Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Itu Puisi - 25
...Kamu itu puisi. ...
...Penuh diksi yang melengkapi hati. ...
...Juga indah ketika dibaca setiap pagi. ...
***
Menurutmu, keluarga itu apa? Ibu? Ayah? Adik? Atau Kakak?
Ya, mereka keluarga.
Mereka bukan sekedar kata atau panggilan saja. Tapi mereka adalah bagian dari diri kita yang Tuhan ciptakan untuk saling melengkapi.
Bersama mereka, bukankah kita merasa sempurna?
Rai sudah tidak sabar untuk bertemu mereka. Setelah solat subuh ia sudah bersiap untuk pergi ke Bandung, tapi sepupunya masih sibuk dengan tempat tidur.
"Siangan dikit lah, Rai. Matahari aja belum terbit. Masih ngantuk, nih!" Ucap Dikta setelah berhasil Rai bangunkan dengan cara menggebuk nya dengan sapu lidi.
"Siangan tuh jam berapa?"
"Sepuluh."
Itu kesiangan namanya, bukan siangan. Bisa bisa nanti mereka sampai kesorean lagi.
"Jam tujuh! Gak mau tau, jam tujuh harus udah mulai otw." Putus Rai pada akhirnya, yang tidak mendapat balasan dari Dikta yang kembali memejamkan mata.
Rai melangkah keluar dari kamar bercat abu ini, dan mulai memasuki kamar sebelahnya, yakni kamar Ananta yang sebelumnya sudah ia singgahi.
Ketika pintu kayu itu terbuka, tidak ada siapa siapa di dalamnya. Padahal sebelumnya Ananta masih bergelung dengan selimut tebalnya.
Mungkin Ananta sudah bangun. Baguslah.
Sembari menunggu pukul tujuh, Rai berencana untuk jalan jalan dulu. Angin subuh biasanya selalu membawa hawa positif bagi tubuh manusia.
Ketika ia melewati ruang tamu, ada Ananta yang sedang sibuk menata barang bawaannya. Dengan langkah pelan, Rai mendekati Ananta dan duduk di sampingnya.
"Udah sarapan kamu, Rai?" Tanya Ananta tanpa melihat Rai yang ada di sampingnya.
Dan Rai menggeleng ringan sebelum memberikan jawaban. "Belum, mau nanti aja di mobil."
"Sarapan sekarang. Kalau mau makan di mobil ya ngemil aja."
"Sarapan apa?"
"Ya kamu maunya apa?"
Mungkin di luar ada tukang makanan yang bisa ia jadikan sarapan. Makanya sekarang Rai mulai beranjak keluar, meninggalkan Ananta yang kini juga mulai beranjak ke kamar mandi untuk bersiap-siap.
Matahari kini mulai memunculkan diri. Suara ayam juga mulai terdengar bersahut-sahutan. Sungguh terasa sekali suasana paginya.
Rai yang melihat mobil Dikta sudah terparkir dengan sempurna di depan rumah, berinisiatif untuk memanaskannya. Jadi nanti ketika jam tujuh tiba, mereka tinggal berangkat tanpa acara menunggu Dikta memanaskan mobilnya.
Walaupun belum memiliki SIM, Rai bisa mengendarai kendaraan beroda empat ini.
Kunci mobil yang tergantung dengan bebas membuat Rai berdecak pelan. Dikta ceroboh sekali, nanti kalau mobilnya ada yang mencuri pasti nangis darah. Malas Rai mendengarnya.
Ketika mesin mobil itu bersuara, pintu rumahnya tiba-tiba terbuka dengan keras. Memunculkan Dikta dengan tampilan acak-acakannya, khas orang bangun tidur.
"Maling, woy!" Teriak Dikta membuat kebisingan di pagi buta.
Rai langsung keluar dari mobil dengan walah tertekuk kesal. "Maling, maling! Ini aku lagi manasin. Lain kali kalo taruh kunci mobil yang bener, beneran ada yang maling kamu pasti dicincang sama Om Edy."
Dikta menggaruk tengkuknya sembari menguap lebar. Dan dalam hati Rai berdoa agar mulut Dikta kemasukan lalat karena tidak menutupnya dengan benar.
Sepertinya Tuhan mengijinkan. Karena sekarang Dikta terbatuk hebat dengan tangan yang sibuk memukul dadanya kencang.
Bukannya menolong, Rai malah menertawakan. Membuat Ananta juga Rey yang ada di sebrang keluar.
"Kenapa?!" Tanya Ananta heboh dari dalam.
"Makanya nguap tuh di tutup. Sunnah nabi itu, kemasukan lalet, 'kan!" Ucapan Rai membuat Ananta menemukan jawaban dari pertanyaannya barusan.
"Udah sana minum."
Dikta menurut, ia berlari kencang ke dalam untuk menenangkan dirinya dari batuk yang menyerang.
"Rai kamu udah belum sarapan, teh?" Tanya Ananta membuat tanya Rai terhenti begitu saja.
"Belum, da belum ada tukang dagang yang ngelewat."
"Ya udah buat nasi goreng aja, sana! Jangan sampe perut kamu kosong kalau mau pepergian."
Ananta terlihat berbeda dari biasanya. Terlihat dewasa.
"Iya."
Setelah mendapat jawaban, Ananta masuk ke dalam. Rai juga awalnya akan menyusul, tapi urung karena Rey tiba-tiba bertanya dari sebrang.
"Lo jadi pergi ke Bandung?"
Rai mengangguk. "Jadi, nanti jam tujuh berangkatnya."
Rasanya Rey ingin membujuk Rai agar tidak pergi kemana-mana. Tapi ia tak berhak untuk melakukannya. Memangnya, ia siapa?
"Berapa hari?"
"Kayaknya empat hari. Pengennya mah seminggu."
Rey bahkan ingin Rai kembali besok. Atau kalau bisa, Rai jangan pulang saja. Tapi terdengar sangat egois kalau seperti itu.
"Hati-hati nanti di jalan."
"Iya! Nanti aku bawain kamu oleh oleh dari Bandung!"
Rey mengangguk. "Gue tunggu."
"Ya udah, aku ke dalem dulu, ya! Mau sarapan dulu, biar tubuhku ini bisa sepantaran sama kamu."
Tinggi Rai hanya sampai sedada Rey. Rey ini kelebihan kalsium, berbeda dengannya yang kelebihan lemak karena hobi makan banyak.
"Sayangnya gak akan gue biarin. Lo harus tetep pendek."
Rai memanyunkan bibirnya kesal. Masa iya harus terus pendek? Ia juga 'kan masih bisa tumbuh tinggi ke atas. "Jahat banget tuh mulut!"
Tawa renyah milik Rey menggema setelahnya. "Sorry, gue bercanda. Ya udah, sana! Katanya mau sarapan?"
Rai mengangguk, lalu mulai melangkah ke dalam. Meninggalkan Rey dengan perasaan yang tak bisa dirinya kendalikan.
Rasanya ia gatal untuk menulis tentang perasaannya sekarang. Maka dengan langkah santai, ia berjalan ke dalam kamar dan membuka laptopnya untuk kembali menulis hal yang belum usai.
Jarinya menari begitu lihai di atas keyboard. Mencipta kalimat yang membuat senyumnya tak berhenti barang sedetik saja.
"Emang ada tugas, Rey? Bukannya kita udah bebas tugas?"
Rey lupa jika dikamarnya ada Angkasa. Anak itu baru bangun, dan langsung bertanya perihal apa yang dilihatnya sekarang.
Rey menggeleng pelan. "Bukan. Gue lagi bikin buku."
"Buku? Lo mau jadi penulis?"
"Iya. Tapi buku ini khusus buat satu orang aja."
Otak Angkasa langsung bisa mencerna kalimat yang Rey paparkan. Pasti orang itu adalah Rai.
Tak ingin menganggu, Angkasa keluar kamar. Ia memberi ruang kepada pemilik ruangan agar bisa berimajinasi dengan liar.
Tanpa jeda jari itu terus bergerak mencipta kata. Dan dalam pikirannya hanya ada Rai yang sedang tersenyum ke arahnya.
Astaga, hatinya sudah jatuh terlalu dalam kepada gadis lugu itu.
Perhatiannya mulai teralihkan ketika mendengar suara Ananta, Dikta juga Rai dari bawah sana. Dengan membanting laptopnya pelan ke arah ranjang, Rey berlari ke balkon kamar untuk melihat keadaan.
Rai dan sepupunya itu mulai meninggalkan Jakarta, dengan mobil hitam milik Dikta yang selalu terparkir sempurna di depan rumahnya.
Baiklah, dalam empat hari ke depan, ia tidak akan bertemu Rai sang pujaan.
***
^^^25-Mei-2025^^^