Kolaborasi kisah generasi Hikmat dan Ramadhan.
Arsy, cucu dari Abimanyu Hikmat memilih dokter sebagai profesinya. Anak Kenzie itu kini tengah menjalani masa coasnya di sebuah rumah sakit milik keluarga Ramadhan.
Pertemuan tidak sengaja antara Arsy dan Irzal, anak bungsu dari Elang Ramadhan memicu pertengkaran dan menumbuhkan bibit-bibit kebencian.
"Aduh.. maaf-maaf," ujar Arsy seraya mengambilkan barang milik Irzal yang tidak sengaja ditabraknya.
"Punya mata ngga?!," bentak Irzal.
"Dasar tukang ngomel!"
"Apa kamu bilang?"
"Tukang ngomel! Budeg ya!! Itu kuping atau cantelan wajan?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Born of Indigo
Mata Stella menatap kosong ke arah meja lipat yang terdapat di bednya. Di atas meja sudah tersedia sarapan untuknya. Anya bingung melihat sikap Stella yang tidak seperti biasanya. Lingkaran hitam terlihat di sekitar matanya, tanda gadis itu kurang tidur. Anya menarik kursi ke dekat bed, lalu mendudukkan diri di sana.
“Kenapa bengong. Ayo dimakan sarapannya.”
“Mi.. aku sampai kapan di rumah sakit?”
“Belum tahu. Nanti mami tanyakan dulu sama dokter Fikri atau Reyhan.”
Anya menyendokkan makan untu putrinya itu kemudian menyuapkannya. Stella membuka mulutnya, menerima suapan dari sang mami. Pikirannya masih tertuju pada kejadian semalam. Tiga orang suster menemuinya dan dua di antaranya diperkirakan adalah makhluk tak kasat mata. Mengingat itu refleks tubuh Stella bergidik.
“Kenapa sayang?”
“Mi.. semalam masa ada tiga orang suster yang masuk ke kamar gantian periksa infusanku.”
“Terus?”
“Yang bener-bener manusia cuma satu, suster Dian. Sisanya hantu mi..” bisik Stella pelan, seakan takut sang hantu mendengar dirinya tengah bergosip tentangnya.
Walau hanya sekilas, namun Stella bisa melihat perubahan pada mimik wajah maminya. Dia yakin sekali kalau Anya tahu apa yang tengah menimpanya, hanya saja wanita itu masih menutupinya.
“Mi.. sebenarnya ada apa sih sama aku?” desak Stella.
“Mi…”
Stella kembali memanggil Anya karena maminya masih belum menjawab pertanyaannya. Anya menghela nafas panjang. sepertinya dia memang harus menceritakan semua ada Stella, agar anak gadisnya itu tidak terkejut dan bersiap menghadapi kenyataan yang ada.
“Jadi begini… eyangmu, eyang kakungmu memiliki kemampuan melihat makhluk astral. Itu adalah kemampuan turun menurun dari kakek buyutmu. Dulu mami juga punya kemampuan seperti itu. Tapi kemampuan kami berangsur hilang setelah kami menikah. Mami pikir keturunan mami tidak ada yang mewarisinya, tapi ternyata kamu juga memiliki kemampuan seperti itu.”
“Mami yakin?”
“Iya. Dulu mami bisa melihat makhluk halus setelah melihat kucing hitam. Ada kucing hitam yang meloncat ke arah mami. Kamu juga seperti itu kan? Kamu kecelakaan karena menghindari kucing itu kan?”
“Iya, mi.”
Mata Stella melihat ke kanan dan kiri. Mendengar cerita maminya, dia jadi parno sendiri. Jangan-jangan saat ini ada makhluk astral yang tengah mengintip, atau bahkan mungkin mengincarnya.
“Terus waktu mami bisa lihat gimana ceritanya?”
“Ya mami ketakutan. Rata-rata ada yang cuma setor muka aja, tapi ada juga yang ngintilin mami, sampe ada yang pengen sama mami. Makanya mami cepet-cepet nikah sama papi biar kemampuan mami hilang dan ngga dideketin sama jin yang naksir mami.”
“Hahaha…”
Anya terkejut melihat anaknya yang justru tertawa mendengar ceritanya. Stella bahkan membutuhkan waktu beberapa saat untuk meredakan tawanya. Dia mengambil gelas di atas meja kemudian meminumnya.
“Mami bener-bener emejing. Saking cantiknya, jin juga naksir sama mami, hahaha..”
“Ish.. nih anak malah ngetawain.”
“Hahaha.. aduh sakit, mi.”
“Awas aja kalo kamu ketemu hantu jangan harap mami mau bantu kamu.”
“Ya.. mami jangan gitu dong.”
Stella menghentikan tawanya, bisa gawat kalau benar Anya tak mau membantunya. Dia berdehem beberapa kali untuk menetralisasi keadaan. Kemudia meminta Anya melanjutkan ceritanya.
“Sebenarnya ada orang-orang yang kalau mami dekat sama mereka, bakal bikin makhluk halus itu hilang. Biasanya orang itu punya aura kuat jadi makhluk astral ngga berani dekat-dekat sama.”
“Siapa mi?”
“Selain eyang, ada papi, papa Aric, papa Kenzie sama daddy Kenan. Kalau mami dekat mereka, para jin yang ganggu mami langsung mental.”
“Ehmm.. berarti di keluarga kita ada juga yang bisa dijadiin tameng.”
“Iya, tapi ngga semua.”
Kepala Stella manggut-manggut tanda mengerti. Sekeluarnya dari rumah sakit, dia akan mendata siapa saja anggota keluarganya yang bisa dijadikan tameng olehnya. Anya kembali menyuapkan makanan ke dalam mulut Stella.
“Kata mami, kemampuan itu bakal hilang kalau aku nikah.”
“Iya.”
“Kalau gitu aku mau nikah aja deh.”
“Sama siapa?”
Jujur saja Anya heran plus bingung mendengar permintaan anaknya. Setahunya Stella belum pernah berpacaran dengan siapa pun dan langsung ingin menikah. Mencari suami untuk Stella itu susah-susah gampang. Selain harus memiliki aura kuat yang dapat mengusir makhluk halus yang mendekatinya. Pria itu juga harus kuat menghadapi sikap absurd bin nyeleneh putrinya yang kadarnya sudah di stadium akhir.
“Ngga tau, mi. Gimana kalau mami bikin sayembara aja. Who wants to be Stella’s husband. Aaaawwww…”
Gadis itu menjerit ketika Anya menjewer telinganya. Anak gadisnya itu selalu saja mengemukakan ide yang tidak masuk akal. Sambil memajukan bibirnya, Stella mengusap telinganya yang terasa panas.
“Mami mau pulang dulu. Mau mandi sama ambil baju ganti buat kamu juga.”
“Terus aku sendiri dong.”
“Pulang kuliah Dipa ke sini. Dia cuma ada satu mata kuliah aja. Arsy juga bakalan sering nengok kamu di sini.”
“Ok deh. Tapi aku boleh jalan-jalan ngga, mi? Bosen di kamar mulu.”
“Boleh. Tapi kalau infusan kamu udah dilepas ya. Itu sedikit lagi.”
Kepala Stella mengangguk cepat. Alasannya ingin jalan-jalan, selain untuk mencari udara segar, dia juga takut kalau harus berada di kamar sendiri. Takut kedua suster semalam mendatanginya lagi.
🍁🍁🍁
Mata Stella terus menatap tetes-tetes terakhir cairan infus masuk ke tubuhnya. Tangannya langsung memijit tombol untuk memanggil suster. Tak lama seorang perawat masuk. Tahu kalau infusan Stella habis, dia kembali keluar untuk mengambil peralatan untuk melepaskan infusan tersebut.
Tak berapa lama perawat itu kembali sambil menjinjing kotak medis. Dia segera melepaskan infusan di tangan Stella. Gadis itu menggerak-gerakkan tangannya. Kini dia bisa bergerak lebih bebas lagi.
“Sus.. saya boleh kan jalan-jalan ke rooftop atau ke bawah?”
“Boleh. Tapi jangan terlalu lama.”
“Ok, sus. Makasih.”
Stella segera turun dari bed, kemudian menyusul langkah sang suster dari ruang rawat VVIP tersebut. Gadis itu langsung menuju lift. Rooftop berada lima lantai di atasnya. Setelah pintu lift terbuka, dia langsung masuk ke dalamnya. Tangannya memencet tombol 17 dan perlahan pintu lift mulai menutup. Tepat sebelum pintu menutup seorang perempuan berambut panjang dan mengenakan gaun pengantin putih masuk ke dalam lift. Dia berdiri menghadap Stella lalu tersenyum dingin kepadanya. Gadis itu tercekat, dia menutup mata sambil meremas bajunya menahan rasa takutnya.
“Tenang Stella, jangan takut, ‘audzubillahiminasyaitonirrojim.. laa hawla wala kuata illa billahillaliyyiladzim Allahuakbar..”
Ujar Stella dalam hati lalu dia melanjutkan dengan membaca al fatihah, al falaq, an nass dan ditutup dengan ayat kursi. Seusai membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an dia memberanikan diri membuka matanya. Wanita yang tadi dilihatnya sudah tidak ada. Bertepatan dengan itu, pintu lift terbuka. Dengan tergesa Stella keluar dari sana.
Gadis itu menghela nafas lega begitu sampai di rooftop. Cukup banyak pasien dan keluarganya yang menikmati udara segar di bagian teratas rumah sakit ini. Stella berjalan menuju salah satu kursi kosong di sana. Dia mendaratkan bokongnya sambil memandangi bunga-bunga yang di tanam di sekitar rooftop.
Beberapa meter dari tempat Stella duduk. Tamar tengah menanyai buronan yang kemarin berhasil ditangkapnya. Dia menanyakan di mana komplotannya berada. Tapi sang buronan masih menutup rapat mulutnya.
“Hey.. siapa komplotanmu? Apa kamu rela mendekam lagi di dalam penjara demi mereka?”
Buronan bernama Jojon itu masih belum mau membuka mulutnya. Sebelah tangannya yang tidak terborgol meraba bagian bawah kursi rodanya. Diam-diam dia mengambil tang yang disembunyikan di sana. Kemudian dengan cepat dia mengambil tang tersebut dan memukulkannya ke kepala Tamar.
“Aarrgghh.. brengsek!”
BUGH
Dengan kesal Tamar menghajar Jojon. Aji, bawahannya segera menahan pria itu yang hendak menghajar Jojon yang sampai terjungkal kursi rodanya. Stella mengalihkan pandangannya ke arah keributan yang terjadi.
“Hai..”
Stella menolehkan kepalanya ke sebelahnya. Terlihat seorang pemuda menggunakan pakaian pasien duduk di sampingnya. Wajah pemuda itu nampak pucat, namun begitu senyum masih menghiasi wajahnya.
“Siapa namamu?” tanya pemuda itu.
“Stella.”
“Aku Jordan. Kamu dirawat di sini?"
“Iya. Kamu juga?”
“Iya. Aku di lantai tujuh. Kamu di mana?”
“Lantai 12.”
“Wow kamar VVIP. Kamar no berapa?”
“Tiga.”
“Kalau nanti aku main ke kamarmu boleh? Aku bosan di kamar sendirian.”
“Boleh.”
Perhatian Stella kembali teralihkan pada keributan yang terjadi. Dua petugas berseragam membawa Jojon pergi lebih dulu. Disusul oleh Aji yang mengajak Tamar untuk diobati lukanya.
“Aku balik ke kamar dulu ya,” ujar Jordan.
“Ok.”
Stella melihat Jordan bangun dari duduknya, kemudian berjalan memasuki bangunan di mana lift berada. Matanya membelalak ketika tubuh Jordan menembus tubuh pasien yang ada di depannya.
Huaaaa… kampreto, gua barusan ngobrol ama hantu… astaga… pagi-pagi gini udah nongol aja… huaaaaaa… mami…
Bergegas Stella bangun dari duduknya kemudian berlari menuju lift. Dia ingin segera kembali ke kamarnya, lalu menelpon maminya meminta pulang ke rumah hari ini juga. Gadis itu tidak sanggup berlama-lama di rumah sakit.
Stella mempercepat larinya begitu melihat pintu lift hampir menutup. Dengan tangannya dia menghalangi pintu, yang kemudian kembali terbuka. Dia segera masuk ke dalamnya. Di dalam sana sudah ada dua orang pria, Tamar dan Aji. Stella memposisikan diri di dekat Tamar. Sekilas Stella melirik pada Tamar yang lumayan tinggi. Dia sampai harus mendongakkan kepalanya.
Ganteng juga nih..
Mata Stella terus memperhatikan Tamar yang wajahnya memang enak dilihat. Namun gadis itu terkejut ketika melihat darah mengalir dari kepala Tamar, membasahi pelipis dan pipinya. Sontak Stella langsung mengalihkan pandangannya ke samping, sambil menutup matanya.
Ya ampun setan lagi… huaaaa…. Ganteng-ganteng setan… mami.. di mana-mana ada setan..
“Ya ampun capt. Ini darahnya keluar,” seru Aji yang terkejut melihat darah merembes dari luka akibat pukulan Jojon.
Mendengar suara Aji, Stella merasa telah salah menebak. Perlahan dia membuka matanya, lalu melihat Aji tengah membersihkan darah di kepala Tamar dengan sapu tangannya. Mata Stella terus mengawasi Tamar. Kemudian telunjuknya ditusuk-tusukkan ke lengan pria itu. Membuat sang empu menolehkan kepalanya.
“Eh beneran orang. Kirain setan,” gumam Stella pelan namun terdengar oleh Tamar.
“Apa?”
“Hehehe.. ngga kok.”
Stella mengalihkan pandangannya ke arah samping. Bertepatan dengan itu dari atas muncul sesosok makhluk dengan rambut panjang dan wajah pucat di depan wajah Stella. Posisinya menggantung dengan kepala di bawah. Kepala makhluk itu tepat berada di depan wajah gadis itu.
“Aaaaaaaa!!!”
Stella menjerit kencang, refleks dia memegang lengan Tamar sambil menutup matanya. Dia menyandarkan wajahnya ke lengan Tamar. Tubuhnya tampak gemetar gara-gara melihat penampakan itu. Tamar yang kebingungan, hanya memperhatikan gadis yang masih memegang erat lengannya.
“Kamu kenapa?” tanya Tamar.
TING
Pintu lift terbuka ketika sampai di lantai 12. Stella langsung melepaskan pegangannya di lengan Tamar kemudian berlari keluar dari lift. Aji hanya melongo saja melihat kejadian tersebut.
“Dasar gila,” gumam Tamar pelan. Pintu lift kembali menutup dan kotak besi itu melanjutkan perjalanannya ke lantai bawah.
Stella terus berlari menuju kamarnya. Suster yang tengah berkumpul di meja perawat hanya terbengong saja saat gadis itu melintasi mereka. Stella membuka pintu ruang rawatnya. Ternyata Anya dan Irvin sudah datang. Dengan cepat dia menghambur ke arah Irvin.
“Papiiii…”
“Kenapa sayang?” tanya Irvin seraya mengusap punggung Stella.
Pria itu kebingungan putrinya datang-datang langsung memeluknya. Nafasnya tersengal dan tubuhnya gemetar. Dia melihat pada Anya, sepertinya istrinya itu tahu hal apa yang baru saja menimpa anaknya.
“Kenapa sayang?” tanya Irvin lagi.
“Papi.. aku mau pulang. Aku ngga mau di sini, huhuhu…. Ada setan papi.. banyak setan di sini. Semalem aku didatengin dua suster jadi-jadian, terus di lift aku ketemu setan dua kali, di rooftop juga.. huaaaa… aku takut papi.. aku mau pulang,” rengek Stella sambil menangis.
“Tenang dulu sayang,” Anya mencoba untuk menenangkan.
“Aku takut, mi.. mana tadi di rooftop aku kenalan sama setan. Dia tanya aku dirawat di mana. Terus dia bilang mau main ke sini. Aku takut mami, nanti kalau dia dateng beneran gimana, huaaaa…”
“Ya sudah, kalau kamu mau pulang. Papi minta ijin dulu sama dokternya.”
Irvin mengurai pelukannya. Stella berpindah pada Anya. Gadis itu memeluk maminya dengan erat. Sementara Irvin segera keluar untuk menemui Reyhan, hendak meminta ijin Stella pulang ke rumah.
🍁🍁🍁
Setelah mendapat ijin dari Reyhan, Stella akhirnya pulang ke rumah. Tapi besok dia harus datang ke rumah sakit untuk kontrol. Sesampainya di rumah, gadis itu langsung mencari Cakra. Sambil memeluk eyangnya, dia menceritakan kejadian di rumah sakit. Adik Stella, Nabhan Pradipa atau yang biasa dipanggil Dipa mendengarkan cerita sang kakak dengan seksama.
“Aku takut kek. Setannya serem-serem.”
“Mana ada setan cantik, ngaco aja lo, kak,” timpal Dipa.
“Berisik!”
Stella mengeratkan pelukannya di pinggang Cakra. Hanya bersama Cakra dan Irvin bisa membuatnya tenang dan aman. Sepertinya setan, hantu atau dedemit tidak akan berani mengganggunya.
“Di rumah sakit banyak hantu gentayangan, eyang.”
“Stella.. kan eyang pernah bilang. Ngga ada yang namanya hantu. Mereka itu jin yang suka mengganggu manusia. Dia mengambil perwujudan orang yang sudah meninggal untuk membangkitkan ketakutan manusia. Seperti menyerupai korban kecelakaan atau pembunuhan. Atau juga menyerupai bentuk hantu hasil imajinasi manusia, kaya kuntilanak, pocong, suster ngesot. Itu kan hasil imanjinasi manusia. Mereka menakuti manusia sesuai dengan ketakutan yang dirasakannya. Memang bentuk sebaik-baiknya jin itu adalah seburuk-buruknya manusia. Wajar saja kalau kamu takut. Tapi.. semakin kamu takut, maka semakin senang mereka menggodamu.”
“Terus aku mesti gimana, eyang?”
“Lawan ketakutanmu. Atau untuk sementara, kalau bepergian ajak orang yang bisa membuatmu jauh dari godaan mereka.”
“Siapa? Aku taunya cuma eyang sama papi. Masa iya aku geret-geret eyang ke kampus.”
“Hahaha.. coba kamu tes, Dipa.”
Stella melihat pada sang adik. Sebuah senyuman merekah di wajahnya. Namun senyum itu terlihat begitu menakutkan di mata Dipa. Pemuda itu mendelik pada sang kakak.
“Napa lo liatin gue gitu?”
“Dip.. uji coba yuk.”
“Ogah.”
“Dipa.. lo ngga sayang ama kakak sendiri.”
“Wani piro?”
“Tar gue tambahin uang saku lo.”
“Deal!! Mau uji coba di mana?”
“Di rumah kosong yang dekat pos satpam.”
“Wokeh.”
🍁🍁🍁
**Kemarin pada nanya es kering apaan. Es kering alias dry ice itu suka dipake buat keperluan syuting untuk bikin efek kabut atau asap. Suka dipake juga buat awetin es krim atau anaknya suka ada yg beli cikbul? Nah itu pake dry ice atau es kering.
Yang nunggu Arsy-Bibie sabar, ya. Kita bahas dulu Stella bentaran yang lagi cari jodoh juga. Ini mamake kasih penampakan Stella sama Tamar versi diriku.
Stella, kemampuannya bakal ngelebihin Anya**
Tamar, polisi ganteng teman Bibie