di mata Leo. "Bantu aku, Isabella," bisiknya. "Bantu aku membalikkan papan catur ini."

Isabella tersenyum, senyumnya kini bukan senyum seorang Ratu, tetapi senyum seorang partner konspirasi. "Itu baru Alkemisku. Sekarang, beritahu aku. Bagaimana cara kita menyajikan neraka untuk Viktor Rostova?"

Ruang perang kembali menjadi pusat alam semesta mereka, tetapi kali ini, taruhannya adalah nyawa seseorang yang mereka kenal. Papan catur telah diatur oleh Viktor, tetapi Leo, dengan pikiran yang kini kembali jernih dan diasah oleh keputusasaan, mulai merancang permainan balasannya.

"Viktor mengharapkan salah satu dari dua hal," jelas Leo, menunjuk ke peta holografik. "Satu, aku datang dengan pasukan, dan dia akan menghabisi kita dalam penyergapan. Dua, aku datang sendirian dengan putus asa, dan dia akan menangkapku. Kita tidak akan melakukan keduanya."

"Kita akan menerima undangannya," lanjutnya, mengejutkan yang lain. "Aku akan bertemu dengannya. Muka dengan muka."

"Itu gila!" protes Marco.

"Tidak, itu teater," koreksi Leo. "Viktor suka teater. Kita akan memberinya pertunjukan yang ia inginkan, tapi kita yang akan menulis naskahnya. Bianca, aku butuh kau menyiapkan satu ponsel burner baru. Aku akan menghubungi perantara Viktor."

Dalam waktu singkat, Leo sudah berbicara dengan salah satu letnan Viktor melalui telepon yang tidak bisa dilacak. Suaranya tenang dan dingin. "Aku menerima tawaran bosmu. Aku akan datang menemuinya. Sendirian."

Hening sejenak di seberang sana, terdengar suara terkejut. "Di mana dan kapan?"

"Malam ini. Pukul sebelas. Di Pasar Senja," kata Leo.

Bianca langsung menampilkan gambar lokasi itu di layar. Pasar Senja adalah sebuah pasar tradisional tua yang telah lama ditinggalkan, terletak tidak jauh dari warung Pak Tirta. Sebuah labirin dari kios-kios reyot, gang-gang sempit, dan bayangan yang pekat. Tempat yang sempurna untuk sebuah penyergapan.

"Tapi ada syaratnya," tambah Leo. "Aku datang sendiri. Bosmu juga harus datang ke titik pertemuan sendiri. Ia harus membawa Pak Tirta bersamanya, hidup dan tanpa luka. Anak buahnya boleh mengepung area itu, tapi jika ada satu orang saja yang muncul di titik pertemuan selain Viktor dan sandera, kesepakatan batal, dan aku akan lenyap. Dan katakan pada bosmu, jika sehelai rambut saja jatuh dari kepala pria tua itu, aku akan mendedikasikan sisa hidupku untuk menghancurkan segala sesuatu yang ia cintai, sepotong demi sepotong."

Ancaman itu disampaikan dengan nada yang begitu dingin hingga membuat Isabella merinding. Telepon ditutup.

"Dia akan setuju," kata Leo yakin. "Egonya tidak akan membiarkannya menolak tantangan seperti ini. Dia ingin melihatku hancur dengan matanya sendiri."

"Dan rencana kita?" tanya Isabella.

Di sinilah kejeniusan Leo bersinar. "Rencana kita berlapis. Permainan di dalam permainan. Saat aku menjadi pusat perhatian, tim lain bergerak dalam bayang-bayang."

Ia membagi tugasnya. "Isabella, Marco, kalian pimpin 'Tim Palu'. Kekuatan utama kita. Kalian akan siaga di radius dua kilometer dari pasar, benar-benar di luar jangkauan pengintai Viktor. Kalian tidak bergerak, tidak melakukan apa pun, sampai aku memberikan sinyal. Sinyalnya adalah: 'Hidangan sudah diantar, saatnya membersihkan meja'. Saat sinyal itu diberikan, tugas kalian bukan menyerang pasar. Tugas kalian adalah memblokir setiap jalan keluar dari zona dua kilometer itu. Ubah seluruh area itu menjadi sebuah sangkar raksasa."

"Bianca, kau adalah 'Mata Tuhan'. Aku ingin kau meretas setiap kamera CCTV, lampu lalu lintas, bahkan kamera ponsel dari menara BTS di seluruh area. Aku ingin kau menjadi mataku dan telingaku. Aku akan memakai earpiece yang paling canggih. Beri aku informasi real-time tentang jumlah musuh, posisi penembak jitu, dan pergerakan mereka."

"Dan yang terakhir," Leo menoleh pada Riko dan Maya yang telah dipanggil dan berdiri dalam diam, siap menerima tugas. "Kalian adalah 'Tim Hantu'. Misi kalian adalah yang paling penting dan paling berbahaya. Kalian harus sudah berada di dalam pasar sebelum Viktor dan pasukannya tiba. Kalian harus menemukan posisi yang sempurna untuk mengamati titik pertemuan. Saat aku mengalihkan perhatian Viktor, tugas kalian adalah mengeluarkan Pak Tirta dari sana tanpa terdeteksi. Bianca akan memandu kalian melalui rute teraman. Setelah target aman, kalian berikan sinyal 'Paket telah diterima' padaku."

Rencana itu sempurna. Berisiko tinggi, tetapi setiap elemennya dirancang untuk melawan ekspektasi Viktor. Mereka tidak akan melawan kekuatannya secara langsung, melainkan akan memanipulasi egonya dan bergerak di celah-celah yang ia ciptakan.

Malam tiba dengan cepat, membawa serta hujan gerimis yang membuat jalanan Jakarta berkilauan seperti kulit ular yang basah. Pasar Senja yang terbengkalai tampak seperti kerangka raksasa di tengah kegelapan. Kios-kios kayu yang lapuk berdiri seperti nisan-nisan tua. Genangan air memantulkan cahaya remang dari satu-satunya lampu jalan yang masih menyala di ujung gang. Udara dipenuhi bau tanah basah, kayu busuk, dan ketegangan.

Leo berjalan sendirian menyusuri jalan utama menuju pasar itu. Ia hanya mengenakan kemeja katun tipis dan celana panjang, basah kuyup oleh hujan. Ia sengaja tidak membawa senjata yang terlihat. Ia ingin tampak persis seperti yang diinginkan Viktor: umpan yang rentan. Tapi di dalam kepalanya, suara tenang Bianca terdengar melalui earpiece-nya.

"Aku mendeteksi dua belas orang di sekeliling perimeter luar, Leo. Empat di antaranya adalah penembak jitu di atap gedung seberang. Mereka semua fokus pada pintu masuk utama. Rute pergerakan Si Kembar masih aman."

"Dimengerti," bisik Leo.

Ia melangkah melewati gerbang pasar yang berkarat. Di dalam, suasana semakin mencekam. Bayangan menari-nari. Setiap tetes hujan yang jatuh dari atap seng yang bocor terdengar seperti langkah kaki.

"Leo, hati-hati. Ada empat orang lagi di dalam. Dua di sisi kirimu, di belakang tumpukan peti buah. Dua di kanan, di dalam kios daging yang lama."

Leo terus berjalan lurus, seolah tidak mendengar apa-apa. Jantungnya berdebar kencang, tetapi langkahnya mantap. Disiplin yang ia pelajari dari Pak Tirta, mengendalikan napas, menenangkan pikiran, kini menjadi penyelamat hidupnya.

Di sebuah van komando yang diparkir satu setengah kilometer dari sana, Isabella menatap selusin layar monitor, wajahnya tegang. Satu layar menampilkan citra panas dari pasar, menunjukkan titik-titik panas dari pasukan Viktor. Layar lain menunjukkan detak jantung Leo, yang meskipun sedikit meningkat, tetap stabil secara luar biasa. Ia mengepalkan tangannya, berjuang melawan keinginan untuk memerintahkan Marco dan pasukannya menyerbu masuk. Ia harus percaya pada Leo. Ia harus percaya pada rencananya.

Leo akhirnya tiba di pusat pasar, sebuah area terbuka kecil tempat para pedagang dulu berkumpul. Di bawah cahaya remang, ia melihat dua sosok menunggunya. Viktor Rostova, berdiri dengan angkuh, mengenakan mantel panjang yang mahal. Dan di sampingnya, Pak Tirtayasa, duduk di sebuah kursi kayu, tangannya terikat di belakang punggung. Wajah pria tua itu tampak bingung, tetapi tidak ada ketakutan di matanya. Ia hanya menatap Leo dengan tatapan prihatin.

"Tim Hantu sudah di posisi," bisik Bianca. "Mereka berada di langit-langit kios ikan asin, tepat di atas kalian. Pandangan sempurna. Mereka menunggu perintahmu untuk menciptakan pengalihan."

"Selamat datang, Alkemis," sapa Viktor, senyumnya dingin. "Aku terkesan kau punya nyali untuk datang."

"Lepaskan dia," kata Leo, mengabaikan sapaan itu, matanya tertuju pada Pak Tirta.

"Oh, tentu saja. Setelah kita sedikit berbincang," kata Viktor, menikmati momen itu. "Aku penasaran. Apa yang membuat seorang chef, seorang seniman, berpikir ia bisa bermain di liga para dewa? Apakah karena wanita itu? Apakah ia menjanjikanmu kekuasaan? Atau apakah kau menikmati kekerasan itu, jauh di dalam jiwamu yang kau kira damai?"

Viktor berjalan mengitari Leo, seperti seekor hiu. "Kau tahu, kelemahan terbesarmu bukanlah wanita itu. Bukan juga pria tua ini. Kelemahan terbesarmu adalah ilusi bahwa kau bisa mengendalikan siapa dirimu. Kau lari dari masa lalumu, bersembunyi di balik celemek dan panci, tapi lihatlah dirimu sekarang. Berdiri di tengah pasar busuk ini, basah kuyup, siap mati untuk sebuah sentimen."

Leo diam, membiarkan Viktor mengeluarkan semua racunnya. Ia tidak hanya mengulur waktu untuk Si Kembar, ia juga sedang mempelajari lawannya secara langsung. Ia melihat kegelisahan di balik kesombongan Viktor, kebosanan yang sama yang ia lihat di foto. Viktor tidak menginginkan kemenangan yang mudah. Ia menginginkan drama. Ia menginginkan lawannya hancur secara mental sebelum ia membunuhnya.

"Kau salah," balas Leo akhirnya, suaranya tenang. "Aku tidak lari dari masa laluku. Aku memilih kedamaian. Sesuatu yang tidak akan pernah kau pahami. Kau terobsesi dengan kontrol karena kau tidak punya apa-apa di dalam dirimu. Kau mengumpulkan kekuasaan dan uang seperti orang yang sekarat mengumpulkan napas, tapi kau tetap kosong." Leo menatap langsung ke mata Viktor. "Itulah kenapa kau bosan. Kemenangan tidak lagi terasa manis karena tidak ada yang kau perjuangkan selain egomu sendiri."

Wajah Viktor menegang. Analisis Leo terlalu tepat sasaran, terlalu menusuk.

"Pengalihan siap, Leo," kata Bianca. "Katakan saja."

Leo memberikan anggukan kepala yang nyaris tak terlihat.

Di saat yang bersamaan, di sudut lain pasar, sebuah kotak sekring tua yang telah dimodifikasi oleh Bianca meledak, menciptakan percikan api besar dan memadamkan satu-satunya lampu jalan yang menyala, membuat seluruh area menjadi lebih gelap.

"Apa itu?!" teriak salah satu penjaga Viktor.

Semua perhatian teralih ke arah ledakan itu selama dua detik. Dua detik sudah cukup.

Di langit-langit, Riko memotong tali yang mengikat sebuah jaring ikan tua yang berat, yang jatuh menimpa dua penjaga terdekat Viktor, menjerat mereka. Sementara itu, Maya meluncur turun tanpa suara di belakang kursi Pak Tirta. Dengan satu gerakan cepat pisaunya, ia memotong tali yang mengikat tangan pria tua itu. "Ikut aku, Pak. Diam-diam," bisiknya.

Saat perhatian Viktor kembali pada Leo, Pak Tirta sudah ditarik ke dalam bayang-bayang oleh Maya, dan Riko sudah kembali ke posisinya.

Viktor belum menyadarinya. Ia terlalu fokus pada duel psikologisnya dengan Leo. "Kata-kata yang berani dari seorang pria yang akan mati."

"Kita lihat saja," balas Leo. Ia kini tahu 'paket'-nya sudah dalam proses evakuasi. Saatnya untuk menaikkan taruhannya.

"Maya bilang target hampir di titik ekstraksi. Lima puluh meter lagi," lapor Bianca.

"Kau tahu, Viktor," kata Leo, berjalan selangkah lebih dekat. "Penghinaan terbesarmu bukanlah di galeri itu. Penghinaan terbesarmu adalah kau bahkan tidak menyadari saat kau sudah kalah."

"Apa maksudmu?" geram Viktor, mulai merasa ada yang tidak beres. Ia menoleh ke arah kursi tempat Pak Tirta duduk.

Kursi itu kosong.

Kemarahan murni dan tak terkendali meledak di wajah Viktor. "JEBAKAN! HABISI DIA!"

Dalam sekejap, pasar itu meletus menjadi neraka. Moncong-moncong senapan dari para penembak jitu di atap menyalak, mengirimkan peluru yang merobek udara di sekitar Leo.

Tapi Leo sudah bergerak. Menggunakan pengetahuan dari peta Bianca, ia melompat ke belakang sebuah kios beton tua tepat saat peluru menghantam tempat ia berdiri.

"Penembak jitu di atap utara dan timur! Dua orang bergerak dari sisi kananmu!" teriak Bianca di telinganya.

"Hidangan sudah diantar, saatnya membersihkan meja," kata Leo, memberikan sinyal pada Isabella.

Satu setengah kilometer dari sana, Isabella menekan tombol di konsolnya. "Tim Palu, bergerak! Blokir semua jalan! Jangan biarkan tikus pun lolos!"

Di jalan-jalan di sekitar pasar, van-van tim Isabella meluncur, memblokir persimpangan. Ban-ban diletuskan. Baku tembak pecah di perimeter luar, menjebak pasukan bala bantuan Viktor.

Di dalam pasar, Leo kini sedang berjuang untuk hidupnya. Ia berlari, melompat, dan berguling di antara kios-kios yang membusuk, menggunakan setiap bayangan sebagai perlindungan. Ini bukan lagi pertarungan, ini adalah tarian bertahan hidup. Ia bisa merasakan adrenalin memompa di dalam dirinya, mempertajam inderanya. Ia adalah mangsa, tetapi mangsa yang berbahaya.

Dua orang penjaga menyudutkannya di sebuah gang buntu. Mereka menyeringai, mengira permainan telah berakhir. Leo berhenti, membiarkan mereka mendekat. Saat mereka menyerang, ia menggunakan dinding di sampingnya untuk melontarkan dirinya ke atas, menendang wajah satu orang, dan saat mendarat, ia menyikut tenggorokan yang lain. Ia melumpuhkan mereka dengan efisiensi dingin sebelum melanjutkan pelariannya.

Ia harus mencapai titik ekstraksi di ujung barat pasar.

Sementara itu, Viktor mengamuk. Rencananya yang sempurna telah hancur. Ia telah dipermalukan lagi. "Cari orang tua itu!" teriaknya. "Dan bawa kepala koki itu padaku!"

Ia sendiri ikut dalam perburuan, pistol di tangannya. Ia melihat bayangan Leo bergerak di kejauhan dan mengejarnya.

Leo hampir sampai di titik tujuannya, sebuah lubang di dinding yang mengarah ke selokan, saat Viktor berhasil memotong jalannya. Mereka kini berhadapan muka di sebuah gang sempit, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang menerobos celah atap. Hujan telah berhenti.

"Kau tidak bisa lari selamanya, Koki," desis Viktor.

"Aku tidak lari," balas Leo, napasnya terengah. "Aku hanya memilih medan pertempuranku."

Viktor menembak. Leo menghindar, peluru menyerempet lengannya, menimbulkan rasa panas yang menyengat. Rasa sakit itu justru membuatnya lebih fokus. Ia menerjang maju, bukan untuk menyerang Viktor, tetapi untuk menyerang tangan yang memegang pistol. Dengan satu gerakan memutar yang ia pelajari dari Pak Tirta, ia mematahkan pergelangan tangan Viktor.

Viktor berteriak kesakitan, pistolnya jatuh. Tapi ia adalah petarung jalanan. Dengan tangan kirinya, ia mengeluarkan sebilah pisau dan menebas ke arah perut Leo. Leo melompat mundur, tetapi ujung pisau itu berhasil menyobek kemejanya dan menggores kulitnya.

Mereka kini bertarung dengan tangan kosong. Pukulan, tendangan, tangkisan. Itu brutal dan cepat. Leo lebih cepat dan lebih teknis, tetapi Viktor lebih kuat dan lebih ganas. Dalam pertarungan jarak dekat itu, Leo berhasil membenturkan kepala Viktor ke dinding bata dengan keras. Viktor terhuyung, sedikit pusing. Itu adalah kesempatan Leo.

Ia tidak mencoba untuk membunuhnya. Itu akan memakan waktu terlalu lama. Ia hanya perlu melarikan diri. Ia menendang lutut Viktor dengan keras, membuatnya berlutut, lalu berlari sekuat tenaga menuju lubang di dinding dan melompat masuk ke dalam kegelapan selokan.

Leo muncul beberapa blok dari sana, basah, berlumpur, dan berdarah, tetapi hidup. Sebuah mobil tanpa tanda menjemputnya dan membawanya ke titik kumpul tim.

Di sebuah gudang kosong yang aman, ia melihat pemandangan yang membuat semua rasa sakitnya hilang. Pak Tirtayasa sedang duduk, dibalut selimut, meminum teh panas yang dibuatkan oleh Maya. Ia aman.

"Leo!" Pak Tirta berdiri dan memeluknya erat. "Kau anak bodoh!"

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!