“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”
“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”
“Sialan lo, Sas!”
•••
Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.
Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.
Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Si Dominan R. Adipati Hardjesoemarto
Percakapan ketiga pria itu benar-benar menciptakan atmosfer yang mencekam. Eyang Kakung, dengan kekerasan hatinya yang diwariskan kepada cucu keduanya, tidak mau kalah dalam berbicara. Namun, Adipati, cucu yang dikenal keras kepala, tetap merasa tidak pantas meninggikan nada bicara di hadapan sang tetua. Meskipun demikian, Hardjosoemarto yang satu ini jelas-jelas tidak suka dipaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya. Setiap kali dibantah, terutama dengan cara yang kasar, Eyang Kakung tak segan melayangkan tamparan, hukuman fisik yang seolah menjadi bentuk kontrol atas cucunya.
"Fuck!" umpat Adipati dalam hati, merasa muak dengan situasi itu, namun dia tahu bahwa menahan emosinya adalah satu-satunya pilihan yang bijak. Terlebih lagi, di hadapannya ada seorang pria tua yang dihormatinya, meskipun dia enggan tunduk begitu saja. Adipati tidak segila itu berani memukul tetua, tapi perdebatan ini benar-benar menguji batas kesabarannya.
Sastra yang menyadari ketegangan memuncak, mencoba mengambil alih situasi sebelum amarah meledak. "Alangkah lebih baiknya jika Adipati diberi waktu, Eyang," ucapnya dengan nada lebih tenang, menengahi dua pihak yang berseteru. "Tidak baik jika terus seperti ini. Saya nanti akan bantu berbicara dengan adik saya. Dia hanya sedang kalut setelah kehilangan istrinya."
Peran Sastra sebagai penengah jelas dibutuhkan di sini. Dua pria yang sama-sama keras kepala itu membutuhkan seseorang yang mampu meredam emosi, dan Sastra-lah yang diharapkan bisa menjembatani mereka.
"Eyang percayakan si keras ini padamu, Sastra. Kalian boleh keluar," ujar Eyang Kakung dengan nada tegas, namun ada kepercayaan yang tersirat di dalamnya.
Sastra mengangguk hormat, lalu menoleh ke arah Adipati yang masih tampak menahan emosi. "Ayo, Adi," katanya, memberikan isyarat halus agar adiknya ikut keluar dari ruangan itu.
Adipati mengikuti langkah Sastra. Dia tahu, berhadapan dengan Eyang Kakung lebih lama hanya akan memperburuk keadaan, dan untuk saat ini, yang terbaik adalah menuruti permintaan Sastra.
Begitu mereka berada di balkon, Sastra menepuk bahu Adipati dengan lembut. "Sudahlah, Adi. Lo tahu Eyang hanya ingin yang terbaik, meski caranya memang sering...keras."
Adipati menghela napas berat, lalu menjawab pelan, "Gue gak bisa dibeginikan, Mas. Gue cuma butuh waktu, tapi kenapa semua orang gak bisa paham itu?"
"Mas paham, tapi redakan lah emosimu jika berbicara dengan Eyang Kakung, gak baik Adi."
"Gak bisa, Mas. Nanti dia semaunya. Gue gak mau masuk politik, kenapa gak pilih lo aja?" Adipati membalas dengan nada tajam, sorot matanya menunjukkan rasa muak. "Gue gak cocok kerja sama para tikus di pemerintahan."
Sastra menghela napas, mencoba meredam ketegangan. "Adi, gue udah ada bagian sendiri untuk ngurusin perusahaan keluarga. Itu udah tanggung jawab gue. Lo yang paling tepat untuk urusan politik, Eyang yang ingin lo masuk karena tahu lo dulu pernah berkeinginan masuk politik. Lo paham seluk-beluknya, lo punya kharisma buat bikin perubahan."
Adipati menatap Sastra dengan mata menyipit, tampak kesal. "Dulu, Mas. Dulu gue memang mikir politik bisa jadi alat buat perubahan. Tapi sekarang? Setelah semua yang gue lihat, itu cuma tempat buat orang-orang serakah. Lo gak ngerti, Mas. Mereka cuma peduli sama kekuasaan, gak ada ruang buat idealisme."
Sastra menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara lagi. "Adi, gue tahu lo kecewa. Tapi ini bukan soal idealisme lagi. Eyang percayakan ini ke lo bukan karena kepingin jaga nama keluarga, tapi juga karena dia tahu lo punya potensi buat bikin hal-hal lebih baik. Eyang gak akan sembarangan minta lo terlibat kalau dia gak yakin."
Adipati terdiam sejenak, rahangnya mengeras. "Gue gak peduli Eyang yakin atau gak, Mas. Gue gak bakal masuk ke dunia yang udah jelas-jelas rusak. Gue gak akan jual diri gue ke sistem yang kayak gitu."
"Your wife wants the same thing too." (Istri lo juga menginginkan hal yang sama).
"Lo marah karena Papanya yang menyebabkan putrinya sendiri berada dalam bahaya. Sebelum Zahira pergi lo berambisi masuk politik, masuk pemerintah. Jadi kenapa lo harus mundur?"
Adipati terdiam, ekspresinya berubah seketika saat mendengar nama Zahira disebut. Tatapan tajamnya yang penuh kemarahan perlahan melembut, berganti dengan kilasan luka yang dalam.
“Jangan bawa-bawa Zahira dalam hal ini, Mas,” ucapnya pelan namun penuh ketegasan, meski suara itu terdengar bergetar.
Sastra menghela napas panjang. "Gue gak bermaksud nyakitin lo, Adi. Tapi ini fakta. Sebelum Zahira pergi, lo sendiri yang ingin masuk politik untuk merubah sistem dari dalam. Dan lo marah, sangat marah, karena Papanya yang korup itu terlibat dalam skandal yang berujung bikin hidup kalian dalam bahaya."
Adipati mengepalkan tangannya, berusaha keras menahan amarah yang kembali berkobar. “Gue gak akan pernah maafin dia, Mas. Gak akan. Dia yang bawa Zahira dalam bahaya. Dia yang bikin gue kehilangan orang yang paling gue cintai.”
Sastra menatap adiknya dalam diam, memahami luka mendalam yang dirasakan Adipati. “Gue tahu itu, Adi. Tapi sekarang lo punya kesempatan untuk melakukan sesuatu. Bukan buat Eyang, bukan buat gue. Tapi buat Zahira. Biar lo bisa nerusin apa yang dulu lo dan dia rencanakan.”
Adipati memalingkan wajah, berusaha menghindari tatapan Sastra. Sesaat dia tak mampu berkata apa-apa, terperangkap antara kemarahan dan kesedihan yang masih belum pudar.
Ditengah perbincangan itu mata Adipati tertuju pada seorang perempuan yang tengah berbincang bersama adik mereka, Caraka dan Kahiyang.
"Itu istri lo Mas?"
Sastra mengikuti arah pandang Adipati, melihat Maha yang tengah berbincang santai dengan Caraka dan Kahiyang di taman. Senyum Maha yang ceria dan lepas tampak kontras dengan suasana tegang yang selalu terjadi diantara mereka.
"Iya," jawab Sastra pelan, menyadari bahwa topik pembicaraan bisa beralih dengan cepat. "Kenapa?"
Adipati menatap Maha dengan tatapan yang sulit diartikan, lalu beralih ke Sastra. "Gue cuma heran, Mas. Bisa-bisanya lo nikahin remaja kaya gitu, jauh banget bahkan dari Danisa."
Sastra menghela napas, menyadari arah percakapan yang mulai menyentuh wilayah pribadinya. "Jangan mengalihkan pembicaraan, intinya gue gak bermaksud nekan lo. Tapi lo harus pikirkan baik-baik."
Adipati mendengus pelan, "persetan sama semua itu Mas!"
•••
"Mas Sastra datang tuh, Mbak," ucap Kahiyang memberi tahu Maha dengan nada ringan.
Maha yang tengah berbincang dengan Caraka segera menoleh, pandangannya langsung menangkap sosok Sastra yang mendekat bersama Adipati.
"Lo udah selesai?" Maha bertanya sambil melangkah ke arah Sastra.
Sastra mengangguk ringan. "Iya, udah. Gimana sudah diajak adik-adik saya room tour?"
Maha mengangguk, lalu memandangi Adipati sejenak, tapi tidak mengatakan apa-apa. Sastra memperhatikan interaksi singkat itu sebelum akhirnya memperkenalkan.
"Ini adik pertama saya, namanya Adipati," ujar Sastra dengan nada tenang.
Adipati mengangguk singkat ke arah Maha, namun tatapannya tetap dingin. "Senang bertemu dengan istri kakak saya," ucapnya, meski nadanya terdengar datar.
Maha tersenyum tipis, entah mengapa aura putra kedua Hardjosoemarto ini tampak berbeda, lebih mengintimidasi. "Senang bertemu denganmu juga, Mas Adipati," jawabnya, suaranya terdengar halus namun hati-hati. Meskipun berusaha bersikap ramah, kehadiran Adipati benar-benar membuat Maha serasa tengah dinilai dari ujung kaki sampai kepalanya.
"Ganteng sih tapi ggeselin banget nih orang tatapannya!" Celetuk Maha membatin.
•••
"Yang tadi itu, adik lo yang pertama, gue gak suka cara dia natap gue, Sas!" begitu sampai di kamar, Maha langsung mengutarakan ketidaknyamanannya pada Sastra. Tatapan Adipati tadi benar-benar membuatnya merasa dinilai dan direndahkan.
Sastra tersenyum tipis, sudah menduga reaksi Maha. "Adipati emang begitu orangnya. Dia gak bermaksud jahat, tapi memang caranya sering bikin orang salah paham."
Maha mendengus kesal, tangannya melipat di dada. "Gue tahu, tapi tetep aja. Cara dia mandang gue kayak... gue gak pantas di sini. Apa gue kelihatan sebegitu rendahnya di mata dia?"
Sastra mendekat duduk disebelah Maha, ia tersenyum tipis. "Kamu gak salah apa-apa. Adik saya memang begitu, jadi jangan terlalu diambil hati, ya."
Maha menoleh, menatap Sastra dengan mata yang masih menunjukkan sedikit kekesalan. "Lo serius gak bakal marah kalau gue sebel sama adik lo?"
Sastra tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. "Saya gak bakal marah. Saya ngerti kok, Adipati emang bisa bikin orang merasa gak nyaman."
Maha terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk kecil. Meskipun begitu ia jadi tahu bahwa ada keluarga Hardjo yang sifatnya seperti itu, sepertinya Adipati mirip seperti dirinya yang suka sekali tak mengikuti aturan. Contohnya tadi saat diruang makan, disaat hampir semua anggota keluarga berkumpul hanya Adipati yang tidak muncul bahkan Eyang Kakung sempat kesal karena cucu keduanya itu sering sekali mengabaikan tradisi keluarga, bila tak ditenangkan Eyang Ti, tidak tahu apa jadinya diruang makan itu.
Maha mengingat bagaimana wajah Eyang Kakung mengeras saat menyadari kursi kosong di sisi kanan meja. Meskipun tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun tentang ketidakhadiran Adipati, suasana di ruang makan menjadi sedikit tegang.
Bagi Eyang Kakung, aturan-aturan keluarga adalah bagian penting dari kehormatan dan tata krama yang harus dijaga, dan itu cukup membuat Maha tertampar dan sadar diri bahwa ia memang harus jadi bagian anggota keluarga yang seperti itu dan Maha sejujurnya tak suka bila benar ia harus terlibat dalam aturan yang keras dan patriarki.