Biasanya, perceraian dilakukan antara dua orang atas kesadaran masing-masing diantaranya.
Retaknya rumah tangga, hubungan yang sudah tidak harmonis lagi, dan perihal pelik sebagainya.
Namun berbeda yang dirasakan seorang model sekaligus Aktris cantik yang benama Rania. Tepat satu tahun di hari pernikahanya, Rania mendapat kejutan perceraian yang di lakukan suaminya~Pandu.
Tanpa memberi tahu Rania, Pandu langsung saja membuat konferensi pers terhadap wartawan, bahwa Rania adalah sosok wanita yang begitu gila karir, bahkan tidak ingin memiliki seorang anak pada wanita umumnya.
Rania yang saat itu tengah melakukan pemotretan di Amerika, tidak pernah tahu menahu, bahwa suami yang begitu dia cintai menceraikannya secara hina. Rania sendiri sadar, saat melihat berita dari televisi internasional.
Dan setelah kedatangn Rania ke tanah air. Dia baru tahu, jika gugatan cerai yang dia terima, semata-mata hanya untuk menutupi perselingkuhan Pandu dengan sahabatnya sesama model~Laura.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23~PPH
"Dim ... Itu kaya model Rania ya, tadi?" ucap pria bernama Diky, yang kini duduk didepan pagar rumah Dimas sambil makan cemilan.
Dimas menatap kearah Rania yang masih duduk dengan Naning disebrang. "Neneknya itu tetanggaku, Dik! Ibunya asli orang sini~Banyumanik! Dia sejak kecil tinggal disini, lha wong temene sekolah Raden."
"Wah ... Kebetulan dong kamu kenal, Dim? Kenalin dong sama aku," pinta Diky yang juga menatap kearah Rania.
"Itu aja, kamu mending sama sepupunya. Namanya Naning ... Itu dia yang duduk di sebelah Rania!" bantah Dimas menampakan wajah kurang suka.
Diky menelisik wajah temannya, dan seketika dia terkekeh, karena wajah Dimas begitu murung akibat cemburu.
"Walah Dim ... Sing tenang to! Aku cuma guyon saja. Kamu suka kan, sama Rania?" ledek Diky dengan gaya tengilnya.
Dimas mencoba menyembunyikan senyumannya. Dia mencoba menepis semua rasa itu. Karena menurutnya, dia sudah berlebihan dengan rasa semunya.
"Ya ndak lah, Dik! Kamu ini ngawur. Mana mungkin aku sama Rania bisa bersatu. Aku ini bagaikan rempahan rengginang, padake dekne sing kaya putri keraton! Iso wae kamu iki," kekeh Dimas yang menatap kembali posisi Rania.
Karena waktu masih pukul 7 pagi, dan kebetulan angin semerbak. Sehingga rambut blonde Rania beterbangan menyapu wajah cantiknya. Dan hal itu semakin membuat kecantikan Rania bertambah dua kali lipat dimata Dimas. Kulit putih Rania semakin berkilau, terkena pancaran sorot mentari pagi.
"Walah Dik ... Itu kayae mereka sudah mau pulang," ucap Dimas seraya bangkit dari duduknya, saat melihat Rania dan Naning suda mulai berjalan kembali.
Diky menatap bingung. Lalu juga ikut bangkit, "Lha terus memange kenapa, Dim?"
"Kamu mending ambil motormu cepet! Aku mau nganter Rania, kasian ... jauh itu kalau mau pulang!"
"Ya anterin aja, Dim! Silahkan, monggo anterin!" kekeh Diky yang masih tidak paham keinginan temannya.
Dimas mulai menggeram, namun masih terlihat teduh diwajahnya, "Lha ya masak aku boncengin sepupunya juga, to Dik! Kamu juga ikut, tapi bawa motor sendiri! Nanti kamu yang boncengin si Naning!"
Diky menepuk jidatnya pelan. Dia segera menuju rumahnya, dengan berjalan malas.
.
.
Rania dan Naning yang masih berjalan santai, sontak menghentikan langkahnya saat dihadang dua motor Tentara tadi.
Dimas cepat-cepat melepas helmnya, dan langsung turun dengan menunduk segan.
"Ran ... Kebetulan saya mau kerumah Bapak! Ayo sekalian tak anterin saja! Ini masih jauh kalau jalan kaki," ucap Dimas sambil menautkan jemarinya. Dia merasa grogi sekaligus gemetar, saat berada dihadapan Rania saat ini.
"Lha terus ... Kalau Sampeyan mau nganterin mbak Rania, aku mbok suruh jalan kaki gitu, Mas? Ndak! Aku ndak mau!" tolak Naning memasang badan, namun sejak tadi netranya melirik kearah Diky yang masih duduk diatas motornya.
Dimas hanya menyampingkan tubuhnya, sambil menunjukan belakang.
"Ayo cepet! Nanti aku keburu berubah pikiran!" ucap Diky manaikan nada suaranya, lau bersiap menghidupkan kembali motornya.
Naning meraup manja wajahnya, dan langsung mendekat kearh teman Dimas tersebut.
"Jangan galak-galak to, Mas! Nanti ndak laku," gumam Naning yang bersiap naik ke motor Diky.
"Wis hop, diem!" celetuk Diky, "Dim ... Aku duluan ya! Nanti kamu ikuti saja dari belakang," ujar Diky, yang kini sudah mulai menjalankan motornya pelan.
"Ati-ati, bawa anake orang, Dik!" teriak Dimas namun terlalu lembut dalam pendengaran Rania, dan hanya mendapat jempol dari Diky.
Setelah itu, Dimas menatap kembali Rania untuk mendapat jawaban dari model cantik tersebut.
'TNI itu kan didikanya keras banget! Tapi mas Dimas kok soft spoken banget gini ya'
Rania mencoba menyembunyikan senyumannya dengan menunduk, hingga suara Dimas berhasil menyadarkan lamunannya.
"Ran-"
"Oh ... Iya, iya! Ya wis ayo Mas!" balas Rania yang lebih dulu mendekati motor matic Dimas.
Dimas bernafas lega, sedikit menyungging senyum penuh syukur, lalu segera membalikan badan dan langsung menjalankan kembali motornya.
Motor Dimas melaju pelan mengikis jarak diantara mereka berdua. Sementara jantung yang berada didalam, kian bersenandung kencang, sehingga membuat Prajurit Negara itu tampak mengeluarkan keringat dingin, hingga tubuhnya terasa lemas, akibat terserap energi positif dari Rania.
Diantara mereka berdua sama-sama terdiam, sibuk berperang dalam pikiranya masing-masing.
"Ran ... Capek ya?" kata Dimas yang akhirnya memberanikan membuka suara.
"Sedikit, Mas! Aku sudah lama ndak jalan jauh soalnya!" balas Rania sedikit memajukan kepalanya kedepan. Namun setelah Dimas melewati jalan sawah yang dulu pernah dibuat dia dan sepupunya jatuh, seketika ingatan Rania kembali ke 13 tahun lagi, "Aku dulu pernah jatuh disini! Kamu inget ndak, Mas?"
Dimas seketika menghentikan laju motornya. Dia selalu menghentikan motornya setiap kali melewati jalanan tersebut. Walaupun sekarang jalan itu sudah teraspal, namun Dimas masih mengingat kenanganya saat dulu dia memarahi Rania dan juga Naning.
Rania mengernyit, saat motor Dimas berhenti. Pria itu kembali membuka helmnya.
Dimas perlahan menoleh, serta mengubah posisi duduknya kesamping. "Ran ... Maaf ya, dulu saya sempat marah-marah pas kamu jatuh! Asal kamu tahu, saya selalu berhenti setiap melewati jalan ini! Saya berharap dapat meminta maaf langsung sama kamu. Tapi Alhamdulillah, baru kesampaian hari ini."
"Maafin saya ya, Ran!" ujar Dimas bersungguh-sungguh, hingga wajah tampanya ikut memelas.
Hahahaha!
Tawa Rania spontan lepas begitu saja. Dia masih tidak menyangka, seorang TNI dapat memasang wajah melas penuh sesal. Ucapan Dimas begitu lembut, namun cukup sopan jika dijabarkan kalimatnya.
"Nggak papa, Mas! Lagian itu pas aku masih kecil. Aku sama Naning juga salah, waktu itu!" bantah Rania masih terkekeh.
"Syukurlah ... terimakasih ya, Ran!" girang Dimas, namun hanya cukup tersenyum. Bukan bersorak ramai.
Setelah itu, Dimas kembali bersiap akan menjalankan kembali motornya.
"Eh, eh Mas ... Sebentar! Aku mau tanya?" ucap Rania menarik kembali kaos Dimas.
Dimas seketika menoleh kembali dengan wajah antusiasnya. "Ada apa, Ran?"
"Mas Dimas tahu, siapa yang punya ruko didepan tadi? Rencananya aku mau buka usaha disana!"
"Itu punya temene Bapak, Ran! Nanti coba tak tanyakan sama Bapak dulu. Kamu mau buka usaha apa, maaf kalau saya lancang pingin tahu?" jawab Dimas yang merasa tak enak hati.
"Baru rencana sih, Mas! Aku sudah sejak dulu pingin buka usaha Cake! Kayanya disana tempate strategi. Jadi aku pingin mengubah ruko itu!"
Dimas hanya mengangguk paham. "Nanti coba aku tanyakan sama Bapak dulu! Kalau memang dijual, nanti tak anterin kesana buat ngomong!"
Rania tersenyum manis, hingga membuat jantung Dimas kembali berdesir. Dan spontan, pria itu memegangi dadanya.
.
.
Raden yang baru saja pulang dari pasar, tanpa sengaja mendengar obrolan sang kakak dengan Ayahnya, saat dia hendak memasuki pintu samping.
Pria berusia 25 tahun itu menghentikan langkahnya disamping tembok. Pendengarannya menajam, saat sang kakak menyebut nama sahabat kecilnya~Rania.
'Apa? Rania diantar pulang mas Dimas? Kok malah jadi mas Dimas yang deketin Rania!'
"Nanti Bapak tak coba telfon pak Kandar ya, Dim! Nanti kalau dijual, kamu kasih tahu Rania. Ajak dia menemui pak Kandar dirumahnya!" terang pak Yatmoko yang masih duduk dengan sang putra.
Diamas mengangguk. Dia kembali mengangkat pandanganya, "Bapak jangan bilang pak Kandar, kalau Rania mau buka usaha roti disana! Aku cuma takut, nanti kalau pak Kandar malah berubah pikiran, dan dibuat buka usaha roti sendiri disana!" pintanya pada sang Ayah.
Pak Yatmoko tersenyum penuh makna, "Sebegitunya kamu khawatir, Dim!" kekehnya memecah ketegangan sang putra.
'Rania mau buka usaha? Ndak! Aku harus carikan lebih dulu ruko didekat rumah makanku, agar aku bisa pantau Rania terus! Iki kepiye sih, kok malah mas Dimas yang deketin!'
Raden mengusap kasar wajahnya, antar kesal dan bingung menjadi satu disana. Setelah itu dia urungkan niatnya untuk masuk melewati pintu samping, dan langsung menuju pintu belakang untuk menelfon temanya.
.
.
.
DOR! DOR!
Setelah pria itu terkapar dan sudah tak bernyawa. Aston meniup pistolnya, yang masih mengeluarkan sedikit asap.
"Apa kalian tahu, kenapa aku langsung membunuhnya tanpa menyiksa terlebih dulu?" Aston masih menatap mayat seorang pria tersebut, namun kalimatnya dia tujukan untuk sang anak buah yang sedang menyaksikan dibelakang.
"Kami tidak tahu, Tuan! Memangnya pria itu salah apa?" tanya salah satu anak buahnya.
Bryen yang juga sudah memasukan pistolnya dibalik jas hitam, langsung menatap semua anak buah Aston dengan mata nyalangnya.
"Dia anak buah Mohan Sahindo! Karena perusahaannya yang sudah bangkrut sekarang ... Dia mengirimkan anak buahnya dengan berkedok karyawan diperusahaan Aston. Dan tanpa perusahaan sadari, pria itu hampir meretas data penting Ramos Group, untuk diberikan kepeda tua bangka itu."
Anak buah Aston seketika membolakan mata, karena tidak menyangka akan keberanian tuan Mohan diusia rentanya kini.
"Kalian ... Cepat urus mayat pria itu! Jangan sampai ada sedikit darah yang tersisa! Cepat kerjakan!" bentak Aston meyeringai.
Setelah itu, Bryen dan Aston keluar dari markas mereka. Dua lajang tampan itu melajukan kembali mobilnya, menuju rumah Aston untuk sekedar beristirahat. Semalam, mereka berdua tidak tidur, karena ada salah satu data perusahaan yang telah diobrak abrik pria tadi, sebelum pria itu dihabiskan oleh Aston.
"Kamu cepat telfon Sean, Aston! Bagaimana dia bekerja disana, hingga ide licik pria tua itu tidak tercium olehnya!" geram Bryen tehadap anak buahnya itu.
"Nanti pasti ku hubungi dia!"
Mobil kembali melesat dengan kencang, membelah keramaian yang saat ini terjadi di Ibu Kota.
Drt! Drt!
Wajah yang semula menggeram menahan kesal, mendadak berubah 180 derajat, saat menerima panggilan dari sang adik. Senyum hangat itu terbit di bibir Aston, sehingga membuat wajahnya bersinar lebih cerah.
"Aston ...." girang Rania disebrang telfon, yang Aston yakini jika sang adik saat ini tengah bahagia.
Bersambung~
semangat ya tor🌹🌹
awal baca suka ceritanya 😍
ra dong aku !!!