Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.
Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.
Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
Pagi keempat setelah kejadian jemuran itu, Pondok Nurul Falah kembali dipenuhi aktivitas. Langkah para santri berlarian menuju kelas diniyah, suara lantunan ayat suci terdengar dari masjid, dan di dapur santri putri, aroma sayur bening bercampur dengan bau bawang goreng menguar ke seluruh halaman. Kehidupan pondok tampak normal, seakan tak ada yang aneh.
Namun di balik riuhnya rutinitas, bisikan-bisikan itu masih terus berputar. Gosip antara Dilara dan Gus Zizan memang tidak lagi seheboh dua hari lalu, tapi justru menjadi semakin berbahaya—karena ia mulai terdengar di telinga para ustadzah.
Ustadzah Salma, salah satu pengajar yang dikenal tegas, pagi itu memasuki kelas tafsir. Wajahnya datar, namun matanya sempat berhenti sejenak pada sosok Dilara yang duduk di deretan tengah. Tatapan itu singkat, tapi cukup membuat jantung Dilara berdegup tak karuan.
Dilara buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk membuka kitabnya. Namun di dalam hati, ia gelisah. Apakah ustadzah sudah dengar gosip itu? Apakah beliau percaya?
Wulan, yang duduk di sampingnya, merasakan perubahan raut wajah sahabatnya. Ia menepuk tangan Dilara pelan, mencoba menyalurkan kekuatan.
Pelajaran berlangsung, tapi pikiran Dilara terus berputar. Setiap kali ustadzah menatap kelas, Dilara merasa seolah sorot mata itu hanya tertuju padanya. Ia menggigit bibir, menahan resah yang kian menyesakkan dada.
Selesai kelas, ketika santri-santri mulai keluar, Ustadzah Salma memanggil beberapa nama. Dan di antara nama itu, ada satu yang membuat kaki Dilara terasa lemas.
“Dilara, sebentar…”
Wulan ikut terkejut. Ia menatap Dilara, seolah ingin berkata kuatlah.
Dengan langkah berat, Dilara maju ke depan.
“Ya, Ustadzah?” suaranya lirih.
Ustadzah Salma menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak. “Kamu baik-baik saja?”
Pertanyaan sederhana itu justru membuat dada Dilara semakin sesak. “Alhamdulillah, baik, Ustadzah.”
Ustadzah Salma menimbang-nimbang, lalu tersenyum tipis. “Kalau ada apa-apa, jangan simpan sendiri. Ingat, menjaga nama baik pondok itu tanggung jawab kita bersama.”
Hanya itu. Tidak ada teguran, tidak ada marah. Tapi kata-kata itu cukup menusuk hati Dilara. Seolah memberi peringatan halus bahwa gosip sudah sampai ke telinga pengajar.
Sementara itu, Gus Zizan juga menjalani hari dengan pikiran yang tak kalah berat. Setelah mendapat nasihat dari ayahnya, Kyai Zainal, hatinya memang sedikit tenang. Namun rasa itu tidak serta-merta padam. Justru semakin hari, semakin ia sadari bahwa dirinya tak mampu mengabaikannya.
Setiap kali ia melihat santri putri berjalan menuju kelas, bayangan Dilara selalu muncul. Setiap kali ia mengajar tafsir, suara lembut santri putri yang menjawab pertanyaan terasa mengingatkannya pada suara Dilara.
Ia berusaha keras melawan. Menundukkan pandangan, memperbanyak dzikir, hingga memperlama sujud dalam shalat malamnya. Namun tetap saja, rasa itu membayang seperti bayangan yang tak bisa diusir.
Malam itu, di kamar pribadinya, ia membuka mushaf. Tangannya bergetar ketika membaca ayat tentang hati yang condong, tentang fitnah yang bisa lahir dari sekadar pandangan.
“Ya Allah…” bisiknya lirih. “Kalau rasa ini salah, cabutlah dari hatiku. Tapi kalau Engkau menakdirkannya, tunjukkan jalan yang benar…”
Air matanya jatuh di atas mushaf, membuat tinta huruf sedikit buram.
Hari Jum’at, pondok mengadakan majelis rutin. Santri putra dan putri duduk berpisah, dengan tabir tipis membatasi. Suara kyai dan gus bergantian membacakan kitab, sementara para santri menyimak dengan khidmat.
Namun sore itu, sebuah ujian kecil terjadi.
Saat sesi tanya jawab, salah seorang santri putri bertanya tentang hukum fitnah dalam Islam. Pertanyaannya sederhana, tapi di tengah gosip yang beredar, kata “fitnah” terasa menohok.
Gus Zizan, yang kebetulan menjadi pemateri, menatap kitabnya sebentar lalu menghela napas.
“Fitnah adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Ia bisa membakar amal kebaikan kita seperti api membakar kayu. Bahkan Nabi bersabda, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Karena ia merusak nama baik seseorang, tanpa bukti, tanpa alasan yang benar.”
Suasana hening. Semua santri menunduk, sebagian merenung.
Di balik tabir, Dilara menggenggam tangannya erat. Kata-kata itu menusuk hatinya, membuat air matanya hampir tumpah. Ia tahu, Gus Zizan tidak sedang menegurnya, tapi entah kenapa, setiap kata terasa seakan diarahkan padanya.
Beberapa santri putri saling pandang, sebagian tersenyum simpul, sebagian lain menunduk penuh arti. Gosip yang beredar seakan mendapat bahan baru untuk diperbincangkan.
Malam itu, selepas majelis, Dilara kembali ke asrama dengan hati yang campur aduk. Ia ingin tidur cepat, tapi matanya tak bisa terpejam. Ia menatap langit-langit asrama, lalu memejamkan mata sambil berdoa.
Ya Allah, lindungi aku dari fitnah. Jangan biarkan aku jadi sebab keretakan pondok ini. Tapi… kenapa hati ini terus bergetar setiap kali melihat beliau?
Air matanya mengalir deras, membasahi bantal.
Sementara itu, di ndalem, Gus Zizan duduk di serambi. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. Ia menatap gelapnya halaman pondok, lalu tanpa sadar bibirnya berucap lirih, “Dilara…”
Ia tersentak, segera beristighfar. “Astaghfirullah… aku tidak boleh hanyut.”
Namun semakin ia melawan, semakin jelas bayangan itu hadir.
Hari-hari berikutnya, gosip bukannya mereda, melainkan semakin membesar. Ada santri putri yang dengan sengaja menambahkan cerita palsu.
“Katanya, Gus Zizan sering sengaja lewat belakang asrama biar bisa ketemu Dilara…”
“Aku malah dengar, mereka pernah saling senyum-senyum di sumur.”
Semua hanya bumbu, tapi makin lama makin dipercaya. Dan fitnah itu mulai melukai lebih dalam.
Sampai akhirnya, Ustadzah Salma benar-benar memanggil Dilara secara khusus ke ruangannya.
“Dilara, ada gosip tentangmu dengan Gus Zizan. Apa benar?”
Pertanyaan itu seperti petir menyambar. Wajah Dilara pucat, air matanya langsung menetes. “Tidak, Ustadzah. Demi Allah, saya tidak pernah berniat seperti itu. Semua hanya kebetulan.”
Ustadzah Salma menatapnya lama, lalu menghela napas. “Saya percaya padamu, Lara. Tapi kamu harus lebih hati-hati. Di pondok ini, satu kejadian kecil bisa jadi bahan pembicaraan besar. Kamu santri teladan, jangan sampai namamu rusak hanya karena hal sepele. Dan kamu juga harus tau, kalau Gus Zizan itu cocoknya ya dengan ustadzah atau Ning yang sekelas dengannya, bukan dengan santri biasa seperti kamu!”
Dilara mengangguk sambil terisak. Ia keluar dari ruangan dengan hati semakin hancur.
Suatu sore, saat Dilara membantu ustadzah menata kitab di perpustakaan, ia tak sengaja bertemu dengan Gus Zizan yang datang mengambil kitab tafsir.
Keduanya terkejut.
Dilara buru-buru menunduk, tubuhnya gemetar. Gus Zizan juga kaku, hanya sempat mengucap salam lirih.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam, Gus…” jawab Dilara nyaris tak terdengar.
Ada jeda hening. Keduanya sama-sama ingin segera pergi, tapi langkah seakan tertahan. Hati berdegup kencang, sementara lidah kelu.
Akhirnya, Gus Zizan berkata pelan, “Maafkan aku… gara-gara aku, kamu jadi bahan gosip.”
Dilara terperanjat. Ia mendongak sekejap, lalu buru-buru menunduk lagi. “Bukan salah Gus… semua kebetulan. Saya yang seharusnya hati-hati.”
Suasana semakin canggung. Keduanya tak berani menatap lama, tapi justru diam itu membuat hati bergetar semakin kuat.
Sampai akhirnya, suara langkah ustadzah dari kejauhan membuat mereka tersadar. Gus Zizan segera berpamitan, dan Dilara kembali menunduk, pura-pura sibuk dengan kitab.
Namun selepas pertemuan singkat itu, malam mereka kembali penuh gelisah.
Malam itu, Gus Zizan shalat tahajud lebih lama dari biasanya. Dalam sujud panjang, ia menangis.
“Ya Allah, jika rasa ini akan merusak pondok, hapuslah. Tapi jika Engkau ridha, tunjukkan jalan yang halal. Aku tidak ingin hidup dalam fitnah…”
Di asrama, Dilara juga terjaga. Ia memeluk mushaf kecil, menangis dalam doa.
“Ya Allah, jangan biarkan aku jatuh cinta pada orang yang salah. Tapi kalau Engkau menakdirkan, tolong beri jalan yang benar…”
Keduanya berdoa di tempat berbeda, pada waktu yang sama, dengan kalimat yang hampir serupa. Namun mereka tidak tahu, doa itu sedang naik ke langit bersama-sama.
Hari berikutnya, Kyai Zainal memanggil Gus Zizan ke ruangannya. Wajah sang kyai teduh, namun sorot matanya tajam.
“Zizan, Abi dengar ada gosip tentangmu dan seorang santri putri. Apa benar?”
Jantung Gus Zizan hampir berhenti. Ia menunduk, tangannya gemetar. “Abi… demi Allah, tidak ada apa-apa. Hanya gosip, hanya kebetulan…”
Kyai Zainal terdiam lama. Lalu ia tersenyum lembut. “Abi percaya. Tapi ingat, gosip bisa jadi fitnah besar kalau tidak dijaga. Tugasmu sekarang bukan hanya menjaga dirimu, tapi juga menjaga nama santri itu.”
Kata-kata itu menusuk dalam. Untuk pertama kalinya, Gus Zizan sadar: bukan hanya dirinya yang terancam oleh gosip ini, tapi juga Dilara—yang bahkan lebih lemah posisinya.
Malam itu, ia memutuskan sesuatu.
Aku harus jaga dia. Bukan hanya dari diriku, tapi juga dari lidah orang-orang.