Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?
baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Bab 13
Jarum jam hampir menunjuk pukul dua dini hari. Revana masih terjaga di sofa, mencoba memejamkan mata tapi pikirannya tidak bisa tenang. Tiba-tiba ia mendengar suara napas Adrian yang berat. Dengan cepat ia bangkit dan berjalan mendekat.
Saat tangannya menyentuh kening Adrian, tubuhnya tersentak.
“Astaga… panas sekali. Pak Adrian demam!” ucap Revana panik.
Tanpa membuang waktu, Revana segera mengambil handuk kecil dari kamar mandi, merendamnya dengan air dingin, lalu menaruhnya di dahi Adrian. Ia juga mengambil kotak kecil berisi obat-obatan dari tasnya , beruntung Revana mempunyai kebiasaan yang selalu membawa perlengkapan darurat.
Pelan-pelan, ia menepuk bahu Adrian.
“Pak Adrian, bangun sebentar. Minum obat dulu, ya.”
Adrian membuka mata dengan lemah, pandangannya kabur.
“Revana… kamu masih terjaga?” suara Adrian serak.
“Iya, saya tidak bisa tidur, Bapak demam, Cepat bangun sedikit, minum obat ini. Jangan banyak bertanya dulu.” suara Revana lembut tapi terdengar tegas.
Dengan sabar, Revana membantu Adrian duduk, menyodorkan segelas air dan obat. Adrian menurut, lalu kembali berbaring. Ia menatap Revana yang sibuk mengganti kompres di dahinya.
Adrian tersenyum samar.
“Selama ini… tidak ada yang pernah memperhatikanku seperti ini. Bahkan… Nadya pun tidak.” ia bergumam.
Revana terdiam. Hatinya bergetar mendengar kalimat itu, tapi ia berusaha tetap fokus.
Revana berusaha menghindari tatapan mata Adrian.
“Jangan bicara yang aneh-aneh, Pak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya.”
Adrian memandanginya lama, matanya penuh rasa hangat meski tubuhnya lemah.
“Kalau begini… aku ingin sakit lebih lama. Supaya kamu selalu di sampingku.”
Revana langsung menoleh dengan kesal, pipinya bersemu merah.
“Pak Adrian! jangan bercanda seperti itu.”
Adrian tertawa kecil, lalu matanya terpejam kembali. Senyum samar masih tertinggal di wajahnya.
Sementara itu, Revana duduk di pinggiran kasur, terus mengganti kompres dan memastikan suhu Adrian perlahan menurun. Tanpa ia sadari, hatinya ikut hangat. Ada sesuatu yang berbeda di antara mereka malam itu, sesuatu yang tak pernah bisa ia definisikan dengan kata-kata.
...☘️☘️...
Cahaya matahari masuk perlahan lewat celah tirai. Revana masih tertidur di pinggir kasur, Saat membuka mata, ia segera menoleh ke arah Adrian.
Adrian sudah terjaga, duduk dengan bersandar di kepala ranjang. Wajahnya terlihat lebih segar, meski masih agak pucat. Senyum samar muncul ketika matanya menangkap sosok Revana yang ketiduran karena menjaganya semalaman.
“Kamu… semalaman nggak tidur, ya?” tanya Adrian.
Revana terlonjak kecil, buru-buru bangkit dan merapikan rambutnya.
“Ah—saya… hanya memastikan demam Bapak agar cepat turun. Itu saja.”
Adrian tertawa kecil, lalu menggeleng.
“Kamu keras kepala, cerewet, tapi perhatianmu… luar biasa.”
Revana menunduk, pura-pura sibuk melipat handuk bekas kompres.
“Jangan salah paham, Pak. Saya hanya melakukan kewajiban.”
Tapi sorot matanya tak bisa berbohong, ada kehangatan dan rasa peduli yang tak sekadar kewajiban.
Meski tubuhnya masih sedikit lemah, Adrian tetap menghadiri agenda bisnis. Revana lebih protektif dari biasanya, ia menyiapkan air minum, memastikan jeda waktu cukup untuk istirahat, bahkan dengan tegas menolak tambahan agenda dari panitia.
Adrian justru menikmatinya. Baginya, melihat Revana yang bawel tapi peduli membuat perjalanan bisnis kali ini terasa berbeda.
...☘️☘️...
Malam Terakhir di Kota surabaya🏫
Hari terakhir perjalanan mereka berakhir sukses. Semua meeting berjalan lancar, kesepakatan dengan klien tercapai. Malam itu, Adrian mengajak Revana makan malam di restoran hotel sebagai bentuk “perayaan kecil”.
Adrian menatapnya sambil memutar gelas anggur ditangannya.
“Kalau bukan karena kamu, aku mungkin sudah tumbang sejak hari pertama. Terima kasih, Rev.”
Revana tersipu, tapi tetap menjaga sikapnya.
“Jangan berlebihan, Pak. Saya hanya melakukan tugas saya sebagai sekretaris.”
Adrian mencondongkan tubuh, tatapannya tajam tapi hangat.
“Bukan. Kamu lebih dari itu. Kamu membuatku merasa… tidak sendirian.”
Kalimat itu membuat jantung Revana berdegup kencang. Ia menunduk, menusuk makanannya tanpa benar-benar lapar.
Makan malam malam itu berlangsung penuh keheningan aneh, bukan canggung semata, melainkan sesuatu yang tidak mereka akui tapi sama-sama rasakan.
Setelah kembali ke kamar, Adrian terlihat lebih rileks. Ia meletakkan jasnya, lalu berkata pelan.
“Besok kita pulang. Perjalanan ini… akan selalu aku ingat. Karena ada kamu.”
Revana hanya diam, berdiri di dekat koper yang sudah separuh terkemas. Hatinya kacau. Ia tahu kedekatan ini berbahaya, tapi sulit memungkiri perasaan hangat yang bertumbuh.
Saat Adrian berbaring di kasur, ia sempat melirik Revana yang duduk di sofa sambil menatap jendela. Senyum tipis muncul di bibirnya.
Adrian berbisik, hampir tak terdengar.
“Andai kamu tahu… betapa berharganya kehadiranmu.”
Revana tak mendengar, tapi entah mengapa dadanya ikut bergetar malam itu.
Suasana kamar hening. Adrian duduk di ujung ranjang, sementara Revana masih sibuk merapikan dokumen di meja kecil. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati Adrian, sesuatu yang sudah ia tahan sejak awal perjalanan ini.
“Rev… penawaranku sejak awal masih berlaku. Jika aku menginginkan kamu… menjadi milikku.”
Revana terhenti. Tangannya yang sedang merapikan kertas gemetar halus. Ia menoleh dengan tatapan bingung.
“Menjadi milikmu? Apa maksud Bapak? Apakah hanya sebagai… wanita simpanan?”
Adrian tidak langsung menjawab. Ia justru berdiri, mendekat, lalu balik bertanya dengan tatapan dalam.
“Menurutmu… kita harus seperti apa kalau kamu benar-benar menjadi milikku? Apa yang kamu inginkan dari itu?”
Revana menelan ludah, jantungnya berdegup keras.
“Kalau maksud Bapak… menjadikan saya hanya untuk memenuhi keinginan hawa nafsu bapak saja, saya tidak akan pernah mau. Saya tidak menjual tubuh saya hanya demi uang. Saya masih punya harga diri. Dan saya tidak mau terjerumus dalam dosa… Apalagi berzina.”
Keheningan panjang mengisi ruangan. Adrian menatapnya lama, lalu tiba-tiba berkata dengan suara berat.
“Kalau begitu… bagaimana kalau aku menikahimu?”
Revana terbelalak, nyaris tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
“Apa?! Bapak… sudah beristri! Bagaimana bisa Bapak melamar saya untuk jadi istri kedua, bapak jangan bercanda.?”
Adrian menarik napas panjang, kemudian duduk di kursi di depannya, wajahnya serius, tidak lagi seperti atasan yang menggoda bawahannya.
“Aku tahu ini gila. Tapi Rev, kamu harus tahu… rumah tanggaku dengan Nadya sudah lama hancur. Kami tidak lagi saling mencintai. Dia hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Aku bertahan… hanya karena Alesya dan Andrew. Demi anak-anak, aku mencoba menjaga semua terlihat baik-baik saja. Tapi kenyataannya… aku sendiri kesepian.”
Revana masih terdiam, pikirannya kacau. Tawaran itu seperti petir di siang bolong. Ia tidak tahu harus menanggapi dengan apa.
“Saya… saya tidak tahu harus jawab apa. Pernikahan itu bukan main-main, Pak. Dan saya… tidak ingin jadi perusak rumah tangga orang.”
Adrian menunduk, wajahnya tampak penuh beban.
“Aku tidak minta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu… apa yang aku rasakan. Kamu berbeda, Rev. Kamu bukan sekadar sekretarisku. Kamu membuatku merasa… hidup kembali.”
Revana menggenggam tangannya sendiri erat, hatinya berperang hebat. Untuk pertama kalinya, Adrian tidak terlihat sebagai bos yang berwibawa atau lelaki yang menggoda. Malam itu, ia terlihat rapuh… dan sangat manusiawi.
...☘️...
...☘️...
...☘️...