"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pindah
Hari itu, suasana rumah masih dipenuhi aroma masakan yang belum benar-benar hilang. Dua tas berukuran sedang sudah tertata rapi di dekat pintu masuk. Murni dan Kaan akan pindah ke apartemen sore ini, dan meski semuanya itu berjalan sesuai rencana, tetap akan ada rasa berat akan kelepasan perpindahan Murni, terutama bagi Leyla.
Beberapa kali, Leyla menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata sambil melipat celemek yang tadi ia kenakan, “Murni… tinggal di sini saja ya? Temenin ibu. Rumah ini baru saja aja rame, jangan buru-buru ditinggalin.”
Murni yang sedang memeriksa isi tasnya, sontak menghentikan gerakannya. Seketika ia bangkit, lalu menghampiri Leyla kemudian menggenggam tangan wanita itu dengan lembut.
“Maafin Murni ya, bu. Tapi Murni janji, bakal sering-sering datang ke sini. Masak bareng ibu, ngobrol bareng lagi kayak kemarin-kemarin," ucapnya tulus. “Masih banyak resep-resep baru yang pengen Murni ulik bareng ibu.”
Mendengar itu, Leyla spontan memeluk Murni sambil merengek manja, “Baru aja rumah ini rame, eh, udah sepi lagi. Gimana sih…”
Murni hanya diam, membiarkan pelukan itu bertahan sembari mengelus punggung ibu mertuanya pelan-pelan. Ia tahu, dalam pelukan itu ada perasaan seorang ibu yang tidak ingin kehilangan kedekatan dengan menantunya.
Lalu tiba-tiba, suara Leyla terdengar di antara rengkuhan pelan itu. “Kalau gitu… ibu tunggu cucu dari kalian berdua sajalah. Buatin ibu yang banyak ya." Ucapnya yang dengan mudahnya mengubah nada sedihnya menjadi riang, sembari melepaskan pelukannya.
Murni yang masih dalam posisi memegangi tangan Leyla langsung terpaku. Bahkan wajahnya terasa panas, tak tahu harus menjawab apa. Ia menoleh ke arah Kaan, yang juga mendengar ucapan itu. Terlihat ekspresi suaminya berubah, keningnya mengerut samar, dan ia hanya membuang pandang tanpa komentar.
Sejurus kemudian, sebuah tangan menepuk pundak Kaan, yang ternyata itu adalah tangan Jonathan yang sudah berdiri di sampingnya sembari menyunggingkan senyum menggoda.
"Ide ibu mu bagus, Kaan. Sudah saatnya kita menimang cucu. Umur kami juga sudah terlalu tua, dan pas bila harus dipanggil 'kakek dan nenek'. Ujarnya santai namun bermakna.
Kaan masih diam, jelas enggan melanjutkan topik itu. Ia menegakkan tubuhnya dan mulai merapikan tasnya tanpa berkata apa-apa.
Jonathan, yang peka akan gelagat putranya, segera mengalihkan pembicaraan.
“Ngomong-ngomong, sampai kapan kau akan terus tinggal di apartemen? Buatlah rumah, Kaan. Bagaimanapun kau sudah berkeluarga. Sudah waktunya punya rumah sendiri.”
Kaan akhirnya mengangguk setuju. “Yeah ayah, aku tahu. Aku akan segera punya rumah, kau tenang saja.”
Ucapannya singkat, tapi ada ketegasan di dalamnya. Murni menatap Kaan sejenak, mencoba membaca pikirannya, tapi pria itu hanya memberikan senyuman tipis sebelum kembali fokus membereskan barang.
Sebelum akhirnya keduanya langsung masuk ke dalam mobil dan mobil pun keluar dari halaman rumah. Murni segera melambaikan tangan ketika mobil Kaan berjalan menjauh dari rumah kedua orangtuanya.
Mobil melaju perlahan menembus kota yang mulai gelap. Suasana dalam kabin tak banyak suara, selain suara pelan dari radio yang mengalun lembut menjadi latar suara diantara mereka berdua.
Murni duduk tenang di kursinya, sesekali menatap keluar jendela dan memperhatikan lampu-lampu jalanan yang berkelap-kelip, yang terasa asing namun memukau baginya.
.
.
.
Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam, akhirnya mobil Kaan berhenti di depan sebuah gedung tinggi menjulang yang tampak megah dan modern. Kaan segera memarkirkan mobilnya, lalu membuka pintu dan turun, diikuti oleh Murni.
Begitu ia mengalihkan pandangannya ke arah gedung, mata Murni terlihat setengah melebar. Ia berdiri terpaku beberapa detik, menatap bangunan menjulang itu dari bawah naik ke atas.
“Masya Allah… tingginya kayak tower listrik di kampung.” Gumamnya pelan, penuh takjub.
"Ayo masuk.” Ajak Kaan, yang menyadari keterpanaan istrinya. Ia tersenyum samar lalu berjalan lebih dulu.
Murni segera mengikuti suaminya, namun sesekali matanya masih sibuk menjelajahi sekeliling saat mereka melewati pintu masuk. Interior lobi yang elegan dengan langit-langit tinggi dan lampu gantung kristal membuat langkah Murni terasa lebih pelan ketika banyak pandangan yang terus menarik perhatiannya
Saat mereka masuk ke dalam lift, kekaguman Murni makin bertambah. Ia bahkan sempat membungkuk sedikit, memperhatikan panel angka digital dan dinding kaca yang memantulkan bayangannya.
Begitu lift mulai bergerak naik, tubuh Murni sedikit kehilangan keseimbangan. Hingga secara spontan langsung menarik ujung jas Kaan.
Kaan yang berdiri di sebelahnya melirik ke bawah, memperhatikan tangan istrinya yang sedang menggenggam jasnya. Ia menoleh ke arah Murni yang tampak berusaha tetap tegak dengan mata membulat panik.
Melihat hal itu, tanpa sadar, bibir Kaan kembali membentuk senyuman tipis yang tak Murni sadari.
Begitu lift berhenti, Murni kembali sedikit oleng, dan Kaan dengan sigap menahan pundaknya sebelum keluar lebih dulu.
Penampakan koridor panjang langsung menyambut mereka, terlihat ada beberapa pintu-pintu besar dan lampu temaram yang menambah kesan eksklusif koridor itu, yang membuat Murni menoleh ke kiri dan kanan, ketika rasa ingin tahu tentang apa yang ada di balik pintu-pintu itu kembali menyeruak dibenaknya.
Kaan berjalan dengan Murni yang mengotorinya, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah pintu yang merupakan pintu Apartemen miliknya. Ia segera mengeluarkan kartu akses dari sakunya, lalu menempelkannya ke panel kecil di dinding, hingga mengeluarkan suara klik lembut yang menandakan pintu sudah terbuka.
Kaan segera memutar kenop pintu lalu mereka pun masuk ke dalam apartemen, sebelum akhirnya tertutup kembali.
Namun tanpa mereka sadari, sepasang mata mengamati pergerakan mereka dari kejauhan. Terlihat ada seseorang yang berdiri di balik sudut koridor, sembari menempelkan ponsel di telinganya.
“Dia sudah kembali. Tapi kali ini, dia tidak sendiri." Bisik suara itu memberi tahu keberadaan Kaan uang sudah kembali ke apartemen nya.
Sebelum mengakhiri panggilan secara sepihak, sorot matanya yang tajam, masih menatap intens ke arah pintu apartemen Kaan yang telah tertutup.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣