Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.
Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.
Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyembuhan dengan cara yang salah
Taeri baru saja tiba di mansion bersama Azey. Ia segera masuk ke kamar untuk mandi, tetapi tiba-tiba ponselnya berdering, menampilkan nama Tante Yura. Taeri pun mengangkatnya dan bertanya, “Halo, Tante. Kennapa menelepon Tae, apakah ada masalah?”
Dari seberang suara Tante yura terdengar khawatir, "Tae kamu tahu yuna pergi kemana
Sampai sekarang ia belum sampai dirumah"
Taeri terdiam sejenak, lalu teringat bahwa Yuna tidak masuk kuliah hari itu.
"Tante, maaf, Tae baru sampai rumah," kata Taeri dengan nada menyesal. "Yuna hari ini tidak masuk kuliah, Tante. Tae pikir dia sedang tidak enak badan, jadi Tae tidak menghubunginya."
Tante Yura terdengar khawatir di seberang sana. "Oh, begitu ya, Tae. Tante jadi cemas karena dia belum pulang dan tidak bisa dihubungi. Yasudah, terima kasih infonya ya, Tae. Tante coba hubungi teman-temannya yang lain."
"Iya, Tante. Maaf Tae tidak bisa membantu banyak," jawab Taeri. "Semoga Yuna baik-baik saja dan segera pulang."
Setelah menutup telepon, Taeri merasa tidak enak hati. Ia jadi khawatir dengan keadaan Yuna. Meskipun begitu, ia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum memikirkan hal lain. Azey sudah menunggunya di ruang makan.
Di sisi lain kota, Yuna membuka matanya perlahan, kepalanya terasa berat dan berdenyut. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya lampu. Kamar itu luas dan mewah, dengan perabotan antik yang elegan dan karpet tebal yang lembut di bawah kakinya. Ia bangkit dari tempat tidur berukuran besar dengan kain sutra yang halus, merasa bingung dan linglung.
"Aku di mana?" gumamnya pelan, suaranya serak. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali tempat itu, tetapi semua tampak asing baginya. Jantungnya mulai berdebar kencang, rasa takut dan cemas mulai menghantuinya. Ia tidak ingat bagaimana bisa sampai di tempat ini. Terakhir yang ia ingat adalah... ia menabrak sebuah mobil milik Pria Tampan yang sangat dingin.
Saat Yuna masih berusaha mencerna keadaannya, pintu kamar terbuka perlahan. Seorang pria dengan setelan jas mahal dan rambut yang disisir rapi masuk ke dalam. Pria itu tersenyum tipis padanya, tetapi Yuna merasa ada sesuatu yang aneh dari senyum itu.
"Kau sudah bangun?" tanya pria itu dengan suara yang tenang dan dalam. "Bagaimana perasaanmu?"
Yuna menatapnya dengan tatapan curiga. "Siapa kau?" tanyanya dengan nada sedikit gemetar. "Dan di mana aku? Kenapa aku bisa ada di sini?"
Pria itu mendekat, langkahnya anggun dan penuh percaya diri. "Tenanglah," ucapnya sambil mengulurkan tangan, tetapi Yuna mundur selangkah. "Aku Leonardo. Aku yang membawamu ke sini setelah kau... sedikit mengalami kecelakaan kecil."
"Kecelakaan?" Yuna mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu. "Aku... aku menabrak sebuah mobil. Mobil milik pria... pria yang sangat dingin."
Leonardo tersenyum tipis. "Mungkin itu aku," jawabnya. "Tapi yang terpenting sekarang adalah kau sudah aman di sini. Istirahatlah, aku akan memanggilkan dokter untuk memeriksamu."
"Tidak!" sergah Yuna. "Aku tidak percaya padamu. Kenapa kau membawaku ke sini? Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?"
Leonardo menghela napas pelan. "Aku hanya ingin membantumu," katanya dengan nada meyakinkan. "Kau terluka, dan aku tidak mungkin membiarkanmu begitu saja."
"Bohong!" bentak Yuna. "Aku tidak percaya sedikit pun padamu. Kau siapa sebenarnya? Kenapa kau membawaku ke tempat ini?"
Leonardo terdiam sejenak, menatap Yuna dengan tatapan yang sulit diartikan. "Itu adalah pertanyaan yang panjang," jawabnya akhirnya. "Dan aku tidak yakin kau siap untuk mendengarnya sekarang."
Yuna menatap Leonardo dengan tatapan menantang. "Aku tidak peduli seberapa panjangnya," ujarnya dengan nada tegas. "Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya dan kenapa aku ada di sini. Kalau kau tidak mau menjawab, setidaknya beritahu aku berapa harga mobilmu. Aku akan menggantinya."
Leonardo tertawa sinis. "Kau? Mengganti mobilku?" tanyanya dengan nada meremehkan. "Kau bahkan tidak tahu berapa harga mobil yang kau tabrak itu. Itu adalah mobil edisi terbatas, harganya setara dengan seluruh tabunganmu selama hidup."
Yuna mengepalkan tangannya, merasa marah dan terhina. "Jangan meremehkanku," balasnya dengan suara bergetar. "Aku memang tidak kaya, tapi aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengganti kerugianmu. Asal kau mau memberiku kesempatan."
Leonardo menyeringai, matanya menelisik Yuna dari atas sampai bawah. "Kau tahu," bisiknya dengan suara rendah dan serak, "ada cara lain untuk mengganti mobilku. Cara yang lebih... pribadi."
Yuna tersentak, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini. "Apa maksudmu?" tanyanya, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya.
"Aku menginginkanmu," jawab Leonardo tanpa basa-basi. "Gantikan harga mobil itu dengan tubuhmu. Jadilah milikku, dan kita impas."
Yuna terkejut, tapi entah kenapa ia tidak merasa jijik seperti yang seharusnya. Kata-kata Leonardo justru membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Ia teringat pada Marcelo, pria yang selama ini ia cintai, yang menolaknya mentah-mentah. Rasa sakit hati dan penolakan itu masih membekas di hatinya.
"Kenapa?" tanya Yuna lirih, suaranya nyaris tak terdengar. "Kenapa kau menginginkanku?"
Leonardo mengangkat bahunya. "Mungkin karena kau menarik," jawabnya. "Mungkin karena aku bosan. Atau mungkin karena aku hanya ingin melihat sejauh mana kau bersedia pergi untuk membayar hutangmu."
Yuna terdiam, menimbang-nimbang tawaran Leonardo. Ini gila, ia tahu itu. Tapi di sisi lain, ia merasa tidak punya pilihan lain. Ia tidak punya uang, dan tidak mungkin meminta keluarganya, dan hatinya sedang hancur. Mungkin ini adalah kesempatan untuk memulai hidup baru, meskipun dengan cara yang salah.
"Baiklah," ucap Yuna akhirnya, suaranya bergetar namun mantap. "Aku terima tawaranmu."
Mendengar jawaban Yuna, Leonardo menyeringai puas. Tanpa menunggu lagi, ia menarik Yuna mendekat, merengkuh pinggangnya dengan erat. Yuna terkejut, tidak siap dengan gerakan tiba-tiba itu. Sebelum ia sempat bereaksi, bibir Leonardo sudah menempel di bibirnya.
Ciuman itu kasar dan menuntut, tanpa kelembutan atau keraguan. Leonardo menciumnya dengan rakus, seolah ingin menandai Yuna sebagai miliknya. Yuna terkejut dan kaku, tidak tahu harus berbuat apa. Ini adalah ciuman pertamanya, dan sama sekali tidak seperti yang ia bayangkan.
Ia tidak tahu bagaimana membalas ciuman itu, bagaimana menggerakkan bibirnya, atau bagaimana menikmati sentuhan Leonardo. Ia hanya berdiri terpaku, membiarkan Leonardo melakukan apa pun yang ia inginkan. Air mata mulai mengalir di pipinya, bukan karena sakit hati, tapi karena kebingungan dan ketidakberdayaan.
Leonardo melepaskan ciumannya, menatap Yuna dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kau belum berpengalaman," ujarnya dengan nada mengejek. "Tapi itu tidak masalah. Aku akan mengajarimu."
Yuna tersipu malu mendengar ejekan Leonardo. Pipinya memerah, dan ia menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan air matanya. "Kenapa kau tiba-tiba menciumku?" tanyanya dengan suara lirih, merasa marah dan bingung. "Aku kan belum siap."
Leonardo mengangkat dagu Yuna, memaksanya untuk menatap matanya. "Kau sudah setuju untuk menjadi milikku," ujarnya dengan nada tegas namun lembut. "Itu berarti aku berhak melakukan apa pun yang aku inginkan padamu."
Yuna memberanikan diri menatap Leonardo. "Tapi aku tidak bilang aku siap untuk melakukan itu sekarang," bantahnya. "Aku butuh waktu untuk beradaptasi."
Leonardo tersenyum tipis, lalu tiba-tiba mengangkat Yuna ke dalam gendongannya. Yuna terkejut dan refleks memeluk leher Leonardo. "Kau tidak perlu khawatir," bisik Leonardo di telinganya. "Aku tidak akan memaksamu melakukan apa pun yang tidak kau inginkan. Aku hanya ingin membuatmu nyaman."
Dengan langkah mantap, Leonardo membawa Yuna kembali ke ranjang. Ia membaringkan Yuna dengan lembut, lalu berbaring di sampingnya, menatapnya dengan tatapan yang intens.
Leonardo mengulurkan tangannya, menyentuh lembut gaun yang dikenakan Yuna. "Aku ingin melihatmu," bisiknya dengan suara serak. Perlahan, ia mulai membuka kancing gaun itu satu per satu.
Yuna menahan tangan Leonardo, merasa gugup dan tidak yakin. "Tunggu," ucapnya dengan suara bergetar. "Aku... aku tidak siap."
Leonardo menghentikan gerakannya, menatap Yuna dengan tatapan lembut dan meyakinkan. "Aku tahu ini berat bagimu," ujarnya. "Tapi percayalah padaku, aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin membuatmu merasa nyaman dan bahagia."
Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Yuna, mengelus pipinya dengan lembut. "Aku janji akan bersabar," lanjutnya. "Aku tidak akan melakukan apa pun yang tidak kau inginkan. Aku hanya ingin menikmati keindahanmu."
Yuna terdiam, menatap mata dingin Leonardo tapi Lebih tulus mengiginkan nya daripada Marcelo yang selalu mengabaikan. Ia merasa sedikit lebih tenang, meskipun rasa gugupnya masih ada. Akhirnya, ia mengangguk pelan, memberikan izin kepada Leonardo untuk melanjutkan apa yang sedang ia lakukan.
Dengan lembut, Leonardo melanjutkan membuka gaun Yuna. Kain itu meluncur perlahan, memperlihatkan kulitnya yang putih dan mulus. Leonardo mengamati setiap inci tubuh Yuna dengan tatapan penuh kekaguman.
"Kau sangat cantik," bisiknya dengan suara bergetar. "Tubuhmu indah, sempurna."
Yuna tersipu malu mendengar pujian itu. Ia tidak pernah merasa secantik ini sebelumnya. Marcelo, pria yang selama ini ia cintai, tidak pernah sekalipun memujinya. Ia selalu merasa tidak percaya diri dengan penampilannya, merasa tidak cukup baik untuk Marcelo.
Air mata mulai mengalir di pipi Yuna. Bukan karena sedih atau takut, tapi karena terharu. Ini adalah pertama kalinya ia mendapatkan pujian tulus dari seorang pria. Pujian yang membuatnya merasa dihargai dan diinginkan.
"Kenapa kau menangis?" tanya Leonardo dengan nada khawatir. Ia menghapus air mata Yuna dengan lembut.
"Aku... aku tidak tahu," jawab Yuna dengan suara tercekat. "Aku hanya merasa bahagia."
Leonardo tersenyum lembut, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Yuna. " bahagia,?" bisiknya. "kalau begitu nikmatilah malah kita."
Yuna terpaku menatap wajah Leonardo yang kini dipenuhi gairah. Matanya berkilat penuh hasrat, dan bibirnya sedikit terbuka, seolah menahan desahan. Tanpa sadar, Yuna memuji ketampanan pria di hadapannya.
"Kau... kau sangat tampan," bisiknya lirih, pipinya merona merah.
Leonardo tersenyum mendengar pujian itu. "Dan kau sangat cantik," balasnya. "Sekarang, rileks dan tenangkan tubuhmu."
Dengan lembut, Leonardo mulai mengecupi bibir Yuna, ciuman yang awalnya lembut itu semakin lama semakin dalam dan menuntut. Yuna membalas ciuman itu dengan ragu, namun perlahan mulai menikmati sentuhan Leonardo.
Ciuman itu kemudian turun ke leher Yuna, membuat Yuna menggeliat geli. Leonardo tidak berhenti di situ, ia terus mengecupi leher, perut, hingga paha Yuna dengan lembut dan penuh perhatian. Setiap sentuhannya membuat Yuna merinding dan jantungnya berdegup kencang. Ia merasa seperti terbakar oleh hasrat yang baru pertama kali ia rasakan.
Malam itu berlalu begitu cepat. Sentuhan Leonardo membangkitkan hasrat terpendam dalam diri Yuna, membuatnya lupa akan segala keraguan dan ketakutannya. Mereka bercinta dengan penuh gairah, saling memuaskan satu sama lain hingga larut malam.
Tanpa terasa, jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Tubuh Yuna terasa lelah namun puas. Ia memeluk Leonardo erat, merasa hangat dan nyaman dalam dekapannya.
Leonardo telah menyalurkan cairan cintanya ke rahim Yuna berulang kali. Yuna telah merelakan kemurniannya pada pria yang baru dikenalnya itu. Meskipun sedikit ragu, ia merasa ada sesuatu yang istimewa dalam diri Leonardo, sesuatu yang membuatnya yakin telah membuat keputusan yang tepat.
Leonardo membelai pipi Yuna dengan lembut, senyum hangat terukir di bibirnya. "Kau lelah?" bisiknya.
Yuna mengangguk pelan, lalu menyandarkan kepalanya di dada Leonardo. Tiba-tiba, ponselnya berdering, menampilkan nama 'Mama' di layarnya. Yuna tersentak kaget. Ia baru ingat belum menghubungi mamanya seharian ini.
"Astaga!" serunya panik, langsung meraih ponselnya. Ia melihat notifikasi panggilan tak terjawab dari mamanya. Empat puluh delapan panggilan! Yuna merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa ia lupa mengabari mamanya?
"Maaf, aku harus mengangkat ini," ucapnya pada Leonardo dengan nada menyesal.
Leonardo mengangguk mengerti. Yuna menjauh sedikit dari Leonardo, lalu mengangkat telepon dari mamanya.
"Halo, Ma..." sapa Yuna dengan suara bergetar.
"Yuna! Kamu ke mana saja?!" suara Mama Yuna terdengar khawatir dan marah di seberang sana. "Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat! Kamu baik-baik saja kan? Kamu di mana sekarang?"
Yuna menelan ludah, merasa bersalah karena telah membuat mamanya khawatir. "Maaf, Ma," jawabnya dengan suara lirih. "Yuna baik-baik saja kok. Yuna lagi di rumah teman, lagi ngerjain tugas kelompok."
"Rumah teman siapa? Kenapa nggak ngabarin Mama?" cecar Mama Yuna. "Mama khawatir banget tahu nggak?! Ini sudah jam berapa, kenapa belum pulang?"
Yuna semakin merasa bersalah. Ia tahu mamanya sangat menyayanginya dan selalu khawatir tentang dirinya. "Maaf, Ma, maaf banget," ucapnya berulang-ulang. "Tadi Yuna ketiduran di rumah teman, terus lupa ngabarin Mama. Yuna janji nggak akan diulangin lagi."
"Ya sudah, lain kali jangan begitu lagi!" kata Mama Yuna dengan nada melembut. "Sekarang kamu di mana? Mama jemput ya?"
Yuna panik mendengar tawaran mamanya. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya, bahwa ia sedang berada di kamar mewah bersama seorang pria yang baru dikenalnya. "Nggak usah, Ma," tolaknya cepat. "Yuna mau nginep di sini aja, sekalian nyelesaiin tugasnya. Besok pagi Yuna langsung pulang kok."
Terdengar helaan napas panjang dari seberang telepon. Yura tahu putrinya sedang berbohong, tapi ia memilih untuk tidak memperpanjang masalah. Hatinya tetap merasa khawatir, namun ia percaya Yuna bisa menjaga dirinya sendiri.
"Baiklah, kalau begitu," ucap Yura akhirnya. "Tapi ingat, besok pagi kamu harus langsung pulang. Jangan lupa kabari Mama kalau sudah sampai rumah."
"Iya, Ma," jawab Yuna dengan nada lega. "Yuna janji."
"Ya sudah, Mama tutup teleponnya ya," kata Yura. "Jaga diri baik-baik. Mama sayang kamu."
"Yuna juga sayang Mama," balas Yuna tulus.
Setelah mengucapkan salam perpisahan, Yuna menutup teleponnya. Ia menghela napas panjang, merasa bersalah dan lega pada saat yang bersamaan. Ia tahu ia telah berbohong pada mamanya, tapi ia tidak punya pilihan lain. Ia tidak mungkin menceritakan kejadian sebenarnya.