Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.
Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.
Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.
Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?
Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Agen khusus dari Aklux
Dengan setiap langkah yang kuambil di jalan berbatu dan gersang ini, ada perasaan nostalgia yang menyelimuti diriku. Setelah mengeksplorasi puing-puing klan Akaichi, kompas yang kupegang mengarahkan perjalanan ke utara, menuntun langkahku ke tempat yang pernah kujejaki sebelumnya.
Perasaan sedih dan kesepian menjadi teman selama perjalanan ini. Mungkin karena aku hanya seorang diri sekarang, menjalankan misi yang dulunya selalu bersama tim 2 Faks. Kenangan akan kapten yang selalu berbagi cerita-cerita pengalamannya dan semangat di setiap perjalanan kembali hadir di benak, meninggalkan kehangatan yang tidak bisa kurasakan lagi.
Sambil melangkahkan kaki dalam perjalanan ini, hatiku terenyuh oleh nostalgia yang membawaku kembali ke masa-masa penuh keceriaan bersama rekan-rekan seperjuangan. Setiap canda dan tawa mereka, meski teriakan penuh semangat mereka, mengundang senyum kecil di wajahku yang terlarut dalam ingatan sehingga tanpa sadar, langkahku telah membawa aku lebih jauh dari yang di duga. Sekarang, pemandangan di sekelilingku hanyalah deretan bukit-bukit berbatu yang kering.
Rasa ragu mulai menghampiri pikiranku, bertanya-tanya apakah aku telah memilih arah yang salah. Namun, berdasarkan ingatanku serta petunjuk yang diberikan oleh ratu, seharusnya inilah jalan yang tepat. Dengan tekad dan keyakinan, aku terus melangkah hingga cahaya fajar perlahan-lahan menyelimuti langit, membawa sinar baru yang mengantariku tiba di sebuah desa kecil yang terhampar di depanku. Desa itu tampak tenang dengan gemerisik dedaunan dan suara ayam jantan yang saling bersahutan, seolah menyambut kedatanganku di pagi yang baru ini.
Melihat bentuk rumah-rumah di desa tersebut mengingatkanku bahwa daerah itu dulu dihuni oleh penduduk Magolia. Namun, kini bahwa desa tersebut sudah dihuni oleh penduduk Varaya. Hal ini bisa dilihat dari ciri khas fisik para penduduknya, seperti warna rambut pirang mencolok dan mata hijau, yang menjadi salah satu ciri utama ras Varaya.
Tak mengherankan, sebab 46 tahun sebelum aku lahir, bahkan sebelum mendiang ibuku terlahir di dunia ini, wilayah ini sebenarnya adalah bagian dari cabang klan Akaichi dan masih merupakan bagian dari kawasan Magolia. Namun, semuanya berubah ketika Varaya berhasil mengalahkan Magolia dalam perang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah Magolia, yaitu perang sungai merah. Perang tersebut meninggalkan kesedihan yang mendalam, menelan korban jiwa lebih dari 100 ribu penduduk sipil serta 300 ribu tentara Magolia. Semuanya dibantai tanpa ada yang tersisa di tanah ini, dalam jangka waktu yang sangat singkat, hanya dua bulan saja tragedi memilukan itu terjadi.
Dengan penyamaran yang matang aku mudah memasuki desa tersebut. Melewati pos penjagaan bahkan mengobrol dengan beberapa tentara di sana. Desa ini hanya dijaga oleh 1 kompi pasukan saja. Jumlah yang sedikit untuk sebuah desa dekat perbatasan. Walau sedikit, mereka tetap tenang dan tak merasakan ancaman karena di perbatasan sana ada sebanyak 3 batalyon militer Varaya yang berjaga.
Di sini aku memanfaatkan pangkatku sebagai Finny untuk bertanya ke komandan kompi tentang unit 717 tapi justru mereka tidak tahu, bahkan mendengar nama tempatnya saja belum pernah.
Aku kembali bertanya ke kepala desa dan beberapa penduduk setempat tapi jawaban mereka sama. Seharian aku di desa itu karena ini tidak sesuai dengan perkataan ratu. Katanya unit 717 ada di utara bukit Lurv tapi di sini hanya ada desa kecil.
Sambil duduk termenung di kursi depan rumah salah seorang penduduk, aku memandang sekitar dengan pikiran yang melayang-layang. Setelah beberapa menit berlalu, tiba-tiba empat sosok misterius dengan jubah berwarna hitam menghampiriku. Kehadiran mereka menambah rasa penasaran dan sedikit rasa waspada dalam diriku terhadap maksud kedatangan mereka.
Kami saling bertatapan sampai salah satu dari mereka menunjukan surat yang ditandatangani oleh kepala intelejen Magolia. Ku ambil surat itu dan kubaca ulang untuk membuktikan keaslian surat.
Sewaktu mataku tertuju pada surat yang sedang kubaca, sebuah sensasi tajam tiba-tiba menyelinap di leherku, seolah ada sesuatu yang menusuk. Rasanya aneh dan mengejutkan, bagaimana bisa aku lengah hingga membiarkan diriku diserang secara tiba-tiba seperti ini. Jarum yang terasa di leherku tampaknya adalah jarum suntik yang sudah diberi obat bius, seolah ada niatan untuk melumpuhkanku.
Betul, sesaat setelah itu, tiba-tiba kepalaku terasa berputar dan mataku seperti tertutup beban yang berat, membuat sulit untuk memandang dengan jelas. Bahkan bibirku pun terasa kaku, hampir tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dalam keadaan sempoyongan, aku berusaha melangkah mundur menjauhi orang-orang itu, namun pandanganku mulai kabur dan segala sesuatu di sekitarku berubah menjadi gelap.
***
Saat aku terkesiap dan perlahan membuka mata, kulihat diriku sudah terbaring di sebuah rumah kayu yang asing. Dengan pandangan yang masih kabur dan kepala yang terasa berat, kucoba mengumpulkan tenaga untuk bangkit dari tempat tidur yang empuk namun asing ini.
Sebenarnya di mana ini?
Aku berusaha keras mengingat kejadian sebelumnya, tapi yang kutahu hanya momen ketika jarum suntik obat bius menyentuh kulitku. Mataku terpaku pada ruang sekitar, mengamati setiap sudut kamar ini dengan seksama. Ketika menoleh ke arah kiri, pandanganku bertumbukan dengan selang infus yang perlahan meneteskan cairan bening ke dalam pembuluh darahku melalui jarum yang menancap di tanganku.
Selain itu aku juga melihat senjata serta rambut palsuku tergeletak di atas meja. Apa penyamaranku sudah diketahui? Tapi mengapa justru aku ditempatkan di sini bukan di penjara besi?
Tak lama kemudian, mataku langsung tertuju pada sosok yang tak asing di dekat pintu. Wanita cantik itu memiliki pesona yang memikat dengan mata hijau yang berkilau seperti zamrud dan rambut pirang panjang yang tergerai anggun di bahunya. Dia berdiri di sana, seolah-olah sedang merangkai keindahan dalam setiap gerakannya, sambil membawa mangkuk dan cangkir di atas nampan kayu, memberikan sentuhan elegan pada penampilannya.
Wanita itu menyapaku dengan lembut, " Selamat pagi, apakah lebih baik jika aku memanggilmu Kapten Yoha atau dengan panggilan Sersan Yoha? " Suaranya begitu lembut, seolah-olah diwarnai dengan kemanisan yang mengingatkanku pada sosok Lena.
" Apa kau Flerina? " Tanyaku.
Dia duduk dan menaruh nampan di atas meja. " Ya, aku Flerina. Maafkan atas tindakan rekan-rekanku sebelumnya. Kami terpaksa membiusmu demi menjaga kerahasiaan misi. "
Saat ini, apa yang ada dalam pikiranku akhirnya mulai terungkap dengan jelas. Aku juga dapat memahami tindakan mereka, mengingat bahwa unit 717 adalah lokasi yang sangat rahasia, sehingga ada kekhawatiran bahwa banyak intelijen dari kerajaan lain yang mungkin mengincar tempat ini demi mendapatkan rencana pembuatan senjata pemusnah massal tersebut.
" Tak apa, aku paham situasinya. Tapi kanapa aku di infus? "
" Perjalanan ke sini butuh waktu tiga hari penuh dengan kereta api. Karena itu kami harus membuatmu tidur selama itu juga dan demi memenuhi nutrisimu, kami menginfusmu sampai bangun. " Jelas Flerina.
Dia kemudian meraih mangkuk yang tengah mengeluarkan uap putih, setiap embusan membawa keharuman yang menggoda indera penciuman. Aroma lezat yang menguar seakan memanggil untuk segera menyantap hidangan lezat di dalam mangkuk tersebut, membuat perutku benar-benar bergemuruh, tak sabar ingin menikmati setiap gigitan yang pasti menggugah selera.
Seolah mengetahui isi pikiranku, Flerina menyodorkan sendok yang sudah terisi beberapa sayuran. " Makanlah sup ini. Kau pasti laparkan? "
" Aku bisa makan sendiri, "
" Sudah jangan banyak bicara... " Flerina menyodorkan sendok ke dekat mulutku. Terpaksa aku membiarkan mulut ini disuapi olehnya.
Sup ini memiliki rasa yang begitu lezat, membuatku benar-benar terkesan. Bahkan dibandingkan dengan sup yang biasa dibuat oleh bibi, ini jauh lebih enak. Karena begitu terpesona dengan rasanya, aku makan dengan sangat bersemangat hingga tak sengaja tersedak. Kejadian lucu ini membuat Flerina yang duduk di sebelahku tak bisa menahan tawa kecilnya sambil mengamati tingkahku yang ceroboh.
"Pelan-pelan kalau makan," ujarnya dengan lembut sembari menyelesaikan menyuapiku dengan penuh perhatian. Setelah itu, ia menyodorkan secangkir teh hangat yang menenangkan dan kemudian kembali duduk di kursi.
Dia tidak berhenti menatapku dengan tatapan yang dalam sambil menopangkan kedua tangannya di dagu, seolah mencoba menangkap setiap detail dari ekspresiku. Senyumnya yang lebar dan tulus membuat wajahku bersemu merah, dan tiba-tiba aku merasa canggung sekaligus salah tingkah, seperti ada kupu-kupu yang berdesir di dalam perutku.
" Ke-kenapa menatapku begitu? " Tanyaku membuang muka dari Flerina.
Kudengar suara tawa kecil wanita itu sekali lagi, menggema lembut di sekeliling ruangan. Dengan penasaran, aku menoleh dan melihatnya sudah berdiri membelakangiku.
" Wajahmu lebih tampan kalau dilihat dari dekat begini. "
Kalimat itu terlontar dengan nada yang seolah menggoda, membuatku merasa sedikit tersipu dan tersenyum tanpa sadar. Suasana di antara kami tiba-tiba menjadi hangat, dibalut dengan candaan ringan yang menyenangkan.
" Maksudmu? "
" Aku pernah melihatmu sekali saat unitmu sedang mengisi ulang logistik dulu. "
" Sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu. Tapi kupersingkat saja, tolong ceritakan tentang dirimu dan misi kita. " Sela ku.
Ya, aku harus tau lebih jauh tentang wanita ini mengingat kami akan menjalankan misi bersama dan dalam kurun waktu cukup lama. Tanpa bertele-tele Flerina menceritakan semuanya padaku sambil memandangi deraian air hujan dari jendela kamar.
Cuaca di tempat ini juga sangat dingin hampir sama seperti di Magolia. Suasana yang nyaman, tenang, dan hening membuat otakku mudah mencerna cerita Flerina.
Tetapi kurasakan kebingungan dalam hati. Aku ingin benar-benar memahami cerita yang sedang Flerina ucapkan. Namun, wajahnya yang cantik memancarkan keanggunan yang memikat, dan mata hijau yang dalam menarik perhatianku. Setiap kali bibirnya bergerak, suara lembut mengalun seperti melodi yang mempesona.
Sial, mataku terpesona oleh keanggunannya yang memukau. Setiap kali dia berbicara, seakan ada kehangatan serta aura positif yang melingkupi suasana, membuat hatiku terombang-ambing dalam kebingungan yang tak pernah kusangka. Rasanya sulit sekali mengabaikan daya tarik yang ia pancarkan, yang seolah menghipnotisku tanpa henti.
" Hey kau dengar? " Flerina mendadak melambai tangan di depan mataku. " Haloo... kau dengar ceritaku? "
" Ah... iya aku dengar kog. " Kejutku, tanpa sadar aku melamun dari tadi.
Dengan wajah ragunya, Flerina memandangku, " Dari tadi kuperhatikan kau melamun melihatku. Apa aku lebih mempesona ketimbang gadis berambut ungu itu? "
Aku dibuat tak berkutik oleh pertanyaan Flerina. Bagaimana dia bisa tau tentang Lena?
" Agen sepertimu mengerikan juga ya ternyata. " Cetusku membalas senyum tipisnya.
Dia justru menatap tenang diriku lalu menjawab, " Sebenarnya banyak yang ingin kutanyakan padamu. Tapi mungkin kapan-kapan saja. Sekarang istirahatlah lagi. Kita akan ke lokasi setelah hujan reda. "
" Ini bukan tempatnya? " Tanyaku sedikit kaget karena kukira sejak tadi sudah di unit 717.
Raut wajah Flerina mulai serius lalu beranjak dari kursi sembari merapikan baju. " 717 hanya kode dari intelejen kami saja bukan nama asli lokasinya. Lagipula Tempat kita nanti lebih indah dari neraka ini "
Pantas saja saat di desa terpencil itu mereka tidak tahu tentang unit 717. Tapi sekarang aku penasaran dengan maksud neraka yang dikatakannya.
" Neraka? " Tanyaku penuh rasa penasaran.
" Kau akan menyadarinya setelah keluar dari sini. " Jawab gadis itu dengan nampan dikedua tanganya. " Saat keluar usahakan jaga sikap dan tahan dirimu. Finny adalah orang yang tenang dan tegas. Jadilah orang seperti itu demi misi kita. "
Aku tidak tau apa maksud Flerina tapi jika itu terkait misi maka aku akan melakukanya.
Ngomong-ngomong dari yang dia beritahukan padaku, aku membuat kesimpulan sendiri karena tidak terlalu fokus mendengar. Dari ceritanya, dia adalah agen khusus yang memang sudah bertugas di sini selama 5 tahun. Usianya juga 2 tahun lebih tua dariku.
Sebagai agen khusus, kupikir dia menggunakan rambut palsu dan menjadi warga Varaya. Hebatnya dia mendapat akses pendidikan di ibukota dan secara kebetulan bertemu dengan Finny seorang perwira militer yang baru saja pulang dari garis depan di front timur.
Karena perintah atasan, Flerina mendapat misi untuk menarik hati Finny dan menikah dengannya agar dia mendapat akses lebih ke situs-situs penelitian Varaya.
Berkat kepintaran dan rayuan Flerina terhadap Finny dia bisa menjadi salah satu ilmuwan Varaya dan ikut mengembangkan beberapa penemuan sebelum akhirnya berkat relasi dari Finny yang luas, Flerina berhasil masuk menjadi anggota khusus yang menangani senjata pemusnah massal. Dan dia adalah satu-satunya orang luar yang berhasil masuk ke tempat paling rahasia ini.
Itu saja yang dapat kutangkap dari kisah Flerina. Aku kagum pada gadis itu walau masih muda sangat berani dan luar biasa dalam menjalankan misi. Tidak bisa kubayangkan bagaimana jadinya jika sampai dia tertangkap oleh tentara Varaya.
Agar itu tidak terjadi maka disinilah tugasku sekarang yaitu melindungi Flerina sampai pendaftaran sebagai pengawal orang yang menciptakan senjata yang mengancam umat manusia. Sekarang baru awal musim semi, dari yang kulihat mungkin oktober nanti pendaftaranya dibuka.
Walau Flerina menyuruhku tidur lagi, mataku sudah tidak merasakan kantuk. Sepanjang hari aku hanya terbaring di ranjang dengan selimut hangat sambil memandangi rintikan hujan dari jendela.
Hujan yang perlahan mulai reda memunculkan suara-suara aneh ditelingaku. Meski lirih, aku seperti mendengar suara orang berteriak dan orang yang sedang marah-marah. Apa mungkin traumaku kambuh lagi atau dari rumah di samping sana.
Tak lama Flerina yang memakai jubah panjang khas Varaya datang ke kamar sambil membawa koper hitam.
" Waktunya berangkat. Aku sudah menyewa kereta kuda. " Ucap gadis itu sembari melepas infus di tanganku.
Aku bangun dan bersiap-siap dengan memakai atribut militer Varaya tidak lupa dengan rambut palsu dan lensa kontak berwarna hijau untuk menutupi warna mata.
Ketika kakiku melangkah keluar, seketika aku mematung dan terbelalak menyaksikan apa yang ada di luar. Kulihat jelas bagaimana orang-orang berkulit putih berambut coklat dan bermata besar disiksa dimana-mana. Ada yang dipukuli, ditendang, dicambuk, dianiaya dengan benda tumpul bahkan yang wanita disetubuhi di tempat umum.
" Kuatkan dirimu. Inilah mengapa aku bilang neraka. " Desis Flerina yang akhirnya kupahami apa maksud dia mengatakan itu sebelumnya.
Dengan tangan gemetar ku lewati kumpulan orang-orang yang disiksa. Tapi semua belum berakhir, kulihat lagi hampir setiap rumah penduduk Varaya di sini ada orang-orang itu. Mereka ditelanjangi dan diikat di teras rumah seperti seekor anjing.
Kejam dan biadab. Dalam hati aku terus mengutuk perlakuan bangsa Varaya ini. Mereka benar-benar tidak memiliki hati nurani dan memperlakukan sesama manusia layaknya hewan yang tak bernilai nyawanya.
Di sisi lain ada juga diantara mereka dipekerjakan di kebun atau dijadikan pengembala. Ada yang menjadi pembawa barang dan ada yang jadi kusir kereta kuda. Tetapi tetap saja perlakuan yang mereka dapatkan serendah binatang.
Sebenarnya siapa mereka?
Mengapa ada banyak sekali dari mereka di sini dan diperlakukan seperti demikian?
Setiap langkahku menuju kereta kuda diiringi rintihan dan pekikan mereka yang disiksa atau mereka yang diperkosa. Tetapi ada pemandangan yang sedikit membuatku bingung di mana ada beberapa orang Varaya mati di tiang gantungan. Saat memasuki kereta kuda, Flerina hanya terdiam dengan mata terpejam. Ekspresi wajahnya jelas memberitahu bahwa dia tidak sanggup melihat pemandangan ini.
" Ini baru permulaan. Lebih baik tutup matamu setelah keluar dari kota ini, " Ujarnya ketika aku mulai duduk.
Aku tidak tau apa maksudnya tapi itu justru membuat rasa penasaranku menggebu. Tak kulepaskan pemandanganku dari jendela kereta kuda. Dan saat kereta mulai keluar dari kota, sekali lagi aku dipertontonkan oleh adegan yang membuatku mual sekaligus merinding.
Bagaimana tidak, aku melihat disepanjang jalan banyak orang berhubungan intim bagaikan hewan. Selain itu, mereka memperkosa ramai-ramai banyak wanita berambut coklat. Tak sampai disitu, banyak sekali adegan-adegan mengerikan yang menyimpang dari norma dan prilaku manusia. Wanita-wanita itu benar-benar layaknya mainan yang digunakan untuk memuaskan nafsu-nafsu menjijikan para penduduk Varaya di sini.
Dan yang aneh walau diperlakukan semengerikan itu, mereka pasrah dan diam bahkan beberapa ada yang mendesah menikmati. Ini tidak masuk akal sama sekali.
" Sudah kubilang untuk tutup mata bukan? " Sekali lagi gadis yang duduk di hadapanku ini memperingati.
Dengan santai aku menyandarkan bahu dan memalingkan mata dari jendela. " Mengapa mereka seperti menikmati perlakuan menjijikan itu? "
Flerina kemudian melirik jendela sejenak sebelum akhirnya memejamkan mata lagi, " Mereka dicekoki narkotika dan obat perangsang. Mau diperkosa atau bahkan dibunuh sekalipun, mereka tidak akan merasakan sakit. "
" Sebenarnya siapa mereka? " Tanyaku lagi karena saking penasaran. Aku memang sering melihat perlakuan biadab tentara Varaya saat bertugas dulu tetapi tidak menjijikan begini.
" Bangsa Areiden. " Jawab Flerina.
" Areiden? "
" Sepuluh tahun yang lalu, wilayah ini berada di bawah kekuasaan sebuah kerajaan kecil yang dikenal dengan nama Araiden. Kerajaan ini memiliki populasi yang mencapai satu juta jiwa. Araiden dikenal luas karena sumber daya alamnya yang melimpah serta letaknya yang strategis, yang menjadikan kehidupan rakyatnya makmur dan membuat kerajaan itu menjadi salah satu yang terkaya di zamannya. Namun, semua kemakmuran dan kedamaian itu berubah drastis ketika Varaya datang untuk menjajah tanah mereka, merampas kekayaan dan kebahagiaan rakyatnya, mengubah daerah yang dulu damai ini menjadi neraka bagi penduduknya, " jelas Flerina dengan nada penuh kesedihan.
Dia pun menceritakan lebih jauh tentang kerajaan Areiden padaku. Sambil menyaksikan kekejaman diluar sana, aku mendengarkan serius cerita Flerina kali ini sampai 1 jam perjalanan pun tak terasa.
Setelah mendengar cerita Flerina, rasa ibaku pada bangsa Areiden sedikit pupus. Bangsa ini memang dulu terkenal kaya raya bahkan semua rakyatnya tidak ditariki pajak justru mereka mendapat semua fasilitas secara gratis.
Rakyat Areiden hidup dalam kemakmuran berenang dalam lautan uang. Saking bergelimangnya harta justru menghilangkan adab mereka. Ya, bangsa itu terkenal sombong dan merendahkan para pelancong dari luar kerajaan mereka. Selain sombong, prilaku mereka juga menyimpang. Mereka melegalkan hubungan sedarah, sesama jenis, atau dengan hewan sekalipun. Mereka menganggap sesama makhluk hidup harus saling mencintai karena itu adalah anugerah dari dewa.
Cara berfikir konyol itu yang menjadi malapetaka bagi mereka. Bangsa Varaya yang terkenal fanatik dan religius menanggapi prilaku bangsa Areiden dengan tantangan perang. Kata Flerina, saat itu bangsa Varaya mulai menginvasi Areiden dengan alasan mereka menentang sifat menyimpang dan tercela bangsa ini tetapi tujuan sebenarnya invasi itu tidak lain adalah karena sumber daya yang meliputi minyak bumi, emas, besi, dan batu bara.
Areiden yang hanya memiliki 70 ribu tentara jelas tak sanggup menahan gempuran Varaya sehingga hanya dalam kurun waktu 3 minggu, Areiden sepenuhnya jatuh ke tangan bangsa yang lebih iblis dari mereka.
Setidaknya sekitar 320 ribu penduduk Areiden dibantai. Rata-rata yang menjadi korban adalah mereka yang menyimpang sementara yang normal dijadikan budak dan diperjual belikan diseluruh tanah Varaya. Areiden sendiri kemudian dijadikan kerajaan boneka dimana kerajaan diizinkan menjalankan pemerintahan dan militer dengan pengawasan ketat. Mereka diberikan kehidupan yang layak dengan syarat sumpah setia pada Varaya. Selain itu, Areiden cuma bisa memerintah sepertiga wilayahnya.
Di wilayah ini saja, katanya ada kurang lebih 40 ribu orang Areiden yang dijadikan budak. Laki-laki dijadikan tentara bayaran, buruh tani, pabrik, penjaga rumah, atau kerja paksa untuk menambang. Sementara yang wanita harus menjadi budak seksual bangsa biadab Varaya. Mungkin ini yang dinamakan karma. Mereka yang bersifat buruk justru jatuh ke tangan orang-orang yang lebih buruk dari mereka.
***
Sebelum cahaya senja memudar, kami tiba di sebuah tempat yang membuatku takjub. Tempat yang sangat berbeda jauh dari kota yang tadi kami tinggalkan. Di hadapanku kini berdiri sebuah bukit yang menjulang tinggi, dengan puncaknya yang terbelah secara dramatis dan menciptakan sebuah dataran hijau yang luas dan memikat pandanganku. Ketika mencoba mengamati dari kejauhan, belahan puncak tersebut menyerupai tanduk banteng yang menjulang dengan gagah.
Flerina kemudian mengajakku menaiki bukit itu. Kupikir kami harus mendaki sampai atas tapi ternyata kami memasuki pintu besi dengan ruang sempit. Ruangan ini ditarik ke atas menggunakan tenaga listrik sehingga kami tidak perlu capek-capek jalan kaki.
Saat pintu terbuka, pandanganku langsung tertuju pada hamparan padang rumput hijau yang begitu indah dan menyejukkan mata. Keindahan alam yang mempesona ini membuatku terdiam, seolah kata-kata tak cukup untuk menggambarkan betapa menakjubkannya pemandangan yang ada di depanku.
Di sana, terdapat kurang lebih 30 rumah yang seluruhnya terbuat dari kayu, menambah kesan alami dan menyatu dengan lingkungan sekitar. Jarak antar rumah yang cukup renggang sepertinya sengaja diatur sedemikian rupa, kemungkinan untuk menjaga privasi atau mungkin hanya untuk mempercantik lanskap, tetapi yang pasti, formasi ini semakin memperkuat daya tarik pemandangan itu.
Kami pun berjalan melewati pos pemeriksaan yang dijaga ketat oleh puluhan prajurit bersenjata lengkap. Selain itu, setiap pos ada 4 menara lengkap senapan mesin yang persis sama dengan senapan mesin Magolia. Mereka benar-benar berhasil mencuri teknologi senapan mesin Magolia.
Yang membuatku lebih tertarik lagi adalah kendaraan lapis baja yang ternyata Varaya sudah mampu memproduksinya. Ya, benda besar berbentuk kotak dengan moncong meriam yang bisa berputar 360 drajat ini berjalan menggunakan roda rantai yang mengelilingi sisi kanan dan kiri.
Magolia juga sedang mengembangkan kendaraan satu ini sejak aku masih dalam pelatihan tapi sampai sekarang aku tidak tau kabarnya. Tidak heran jika Varaya mampu menciptakan lebih dulu mengingat sumber daya mereka yang hampir tak terbatas.
Setelah melewati beberapa pos, kami berjalan melewati 4 rumah dan sampai di rumah kayu pinggir jalan yang dihiasi pohon mangga di halaman.
" Ini rumah kita. " Ujar Flerina seraya membuka kunci pintu. " Mari masuk. "
Setelah membuka pintu dan melangkahkan kakiku ke dalam rumah kayu yang sederhana ini, suasana hangat langsung menyambutku, mengingatkanku pada rumahku di Magolia. Ruang tamunya memiliki perapian yang membuat ruangan terasa hangat dan nyaman terutama di malam yang dingin. Dapur kecil dan kamar mandi yang menyatu melengkapi desain praktis rumah ini, dan kamar tidur terletak di lantai atas, memberikan privasi yang diperlukan.
Pikiranku tertuju pada satu hal, yaitu melepas pakaian penyamaran yang terasa tidak nyaman dan gerah setelah perjalanan panjang. Tanpa membuang waktu, aku segera menaiki tangga menuju kamar di atas, berharap bisa melepaskan atribut yang membebani dan menemukan sedikit kenyamanan. Tubuhku masih terasa lelah, butuh waktu untuk pulih dan menyegarkan diri setelah perjalanan yang melelahkan.
Setelah melepas seragam militer dan menggantinya dengan baju biasa, aku segera merebahkan tubuhku ke atas ranjang yang empuk ini. Keempukan dan kehangatan ranjang ini jauh melampaui tempat tidur yang kumiliki di rumah. Meskipun baru beberapa menit berada di sini, ada perasaan damai yang tulus menyelimuti, sebuah ketenangan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Saat merebahkan badan, pandanganku tertuju ke luar jendela, melihat dunia yang begitu hening dan sepi. Ketenangan ini seakan-akan membersihkan segala kebisingan dalam pikiranku, menjernihkan semuanya sampai aku bisa benar-benar menikmati momen kedamaian ini.
Tak lama berselang Flerina datang membawa cangkir yang entah apa isinya.
" Inilah surga yang kumaksud. Keheningan dan kedamaian yang jarang ada di dunia penuh kekacauan ini. " Pungkasnya sembari meminum isi cangkir.
" Kau benar. " Jawabku spontan.
Flerina kemudian menaruh cangkirnya di meja dengan lembut, suaranya nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Aku benar-benar terkejut ketika tiba-tiba, tanpa ekspresi ragu sedikit pun, dia mulai membuka bajunya. Padahal aku masih ada di sana menyaksikan semuanya dengan mata terbuka lebar. Rasa keterkejutan dan kebingungan menyelimuti pikiranku, mencoba memahami alasan di balik tindakannya yang tak terduga ini.
" Hey tunggu...! Ada aku di sini... " Kejutku yang spontan langsung memejamkan mata.
Flerina tidak memedulikan kehadiranku dan terus melanjutkan kegiatannya. Dia dengan santai melepaskan bajunya, meskipun aku berusaha menutup mata untuk menghormati privasinya. Namun, tetap saja mataku sempat menangkap sekilas saat dia hanya mengenakan pakaian dalam. Setelah itu, dia memakai sebuah piyama berwarna hitam yang terbuat dari kain tipis, yang tampak lembut membalut tubuhnya dengan nyaman.
" Kenapa menutup mata? " Tanya gadis itu yang sekarang duduk di ranjang. " Kita di sini suami istri, wajar kalau aku ganti pakaian di depanmu. "
" Ini semua cuma sandiwara demi keberhasilan misi yang sedang kita jalankan, " ucapku dengan nada sedikit gugup sambil melirik ke arahnya yang kini mengenakan pakaian itu.
" Pura-pura itu juga harus sempurna. Entah di tempat umum atau rumah, sekarang kita harus menjadi sepasang suami istri sungguhan demi kelancaran misi. " Jelas Flerina seakan membungkam argumenku.
Aku sekarang hanya bisa diam dan mengikuti saja apa arahan gadis ini. Dia yang lebih paham situasi di sini sementara tugasku sekarang adalah melindunginya dari segala macam bahaya.
Selama beberapa saat, suasana kamar dipenuhi oleh keheningan yang mendalam. Aku pun terhanyut dalam pemandangan di luar jendela hingga senja mulai beranjak dan membawa malam datang.
Kurasa Flerina mungkin sekarang sudah tertidur nyenyak di sampingku. Dengan perasaan tenang dan sedikit rasa kantuk, aku membalikkan badan, namun betapa terkejutnya aku menemukan wajah Flerina berada sangat dekat dengan wajahku. Matanya yang masih terjaga dan tajam menatap tepat ke dalam mataku, membuatku sedikit tersentak oleh ketenangan sekaligus keintiman dari tatapan tersebut.
" Baru kali ini aku tidur dengan seorang pria. " Kata Flerina. Dia tersenyum manis padaku.
Aku terdiam dalam keterkejutan, saat matanya yang tajam memandangku dengan intensitas yang begitu kuat. Rasanya seolah-olah jantungku berhenti berdetak, setiap detakan terasa tersendat oleh kepanikan yang tiba-tiba menguasai tubuhku. Seolah seluruh tubuhku kehilangan kekuatan, mati rasa dalam hitungan detik saat emosi bercampur aduk menggema di dalam diriku.
Sentuhan tangannya terasa lembut dan dingin, seolah meresapi setiap pori-pori kulitku, sambil perlahan membelai pipiku dengan penuh kasih. Dalam keheningan yang mengiringi detik itu, suara lembutnya menyelinap ke telingaku, "Sulit dipercaya kalau laki-laki setampan dirimu sudah mengarungi bagian tergelap dari dunia ini,"
" Apa maksudmu? "
" Aku seperti dirimu, Yoha. Orang tuaku juga dibunuh oleh bangsa Varaya, dan sejak itu aku diambil oleh Aklux dan menjadi seorang agen intelijen," ucapnya dengan suara yang mulai melemah, sementara matanya perlahan-lahan tertutup.
Aku mengambil selimut kemudian menyelimuti Flerina. Lalu aku memutuskan tidur dengan duduk di kursi. Mana mungkin aku bisa tidur nyenyak dengan seorang gadis berpakaian terbuka seperti itu.
Sebelum tidur, Aku mencuri pandang ke Flerina. Dia sangat cantik ketika sedang tidur ternyata. Gaya bicara, sifat, dan parasnya sangat tidak menggambarkan bahwa dia seorang anggota intelejen.
Wajah tidurnya sekali lagi membuatku teringat kepada Lena. Kira-kira sekarang sedang apa ya dia disana. Apakah obat yang kuserahkan pada Gideon sudah sampai.
Aku yakin Lena pasti sangat bahagia bisa melihat dunia lagi. Aku sedikit terganggu dengan ucapan paman.
Apa benar Lena akan membenciku?
Tapi setidaknya saat pulang nanti, aku akan membawakan hadiah untuk merayakan kesembuhannya. Siapa tau dia bisa luluh dan memaafkanku.
^^^To be continue^^^