Mereka terpaksa menikah meski sudah berjanji tidak akan menikah lagi setelah menjanda dan menduda untuk menghormati pasangan terdahulu yang sudah tiada.
Tetapi video amatir yang tersebar di grup RT mengharuskan mereka berada dalam selimut yang sama meski sudah puluhan tahun hidup di kuali yang sama.
Ialah, Rinjani dan Nanang, pernah menjadi cinta pertama dan hidup saling membutuhkan sebagai saudara ipar. Lantas, bahagia kah mereka setelah menyatu kembali di usia kepala lima?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hampir Jantungan
“Nggak usah tanya apa-apa di dalam sana nanti, Lu. Awas kamu!”
Nanang berdehem, mengurangi ancaman yang dilakukan Pandu untuk adiknya. “Membicarakan apa kalian berdua, kenapa harus bisik-bisik seperti itu?”
“Membicarakan anu, Pak. Konsep foto nanti. seru Jalu Aji seraya nyengir, padahal dia teramat penasaran kenapa Pakdenya posesif dan nafsuan. Tetapi Bapaknya tetap memandangi Pandu.
“Kamu jangan macam-macam dengan adikmu. Dia masih kecil.”
“Macam-macam gimana toh, Pak. Aku ini justru sedang menyelamatkan duniamu.”
“Halah.” Nanang jelas tidak percaya, dua anggotanya itu kan sama sepertinya. “Dengar apa kalian tadi?”
“Kok bapak nggak suka basa-basi toh?” tanya Jalu Aji. Langsung tepat sasaran gitu, dan dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya.
“Memangnya...” Mulut Jalu Aji langsung terbungkam tangan Pandu. “Ssttt... stttt... Nggak usah di bahas, malu. Belum cukup umur juga kamu.” ucap Pandu.
Nanang pun segera paham apa yang dikatakan Pandu. Dan ia hanya dapat mengelus kepala Jalu Aji tanpa betul-betul ingin menjelaskannya.
“Tentang itu kapan-kapan kamu akan mengerti artinya, tapi jangan sampai kamu tanya sama Budhe. Bapak jewer kamu nanti.”
Jalu Aji mengangguk dan berusaha membebaskan diri dari kungkungan Pandu.
Pandu pun membebaskannya sebelum mengelap bekas bibir sang adik ke celananya. Dia meringis, “Kapan-kapan kita ngobrol sama Bapak kalau nggak ada bunda. Kamu santai dulu daripada nanti kena marah.”
“Iya.” Jalu Aji meraih kameranya di meja dan tiang penyangganya. “Nanti aku mau live streaming khusus keluarga biar pada lihat proses foto-fotonya. Boleh, Pak?”
Nanang terkejut. Memikirkan izin Rinjani yang pasti tidak mau. Tapi dia pun mengangguk demi menghindari kekecewaan yang akan tersirat di hati putra dan anak-anak mendiang kakaknya yang sudah berpesan agar tidak menyembunyikan file pribadi itu seorang diri.
“Satu pose satu sesi, bunda tidak mau ulang-ulang.” Rinjani mengingatkan tiga lelaki di depannya. “Yang cium pipi itu tidak usah, bunda bisa muntah kalau sampai melakukannya!”
Pandu mengulum senyum. Lalu melirik Nanang yang menggaruk lehernya, tak usah tanya kenapa. Dia malu, foto masa mudanya dengan Rinjani adalah aib terbesar yang dia sembunyikan dari anak-anaknya dan keluarganya. Hanya Ibu dan Masnya yang tahu, Ayahnya tahu tapi enggan berkomentar banyak.
“Bapak setuju, yang itu tidak perlu.” Nanang meringis. “Waktu itu ibumu lagi seneng-senengnya sama Bapak, jadi ya maaf. Ayahandamu sebenarnya hanya kebagian yang lain, yang di tutupi itu dan cinta matinya.”
Pandu mengangguk. Ibunya mungkin tidak menyadari juga pintar membagi hati kendati cintanya begitu besar kepada ayahnya. Tetapi sudahlah, dia tampak tidak ingin ikut campur selain melihat ibunya bahagia.
“Yuhuyy... sudah siap ini. Mau pose yang mana dulu, Pak?”
Rinjani merebut foto usang yang hendak Nanang pilih. Dia menatanya sesuai urutan paling malu-maluin ke paling logis di meja.
“Begini.”
Pandu dan Jalu Aji menengoknya untuk pertama kali. Mereka pun saling melihat sambil menahan senyum agar tidak menjadi tawa.
“Iya, sekarang bunda dan om siap-siap. Fotonya ini.” Pandu menunjuk foto yang terlihat malu-maluin di usia mereka sekarang. Rinjani dan Nanang menjulurkan lidah dengan wajah konyol.
Rinjani menahan senyum. Cara mencintai Nanang setelah dia menikah adalah dengan mendoakannya, tetapi ketika mereka bersama dulu cara mencintai Nanang adalah membuatnya senang dan kenyang.
“Siap?” seru Pandu di balik kamera, sedang Jalu Aji sibuk memvideokan.
Rinjani dan Nanang saling menatap sebelum mengangguk. Mereka beraksi. Tawa di rumah utama terdengar meriah.
Foto kedua, Nanang merangkul Rinjani sembari pura-pura menjitak kepalanya.
Foto ketiga, Rinjani berada di belakang Nanang, dia mencubit kedua pipinya sembari menjulurkan lidah.
Foto keempat, mereka mulai sok romantis. Dih nyebelin. Rinjani menyandarkan kepalanya di lengan Nanang, terlihat cinta di matanya sedang Nanang hanya tersenyum sembari membawa tongkat cinta.
Foto kelima. Bukan main... Mereka gantian. Baru di foto keenam, keduanya hanya saling tatap meski senyum yang terlihat jelas dan tulus itu membuat Pandu merasakan sendiri bagaimana ayahnya dapat mengira slalu ada yang tertinggal di hati Om dan ibunya tentang mereka.
“Ayahanda tetap pemenangnya.” batin Pandu seraya menatap ibunya yang menarik napas dalam-dalam dan minta di ambilkan minum.
“Bunda kenapa?”
“Mau pingsan!”
Tawa kembali mengisi rumah utama ketika Rinjani menyuruh Nanang menjauh darinya. Dan celotehan tentang siapa yang akan luluh duluan menjadi perdebatan anak-anak Rinjani dan mantunya.
“Habis ini aku harus mandi besar.” ucap Nanang sembari membuka ruang kerjanya agar mendapatkan udara alami karena dadanya sesak, tak mampu bernapas dengan bebas ketika berada di dekatnya.
“Foto-foto begitu saja sudah capek rasanya, apalagi berharap lebih. Pingsan sungguhan.”
“Minum dulu, Bun, Pak.” Pandu menyerahkan air minum yang dia ambil dari dapur. “Sekalian tadi Mbak Lilah telepon, semuanya sudah siap. Kalian di tunggu di rumah utama.”
Rinjani menatap Nanang, minta pertolongan. Dan sekali lagi Nanang setuju.
“Setengah jam lagi kita ke sana, kalian berdua pergilah keluar.”
Jalu Aji pergi lebih dulu sambil menggotong penyangga kameranya diikuti Pandu yang tidak habis pikir mengapa mereka hanya ingin berdua saja. Apa tidak takut khilaf?
“Maaf untuk tadi.” ucap Nanang sembari mengulurkan tisu. Rinjani tampak berkeringat, keringat dingin tepatnya.
“Apa kamu benar-benar mau pingsan?” Kini Nanang benar-benar khawatir alih-alih bahagia setelah membangun dan membuat kenangan untuk anak-anaknya.
Rinjani menghabiskan air hangatnya di gelas, melepas bando pita yang ia gunakan seraya mengatur napas.
“Jantungku.” Rinjani menepuk-nepuk dadanya. “Tidak berhenti-henti berdetak cepat ini.” ucapnya dengan parau.
“Rinjani...” Nanang tahunya dia bercanda, tetapi kegelisahan yang amat jelas di wajahnya itu membuatnya ikut panik dan tidak tahu harus melakukan apa. Menyentuhnya, tak mungkin.
“Jangan jantungan, Ri. Tolong. Aku masih ingin bersamamu.”
Rinjani menabok lengannya saking gemasnya dengan kelakuan Nanang. “Kamu panggilkan Jati. Eh tidak... Kamu bawa aku pergi sekarang dari rumah sebelum setengah jam berakhir.”
Nanang tercekat. “Ke mana weh...” dia teringat yang di rumah utama. “Kamu jangan bercanda, Ri. Anak-anak nunggu kita.”
“Gampang, suruh mereka menunggu lagi atau bubar. Aku tidak bisa bilang sekarang. Nanti dulu, aku harus memastikan ini bukan karena keputusan sesaat atau sesat.”
Nanang mengelus dada. Kurang gawat darurat apa perasaannya sekarang? Sudah tua masih saja diajak berpetualangan. Mana lihatlah, wajah Rinjani yang pucat itu seolah benar-benar akan pingsan.
-