Novia Anwar adalah seorang guru honorer di sebuah SMA negeri di kota kecil. Gajinya tak seberapa dan selalu menjadi bahan gunjingan mertuanya yang julid. Novia berusaha bersabar dengan semua derita hidup yang ia lalui sampai akhirnya ia pun tahu bahwa suaminya, Januar Hadi sudah menikah lagi dengan seorang wanita! Hati Novia hancur dan ia pun menggugat cerai Januar, saat patah hati, ia bertemu seorang pria yang usianya lebih muda darinya, Kenzi Aryawinata seorang pebisnis sukses. Bagaimana akhir kisah Novia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Air Mata Kesedihan Lagi
Kekalahan di gerbang SMA Harapan Bangsa membuat Diana kesal bukan main. Wajahnya masih memerah menahan amarah dan malu karena diusir oleh Bu Mariam sang Kepala Sekolah. Ia tak terima rencananya untuk mempermalukan Novia gagal total. Dendamnya pada Novia kini semakin membara.
Setelah kabur dari sekolah, Diana tidak langsung pulang. Pikirannya dipenuhi rencana licik untuk membalas dendam. Ia kemudian pergi ke rumah kontrakan keluarga Novia di pinggiran kota. Ia ingin melihat sejauh mana penderitaan Novia dan keluarganya.
Ketika tiba di sana, Diana menyipitkan mata. Ia melihat lapak nasi uduk kecil di depan rumah kontrakan Novia. Yang lebih membuatnya geram, lapak itu ramai dikunjungi pembeli. Aroma harum nasi uduk menguar, dan tawa Suryani yang melayani pembeli terdengar jelas.
Ia kesal melihat dagangan nasi uduk Suryani laris. Dalam benaknya, ia menganggap Novia dan keluarganya tak pantas mendapatkan kebahagiaan atau rezeki. Diana tak bisa membiarkan Novia dan keluarganya hidup tenang.
Sebuah ide jahat muncul di benaknya. Diana memarkir mobilnya agak jauh, lalu diam-diam mengamati kontrakan Novia dan lapak nasi uduk Suryani. Ia melihat papan nama kecil bertuliskan 'Disewakan' dengan nomor telepon pemilik kontrakan. Sebuah senyum sinis tersungging di bibirnya.
Keesokan harinya, Diana menghubungi pemilik kontrakan itu. Ia memperkenalkan diri dengan nama palsu, mengaku sebagai "tetangga yang peduli" dan ingin melaporkan hal yang "meresahkan".
"Selamat pagi, Pak. Saya ingin melaporkan tentang penyewa baru di kontrakan Bapak," kata Diana melalui telepon, suaranya dibuat selembut mungkin. "Saya tidak bermaksud ikut campur, tapi ada hal penting yang perlu Bapak tahu."
Pemilik kontrakan, Pak Burhan, mendengarkan dengan sabar. "Ada apa, Bu?"
Diana mulai menghasut pemilik kontrakan. "Begini, Pak. Penyewa Bapak itu, keluarga Novia Anwar, sepertinya bukan orang baik-baik. Anaknya itu, Novia, baru saja dicerai suaminya karena pelakor dan mandul. Dia bahkan dipecat dari sekolahnya dulu karena kelakuan amoral."
Pak Burhan mengerutkan kening. "Benarkah, Bu? Tapi selama ini mereka baik-baik saja."
"Jangan salah, Pak! Mereka itu licik!" sahut Diana, nadanya mulai meninggi. "Sekarang mereka jualan nasi uduk di depan kontrakan Bapak. Itu membuat lingkungan jadi kotor dan macet. Belum lagi bau asapnya yang mengganggu. Dan tahu tidak, Pak? Konon, mereka pakai penglaris!"
Tuduhan penglaris itu sengaja dilontarkan Diana untuk menakut-nakuti Pak Burhan. Ia tahu, isu mistis seringkali lebih mudah dipercaya.
"Penglaris? Astagfirullah!" Pak Burhan terdengar terkejut.
"Iya, Pak! Itu yang membuat dagangan mereka laris padahal baru sebentar! Kalau Bapak terus membiarkan mereka, nanti pelanggan yang lain bisa takut! Reputasi kontrakan Bapak juga bisa rusak! Nanti tidak ada yang mau menyewa lagi kalau lingkungannya dikuasai orang-orang seperti mereka!" Diana terus menghasut, meyakinkan Pak Burhan untuk mengusir Novia dan keluarganya dengan cara membuat dagangan Suryani menjadi sepi.
"Bapak harusnya mengusir mereka, Pak! Atau paling tidak, larang mereka jualan di situ! Kalau dagangan mereka sepi, pasti mereka tidak betah dan pergi sendiri!" Diana memberikan saran jahatnya.
****
Diana tidak main-main dengan rencana jahatnya. Setelah berhasil menghasut Pak Burhan, pemilik kontrakan Novia, ia melancarkan langkah selanjutnya untuk membuat hidup keluarga itu makin sengsara. Diam-diam Diana membayar Bu Minah, seorang wanita yang dikenal suka bergosip dan bisa disuap, untuk menjalankan misi kotornya.
Pagi itu, seperti biasa, Suryani membuka lapak nasi uduk dan gorengannya di depan rumah kontrakan. Aroma harum masakan menyeruak, menarik perhatian para pembeli yang mulai berdatangan. Bu Minah muncul, berlagak seperti pembeli biasa. Ia membeli nasi uduk dan beberapa gorengan.
Saat Suryani lengah melayani pembeli lain, Bu Minah dengan sigap melakukan aksinya. Dengan gerakan cepat dan tersembunyi, ia menaruh obat sakit perut pada salah satu porsi nasi uduk yang sudah terbungkus rapi di meja. Ia memastikan tidak ada yang melihat aksinya, lalu segera pergi setelah membayar.
Beberapa jam kemudian, kabar buruk itu datang. Seorang ibu tetangga datang ke lapak Suryani dengan wajah marah.
"Bu Suryani! Ini bagaimana, kok anak saya sakit perut hebat setelah makan nasi udukmu?!" teriak ibu itu, suaranya meninggi. Ia membawa serta anaknya yang tampak pucat dan kesakitan.
Suryani terkejut bukan main. Wajahnya langsung memucat. Ia tidak percaya dagangannya bisa membuat orang sakit. "Astagfirullah, Bu! Tidak mungkin! Nasi uduk saya bersih semua, kok!"
Namun, situasi menjadi semakin keruh. Tiba-tiba, Bu Minah muncul lagi, seolah-olah baru tahu kejadian itu. Bu Minah yang dibayar Diana mulai memprovokasi suasana.
"Nah, kan! Apa saya bilang! Jangan-jangan nasi uduknya pakai yang tidak-tidak!" seru Bu Minah, matanya melirik sinis ke arah Suryani. "Sudah untung banyak, kok masih mau mencelakakan orang?!"
Tepat di tengah keributan itu, Pak Burhan, pemilik kontrakan, muncul. Ia memang sengaja datang untuk memantau situasi setelah dihasut oleh Diana. Pak Burhan yang melihat sendiri keributan dan anak yang sakit, tentu jadi percaya pada semua hasutan Diana sebelumnya.
"Ada apa ini ramai-ramai?!" seru Pak Burhan, wajahnya menunjukkan kemarahan.
"Ini, Pak Burhan! Anak saya sakit perut gara-gara makan nasi uduk Bu Suryani!" teriak ibu yang anaknya sakit.
Bu Minah dengan cepat menambahkan, "Betul, Pak Burhan! Saya juga curiga dari awal, kok dagangannya bisa laris sekali! Jangan-jangan pakai penglaris dan membuat celaka orang!"
Pak Burhan menatap Suryani dengan tajam, tatapan yang sebelumnya ramah kini penuh kecurigaan. "Bu Suryani! Benarkah ini?!"
Suryani menggeleng panik. "Tidak, Pak! Saya tidak tahu apa-apa! Saya tidak pernah melakukan hal seperti itu!"
"Tidak tahu bagaimana?! Buktinya anak ini sakit!" bentak Pak Burhan. Ia sudah termakan bulat-bulat hasutan Diana dan Bu Minah. "Saya sudah sering mendengar laporan tentang keluarga Bapak dan Ibu ini! Dari urusan anak kalian yang dipecat karena kelakuan tidak baik, sampai sekarang dagangan kalian mencelakakan orang! Ini sudah keterlaluan!"
Pak Burhan kemudian menindak tegas ini. "Mulai sekarang, saya minta Ibu tutup lapak ini! Saya tidak mau ada keributan lagi di lingkungan kontrakan saya! Dan kalian, saya beri waktu dua minggu untuk mengosongkan kontrakan ini!"
Ucapan Pak Burhan bagaikan petir di siang bolong bagi Suryani. Wajahnya pucat pasi. Ia tidak menyangka akan diusir lagi, dan lapak rezekinya pun harus ditutup. Diana, yang mungkin sedang mengamati dari jauh, pasti sedang tersenyum puas atas kehancuran yang berhasil ia ciptakan.
****
Sore itu, Novia pulang ke rumah kontrakan dengan langkah riang setelah seharian mengajar. Senyum masih merekah di bibirnya saat ia membuka pintu. Namun, senyum itu langsung pudar melihat pemandangan di ruang tamu. Suryani duduk terisak di sofa, sementara Tarman berusaha menenangkannya dengan wajah tegang dan sedih.
"Ibu? Ayah? Ada apa ini?" tanya Novia, hatinya mencelos melihat kesedihan kedua orang tuanya.
Suryani mendongak, matanya sembab. "Novia, Nak..." Ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Tarman menghela napas berat. "Nak, duduk dulu." Ia lalu menceritakan perkara barusan. Tarman menjelaskan bagaimana seorang ibu tetangga datang mengeluh anaknya sakit perut setelah makan nasi uduk Suryani, dan bagaimana Bu Minah muncul memprovokasi, menuduh Suryani memakai penglaris.
"Dan yang paling parah, Nak," kata Tarman, suaranya bergetar. "Pak Burhan melihat semua itu. Dia marah besar. Dia menyuruh Ibu untuk menutup lapak dan kita... kita diusir dari sini. Dia memberi kita waktu dua minggu untuk mengosongkan kontrakan."
Novia terdiam, tubuhnya terasa lemas. Informasi itu bagaikan pukulan telak yang kesekian kalinya. Novia sedih bukan kepalang. Ia baru saja merasakan sedikit kebahagiaan di lingkungan baru, kini semua itu direnggut lagi. Air matanya mulai mengalir.
"Tidak mungkin, Pak... Bu... Kenapa ini bisa terjadi lagi?" bisik Novia, hatinya hancur. Ia tidak mengerti mengapa nasibnya begitu buruk, mengapa ia terus-menerus diusir dan difitnah.
Suryani memeluk Novia erat-erat. "Ibu tidak tahu, Nak. Ibu sudah berhati-hati sekali dalam membuat nasi uduk. Tapi... mereka percaya pada tuduhan itu." Ia terisak. "Kita harus mencari tempat tinggal lagi, Nak."