NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 Nama Yang Gak Asing

Hari-hari berjalan cepat seperti biasanya di kantor PT Global Teknologi Surabaya. Suasana kantor tenang, produktif, dan modern—dengan kehangatan khas tim muda yang membuat tempat itu hidup.

Di ruang kerja terbuka lantai dua, deretan meja putih minimalis tertata rapi. Monitor-monitor menyala menampilkan baris kode, grafik, dan dashboard proyek. Printer di sudut ruangan berdetak pelan, sesekali mengeluarkan lembar laporan yang masih hangat.

Suara keyboard beradu ritmis, bersahutan dengan notifikasi laptop para karyawan. Aroma kopi hitam dari pantry mengalir lembut, bercampur dengan wangi caramel latte pesanan staf yang baru diantar.

Udara AC terasa segar.

Dan di tengah segala keteraturan itu— suara paling khas terdengar, Liora.

Sambil berdiri di samping meja Bulan dengan tablet di tangan, rambut bob-nya bergerak setiap kali ia memutar tubuh. Ia nyerocos tanpa jeda tentang tender aplikasi yang baru saja masuk. Ekspresinya hidup, alisnya terangkat-angkat, langkahnya kecil-kecil seperti presenter TV yang kebanyakan ide.

“Sumpah ya, Bul, tender ini tuh potensial banget! Kalo backend-nya bisa disinkron sama sistem lama mereka, kita bisa dapet win besar bulan ini—”

Bulan hanya mengangguk pelan, tetap fokus ke layar laptopnya. Namun bibirnya tersenyum tipis. Bagi Bulan, suara Liora adalah musik latar pagi yang membuat kantor selalu terasa… normal.

“Bul, lo udah lihat revisi data client dari Arjuno? Aku udah kirim di folder Shared,” tanya Liora sambil mengangkat tabletnya.

“Udah. Nanti sore aku mau cross-check sama laporan backend,” jawab Bulan tanpa mengalihkan pandangan.

Proyek Arjuno Group memang sudah hampir selesai. Selama tiga hari terakhir, Bulan dan tim programmer bekerja keras memenuhi seluruh permintaan terkait keamanan data dan sistem server. Sore nanti tinggal final check dengan tim IT Arjuno dan penyusunan laporan serah terima.

Liora baru mau melanjutkan ketika suara notifikasi dari laptop Bulan dan tablet Liora, mereka berdua berbunyi bersamaan —

ting!

Meeting mendadak – Zoom Conference Room 1 (10 menit lagi)Peserta  Pak Yanuar (Komisaris Utama), Pak Sadam (Komisaris Utama), Direksi: Pak Mulya, Pak Siregar dan Pak Aldo.

Bulan dan Liora saling berpandangan sejenak.

 “Gak biasanya Pak Yanuar dan Pak Sadam bareng di rapat dadakan,” gumam Liora.

Bulan menutup laptop pelan, sorot matanya berubah serius. “Iya. Ini pasti ada sesuatu.”

Lima menit kemudian Bulan dan Liora sudah stand by.  Mereka berdua sudah duduk berdampingan di ruang meeting kaca lantai lima. Laptop tersambung ke proyektor, menampilkan wajah para direksi dan CEO cabang di layar besar.

“Selamat siang semuanya,” suara berat Pak Yanuar membuka rapat. “Terima kasih sudah hadir mendadak. Kami minta maaf karena rapat ini sifatnya tertutup dan di luar jadwal.”

Liora langsung menegakkan punggung. Bulan menyilangkan tangannya di dada, matanya fokus ke layar. Suara di ujung lain terdengar lebih tenang — Pak Sadam.

“Kami ingin mengumumkan beberapa pembaruan di struktur kepemimpinan pusat Global Teknologi. Mulai minggu depan, Pak Siregar akan digantikan oleh direksi baru.” Ucap Pak Sadam tenang.

Ruangan mendadak sunyi. Bahkan suara AC pun terasa lebih keras dari biasanya.

Liora menatap layar, lalu ke arah Bulan. Sementara Bulan, masih diam — tapi jari-jarinya mengetuk meja pelan, tanda pikirannya mulai berputar cepat.

“Direksi baru ini akan memimpin bidang operasional dan pengembangan bisnis digital untuk semua cabang,” lanjut Pak Yanuar.

“Beliau sudah berpengalaman di beberapa perusahaan teknologi besar. Nama beliau… Farhan Pahlevi.”

Kalimat itu meluncur tenang — tapi di ruangan Bulan dan Liora, waktu seolah berhenti.

Bulan menegakkan tubuh, matanya membulat sekilas. Liora spontan menoleh cepat kearah Bulan, menatap sahabatnya dengan tatapan ‘tolong bilang aku salah denger’.

Namun wajah Bulan menjawab semuanya. Datar. Tapi sorot matanya tiba-tiba gelap.

Farhan Pahlevi. Nama yang bukan hanya “tidak asing” — tapi nama yang menyimpan banyak hal yang tak ingin diingat.

“Jadi untuk sementara, semua CEO cabang diminta siap berkoordinasi dengan beliau mulai minggu depan,” lanjut Pak Sadam.

“Baik, Pak,” jawab Bulan nyaris otomatis, suaranya tetap profesional tapi nadanya lebih rendah dari biasanya. Sedangkan Liora diam saja, matanya fokus ke layar tapi pikirannya entah ke mana.

Meeting berakhir tanpa banyak tanya. Suara “thank you, everyone” terdengar dari arah layar, dan perlahan jendela Zoom menutup. Namun, suasana di ruangan kaca itu tetap beku.

Liora bersandar di kursinya, menarik napas panjang. “Gue beneran gak salah denger barusan, kan?” suaranya pelan tapi tegang.

Bulan tidak menjawab segera. Ia menatap layar hitam di depannya, lalu menutup laptop pelan.

“Enggak, Li. Lo gak salah denger.”

“Farhan Pahlevi,” ulang Liora, suaranya nyaris berbisik. “Dia…? Direksi baru kita?.”

Bulan berdiri, berjalan ke jendela besar. Cahaya matahari sore memantul di wajahnya—cantik tapi tegang. Seseorang yang baru saja dihadapkan lagi pada bab lama yang sudah ia tutup bertahun-tahun.

Liora memandang punggung sahabatnya, pelan berkata, “Bul…?”

Bulan menarik napas dalam, lalu menatap keluar jendela — ke arah langit Surabaya yang mulai berubah warna.

“Gue gak tau harus apa Li …” jawabnya pelan. “Kayaknya semesta belum selesai ngetes gue.”

**

Ruang meeting kaca lantai lima akhirnya benar-benar kosong. Lampu putih redup memantul di permukaan meja panjang, sementara tirai-tirai tipis bergoyang sedikit karena hembusan AC. Di luar kaca, lalu lintas Surabaya tampak sibuk seperti biasa. Tapi di dalam ruangan itu… udara seolah berhenti bergerak.

Karyawan masih bekerja di meja masing masing. Suara keyboard dari lantai bawah samar-samar terdengar. Namun bagi Bulan dan Liora, dunia baru saja bergeser— tipis, namun cukup untuk mengguncang struktur napas keduanya.

Bulan berjalan perlahan ke ruangannya. Langkahnya pelan, seperti seseorang yang sedang mencari tempat berpijak. Ia menarik kursi dan duduk perlahan, seolah takut kursi itu akan runtuh bila ia terlalu cepat.

Beberapa detik ia hanya terdiam, lalu kedua sikunya bertumpu di meja. Jari-jarinya naik menutupi wajah, menekan pelan area di antara alisnya. Dari bahunya yang naik turun, terlihat jelas ia mencoba mengatur napas — satu, dua, tiga kali — tapi tetap berat.

Ketika ia akhirnya menurunkan tangannya, tatapannya kosong sejenak sebelum fokus kembali dengan napas panjang yang tidak stabil. Liora, yang biasanya ribut, heboh, penuh suara, hanya menarik kursi dan duduk di sampingnya tanpa mengatakan apa-apa.

Tangan Liora menggenggam tablet, tapi tidak digerakkan. Ia menatap Bulan dengan mata yang tidak pernah Bulan lihat dari seorang Liora— campuran peperangan batin, marah, terkejut, dan takut untuk sahabatnya.

Keheningan itu bukan canggung. Keheningan itu seperti selimut tebal yang menutupi udara di ruangan.

Hampir satu menit berlalu sebelum Liora akhirnya buka suara.

“Bul…”

Hanya satu kata. Tapi kata itu seperti retakan kecil di kaca tebal, lambat tapi pasti. Nada suaranya lembut. Tidak tinggi, tidak meledak-ledak seperti biasanya. Ada getaran khawatir, ada sayang, ada proteksi.

“…lo beneran oke?”

Bulan mengangkat wajahnya perlahan. Gerakannya lambat, seolah kepala itu terasa berat. Wajahnya tetap cantik, garis rahangnya tetap tegas, tapi tatapan matanya… gelap, menahan, seperti seseorang yang baru saja melihat bayangan lama muncul dari kegelapan.

“Gue nggak tau, Li,” ucap Bulan akhirnya.

Suaranya terdengar berbeda — lebih muda, lebih rapuh, bukan suara COO yang biasa memimpin rapat dengan ketenangan baja.

“Gue pikir…” Bulan menelan ludah kecil. Jemarinya mengepal di atas meja. “…masa itu udah selesai. Gue pikir gue nggak akan pernah denger nama itu lagi.”

Liora menghela napas perlahan, mencondongkan tubuh seperti ingin memastikan Bulan tidak runtuh.

“Gue kira juga gitu.” Suaranya turun hampir menjadi bisikan.

“Serius, Bul. Gue pikir dia udah hilang dari radar. Hilang beneran. Tapi—”

“Dan sekarang dia jadi direksi pusat,” potong Bulan, suaranya pelan tapi menggetarkan udara.

Ia menatap lurus ke meja, bukan ke Liora. Matanya seperti melihat sesuatu yang jauh di bawah permukaan.

“Direksi yang hari pertama kerjanya…” Bulan menutup mata sebentar, bibirnya menegang. “…bakal minta koordinasi sama gue.”

Liora terdiam. Bulan terdiam.

Sunyi yang terbentuk setelah kalimat itu bukan sekadar hening— itu seperti gravitas yang menarik keduanya ke pusat rasa tidak nyaman yang sama.

Bulan memijat pelipisnya. “Gue nggak takut ketemu dia. Bukan – bukan itu.”

Ia menatap meja, suaranya stabil tapi dingin. “Gue cuma… nggak mau dia ada di lingkungan yang sama sama gue. Gue nggak mau ada orang kayak gitu dalam hidup gue lagi. Bahkan walau cuma lewat email. Gue cuman takut kalo dia ngeliat gue, dia akan ngelakuin hal yang sama kaya dulu, Li”.

Liora mengangguk cepat. “Iya. Gue ngerti banget.” Kemudian perlahan Liora mengelus lengan Bulan. “Terus apa yang mau lo lakuin sekarang, Bul? Gak mungkin lo akan menghindar terus kan?”

Bulan menatap sahabatnya itu — ada kejujuran yang keluar tanpa kata.

“Kayanya gue ambil jalan keluar aja deh dari Perusahaan ini,” jawab Bulan akhirnya. Pelan. Tegas. Tanpa ragu.

“Gue gak tau apa motifnya dia, tapi yang gue yakin, dia pasti akan mulai ngedeketin dan maksa gue kaya waktu itu.” lanjutnya lagi.

Liora menutup mata beberapa detik, seolah memproses kalimat itu. Ketika ia membuka mata lagi, keputusan Liora sudah bulat.

“Kalau lo resign…” Ia mencondongkan tubuh ke depan, menatap Bulan lurus-lurus. “…gue resign juga.”

Bulan cepat-cepat menggeleng. “Liora, enggak. Jangan karena gue—”

“Gue gak mau lo kerja bareng orang kayak dia,” potong Liora. Nada suaranya bukan nada CEO bawel seperti biasanya. Ini Liora sahabat—yang selalu berdiri di sisi Bulan sejak dulu.

“Ini tentang kenyamanan kita, Bul. Lo nyaman, gue akan ikut nyaman. Tapi gue udah duga kalo lo nggak akan nyaman di bawah kepemimpinan dia, dan gue juga nggak akan nyaman.”

Bulan meremas tangannya, suaranya bergetar samar. “Makasi, Li… tapi ini keputusan berat. Ini hidup kita. Masa depan kita.”

“Justru karena itu,” Liora menyentuh lengan Bulan, “kita harus jaga diri kita dari awal. Dan… gue tau betul apa yang pernah dia lakukan ke lo.” Liora menghela napas panjang. “Gue nggak akan biarin sejarah itu kejadian lagi. Even in the slightest way.”

Bulan akhirnya menunduk. Menutup mata. Menahan emosi yang sudah lama tidak muncul. Beberapa detik berlalu sebelum ia angkat wajah lagi — lebih stabil, lebih kuat.

“Baik,” ucap Bulan. “Kita ajukan resign. Tapi…”

“Project Arjuno kita selesaikan,” sambung Liora cepat.

Bulan mengangguk. “Ya. Kita tetap profesional. Kita selesaikan yang udah mulai. Lagian untuk keseluruhan proyek Arjuno juga udah selesai tinggal final dan maintenancenya aja dan itu bisa orang lain yang handle.”

“Deal,” kata Liora sambil menghembuskan napas keras. “Habis itu… kita cabut dari sini. Move forward.”

Bulan tersenyum tipis — senyum letih tapi tulus. “Kita akan baik-baik aja, Li. Seperti biasa.”

Liora berdiri, merentangkan tangan ke udara. “Aku butuh kopi sebelum kita bilang Pak Yanuar, sumpah.”

Bulan berdiri sambil menghela napas kecil dan merapikan kemejanya. “Ya ampun Li, bahkan drama resign pun lo bisanya diselingin kopi.”

Liora mengangkat bahu santai. “Kalau gak ada kopi, gue gak bisa mikir cerdas.”

Keduanya tertawa kecil — tawa yang tidak terlalu bahagia, tapi cukup untuk membuat langkah berikutnya terasa sedikit lebih ringan.

**

Siang itu, ruang kerja bulan di lantai lima sudah kembali kosong. Liora sudah Kembali keruangannya, Hanya ada gema AC dan pantulan cahaya matahari yang makin turun dari jendela tinggi.

Bulan masih berdiri menghadap luar. Kedua tangannya bertumpu di kusen jendela, punggungnya tegang, napasnya pelan tapi tidak stabil. Bahkan tanpa melihat wajahnya pun, siapa pun bisa merasakan ada sesuatu yang menggedor dari dalam dirinya.

Matanya menatap gedung-gedung tinggi Surabaya yang terlihat seperti bayangan blur. Seolah pikirannya sedang ditarik mundur… jauh… ke tempat yang tidak ingin ia datangi lagi.

Dan tanpa bisa dicegah, ingatan itu kembali. Dengan warna, suara, bahkan bau-bauannya.

Terang. Penuh detail. Seolah kejadian itu baru terjadi kemarin.

FLASHBACK ON

Waktu itu kampus masih ramai oleh mahasiswa yang bersiap pulang. Langit sore memudar warna ke jingga, dan angin membawa aroma rumput basah dari lapangan dekat fakultas. Bulan berjalan cepat ke parkiran, menggendong tas laptopnya. Rambutnya yang panjang terikat setengah, sedikit beterbangan karena angin.

Ia baru saja berjalan kearah motor matic kesayangannya ketika matanya menangkap sosok di seberang parkiran.

Seorang pria berdiri sambil bersandar pada motor. Tidak mengenakan almamater kampus, tidak membawa tas. Hanya berdiri di sana… dengan pandangan lurus padanya.

Bulan mematung sepersekian detik.

Tatapan pria itu terlalu fokus. Terlalu langsung. Bukan tatapan orang yang kebetulan lewat. Bulan mengabaikan. Ia langsung memakai helm, menyalakan motor, dan pergi tanpa menoleh.

Namun, perasaan ganjil itu masih tertinggal di dadanya. Ia merasa kalai pria itu sedari ia keluar dari gedung falkutasnya, pria itu selalu menatap dirinya.

Hari-hari setelahnya berjalan seperti biasa. Kuliah, Praktikum, Laporan, Pulang. Tidak ada yang secara langsung mengganggu Bulan… tapi ada rasa aneh yang mulai menempel di punggungnya, seperti seseorang meniupkan napas tipis dari kejauhan.

Sampai suatu sore, ketika matahari sudah turun setengah dan cahaya jingga memantul lembut di lantai ubin koridor fakultas,Bulan berjalan sambil merapikan tali tas ranselnya. Koridor itu panjang, dengan deretan pintu kelas yang baru saja dikunci. Beberapa mahasiswa lewat sambil bercanda,suara mereka menggema samar— kemudian menghilang begitu belok di tikungan.

Dan di tengah sunyi itu… Bulan melihatnya. Pria itu.

Duduk sendirian di bangku panjang dekat jendela.Tangan terlipat di pangkuan, punggung tegap, wajahnya menghadap lurus ke depan seperti sedang menunggu seseorang.

Tapi begitu Bulan lewat, tatapan itu beralih — cepat tapi mulus — dan langsung mengunci wajahnya. Tidak ada senyum. Tidak ada anggukan. Tidak ada upaya memulai percakapan.

Hanya diam. Intens.

Seolah mata itu mengamati setiap detail gerakan Bulan, dari cara gadis itu mengatur napas, hingga caranya memegang tali tas lebih kencang tanpa sadar. Bulan merasakan langkahnya otomatis melambat.

Napasnya sedikit terhenti di tenggorokan. Ada sensasi dingin menjalar dari tulang belakang ke tengkuknya — bukan dingin AC, tapi dingin “diperhatikan”.

Ia menoleh sepersekian detik, cukup untuk memastikan ia tidak salah lihat. Pria itu masih menatap, tidak berkedip, tidak mengalihkan pandangan bahkan ketika dua mahasiswa lewat di depannya. Seolah di koridor panjang itu, satu-satunya hal yang eksis adalah Bulan.

Bulan mempercepat langkah, meski ia berusaha terlihat biasa. Sepatu sneakers-nya menekan lantai dengan bunyi yang tiba-tiba terlalu keras di telinganya. Saat ia belok ke arah tangga, ia bisa merasakan mata itu masih mengawasinya sampai detik terakhir ia menghilang dari pandangan.

Di perpustakaan minggu berikutnya, ia duduk di meja pojok sambil mengerjakan tugas. Saat ia menengok ke rak buku, sosok itu ada di sana — pura-pura mencari buku, tapi posisinya selalu menghadap ke meja Bulan. Bulan menutup laptopnya pelan. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena sadar ada sesuatu yang tidak normal.

Bulan mulai bertindak waspada. Ia mulai berjalan lebih cepat saat pindah kelas, Mulai mengecek cermin setiap keluar toilet,  Mulai menggenggam tali tasnya lebih erat. Hanya untuk memastikan pria itu tidak berada disana dan menatapnya. Tap[I tetap saja, pria itu selalu ada disana , selalu berada didekatnya.

**

Malam itu, kos-kosan terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu meja belajar menyala kekuningan, memantulkan cahaya lembut ke dinding yang penuh tempelan jadwal kuliah dan sticky notes warna pastel.

Bulan duduk di tepi ranjang, bahunya sedikit merosot ke depan. Tangan kirinya bertumpu di lutut, sementara tangan kanan—yang biasanya selalu sibuk— hanya menggenggam ujung selimut tipis.

Kakinya mengetuk lantai pelan, ritme tidak beraturan… sesuatu yang hampir tidak pernah ia lakukan. Biasanya Bulan punya kontrol penuh terhadap geraknya— tenang, rapi, efisien. Tapi malam itu… gerakannya gelisah.

Liora yang sedang berdiri di depan cermin, mencoba mengikat rambut bob-nya dengan karet kecil, langsung menoleh . Awalnya sekilas, lalu kedua kalinya lebih lama. Tatapannya berubah tajam namun lembut, fokus sepenuhnya pada sahabatnya itu.

Karena Liora mengenal Bulan terlalu baik. Dan Bulan yang duduk dengan bahu turun, kaki mengetuk lantai, dan tatapan yang tidak fokus… bukan Bulan yang ia kenal setiap hari.

“Bul…?” suara Liora pelan, hati-hati.

Bulan tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas pelan, bibirnya menegang seperti menahan sesuatu. Matanya tidak menatap Liora, tapi mengarah ke lantai— ke satu titik yang entah dia pikirkan apa.

Liora meletakkan karet rambutnya di meja, berbalik penuh menghadap Bulan. Langkahnya pelan, seolah takut membuat sahabatnya tersentak. Ia duduk di samping Bulan, cukup dekat hingga bahu mereka hampir bersentuhan. Dari dekat, ia bisa melihat jari Bulan yang bergetar halus—

getaran yang hanya muncul kalau Bulan sedang menahan sesuatu yang berat.

“…lo kenapa?” Liora bertanya dengan suara jauh lebih lembut dari biasanya. Tidak ada nada bercanda. Tidak ada dramatisasi. Hanya kekhawatiran murni.

**

tbc

1
Bia_
kasian si Arsen 🤣
Bia_
ow udah masuk konflik nih 🤭
KaosKaki
wk wk wk
Bia_
/Facepalm/🤣
Bia_
alurnya emang agak slow tapi Lumayan bagus, alur pdkt nya kaya di Real Life lambat tapi kena.
Bia_
suka banget pas adegan serangan hacker
Lacataya_: makasih yaaa, di bab bab selanjutnya juga ada serangan serangan manis kok 🤭
total 1 replies
Edna
Mantap!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
Khabib Firman Syah Roni
Jlebbbbb!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!