Aku hidup seperti mengikuti sebuah alur dunia fiksi sebagai figuran tak terlihat. Semuanya membuatku muak. Seandainya kita hidup dalam sebuah simulasi komputer yang dapat mengalami hal yang namanya glitch in the matrix, namun semua itu hanya ilusi semata. Banyaknya keinginan yang kuinginkan hanya bisa kutulis dalam sebuah fiksi.
Hingga aku mulai menjalani hidupku tanpa ketergantungan dari sebuah fiksi. Melepas semua belenggu yang kutakuti dan mulai terbang seperti burung samurai. Disini, aku mulai menulis kisahku mengubah dialogku dari peran figuran menjadi peran utama.
Bukan tentang transmigrasi maupun reinkarnasi seperti kebanyakan novel, aku berubah karena kata-kata seseorang. Aku tidak ingin menjadi orang idiot yang menganggap kata motivasinya sebagai kata yang tidak mungkin terjadi. Dengan kata katanya yang kadang setajam silet, aku mampu mengubah diriku menjadi seekor burung samurai yang bangga.
Dan yang terpenting ini nyata bukan fiksi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zero 0, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
“Mempunyai kalian berdua sudah cukup untukku sebagai...
“Mempunyai kalian berdua sudah cukup untukku sebagai dukungan. So, gue senang kalau seandainya kita bisa gini terus bareng sampai tua.”
Nafasku terengah-engah saat aku mencapai pertengahan menuju puncak, ternyata naik puncak akan lebih melelahkan daripada jalan di dataran. Cila dan Aca berada beberapa langkah lebih jauh dariku tengah tertawa meledekku habis-habisan.
“Kurang asem lo Ci, Ca. Tungguin gue!” seruku pada keduanya.
“Ye... lo lemot. Rea lemot!” balas Aca tak kalah seru.
“Baterai lo habis ya, huluh kasian banget. Mau gue panggilin babang Raka nggak biar lo digendong, lagian punggung kak Raka kosong kemarin kan lo belum nyoba tuh punggung kali aja sekarang mau nyoba,” ledek Cila setelah menjulurkan lidahnya keluar.
“Cila!” teriakku kesal.
Aku berlari mengejar mereka berdua keatas terbokoh-bokoh, sialan memang Cila sama Aca kedua orang ini tidak ada habisnya meledekku dari kemarin. Tidak lama mereka berdua berhenti hingga aku mengejarnya dengan puas aku menarik telinga mereka berdua hingga mengaduh.
Puas, aku duduk di sembarang tempat di ikuti keduanya di sampingku. Mengelap peluh keringat di dahi aku menengguk setengguk air di botol minumku. Aca dan Cila mengipasi wajah mereka dengan satu kipas listrik yang berada di tangan Aca. Aku seperti anak tiri yang ditelantarkan karena tidak ada yang mengajakku, sungguh miris.
“Kak Alexa kemarin ngapain deketin lo?” Cila tiba-tiba bertanya membuat Aca yang tadi menikmati sejuknya angin dari kipas menatapku.
“Emang kak Alexa nyamperin lo?” Aca bertanya dengan rasa penasarannya.
Aku mengangguk, “ iya. Ci nanti kalau pas semesteran baru ada desas-desus kalau kita lesby jangan kaget.” Aku memandang Cila dengan seringai.
Cila menatapku jijik sedikit bergeser menjauh, “lo aja yang lesby. Gue mah ogah!” seru Cila.
Aku dan Aca tertawa keras melihat responnya yang sangat real. “Tenang Cila, Rea cuma becanda doang sama lo, lagipula kalau Rea lesby dia nggak akan mau sama modelan kunti kayak lo.”
“Sembarangan lo kalau ngomong lihat nih body gue yang kayak gitar spanyol, kulit gue yang sebening kristal, muka gue yang kaya Jennie blackpink. Mau dilihat darimana pun gue tetap cantik kek princess.” Cila berdiri menunjukkan bodynya.
“Idih Pd banget lo, mau dilihat dari mana pun lo tetap aja kayak seruling yang nggak ada bentuknya. Lo kaya princes kalau di lihat dari atas Monas pakai sedotan.” Aku meledek Cila membuatnya memberengut sedangkan Aca sudah tepar karena tertawa.
“Jahat banget lo, Re.” Cila mencebikkan bibirnya lucu.
“Bukan jahat, tapi realita. Salahin saja realita karena tidak seindah fiksi.” Aku berkata tidak nyambung.
Cila duduk lagi, pasrah dengan julukanku yang tidak kira.
“Benaran deh Re. Gue tanya, Alexa ngapain kemarin nyamperin lo?” Cila kembali pada fokusnya yang semula.
“Dia tanya. Apa gue sedekat itu sama kak Raka,” jawabku.
“Terus lo jawab apa?” Tanya Cila.
“Tentu saja gue jawab jujur kalau gue nggak deket sama kak Raka. Terus kak Alexa langsung nyinyir ngatain gue buluk sama tukang nemplok kayak cicak ke kak Raka, jadi gue balas lagi dia dan bilang kalau gue nggak bakal nemplok sama kak Raka karena aku suka sama dia. Jujur aslinya gue geli ngomong gitu, mau gimana lagi kak Alexa nyebelin sih jadi gue kerjain lagi dan bilang lo mau jadi selingkuhan gue? Gitu, terus dia kabur.” Aku menjelaskan panjang kali lebar.
Aca dan Cila lagi lagi terbahak. “Pantesan kemarin gue lihat kak Alexa lari lari terus mukanya pucet gitu kayak orang nahan berak.” Aca menimpali sesudah tawanya berhenti.
“Lanjut,” aku mengajak keduanya untuk segera berdiri dan melanjutkan perjalanan yang tertunda.
Setiap kali aku melangkah dengan membenarkan apa yang berada dalam pikiranku kenapa kamu malah bertolak belakang seolah pikiranku tidak akan berjalan jika aku menggunakannya. Lo seperti tahu akan semua dan setiap langkah otak dan hatiku bekerja itu akan dipatahkan oleh omongan lo. Yang tidak busa ku sangkal hanya satu tentang lo, yaitu kebenaran. Semua yang lo bilang terasa sangat masuk akal bagiku hingga aku tidak bisa menyangkalnya apa yang selalu lo omongin buat gue.
Di puncak tinggi, angin bertiup kencang ditambah dengan panasnya matahari dua perbedaan yang disatukan menjadi melebur cocok satu sama lain. Aku berdiri di atas sebuah batu besar di tengah puncak mengamati sekeliling. Pesawat yang lewat tampak lebih besar, tempat camping dimana kami mendirikan tenda hingga pegunungan lainnya terlihat dari sini.
Tanganku terangkat dengan mata terpejam mendongak mencoba merasakan atmosfer di sekelilingku. Mencoba menyerap hal baik dalam ingatanku dan menyegelnya segera, membuang semua keluh kesah dan hal kotor yang menempati otakku. Kali ini biarkan aku tenang dan merasakan ketenangan dunia bukan kekacauan dunia.
Aku membuka mataku dan menyipit. Perlahan aku turun dan duduk dibatu yang tadi aku buat berdiri, rasa tenang dan damai menyeruak di dalamku kenangan baik membanjiri pikiranku yang telah lama memikirkan hal yang tidak mungkin. Disini, aku dapat berpikir secara logis. Mungkin memang setiap manusia memiliki cobaan hidupnya masing-masing dan berbeda untuk setiapnya.
..."Mulai saat ini aku akan mencoba menghadapi masalah tanpa mengeluh, tanpa rasa ingin menyakiti diri dan tanpa ragu menumpas segalanya. Selama ini karena hatiku sakit maka otakku ikut tersakiti, beban yang seharusnya bisa pergi dari dulu kini baru saja selesai."...
Ternyata dari dulu aku hanya memupuk rasa sakit dengan rasa sakit hingga rasa sakit itu terasa ratusan kali lipat, dulu aku tidak menyangkalnya tapi kini aku akan membuang semua rasa sakit bersama dengan kenangan burukku disini. Gunung ini telah menggunung setinggi kenangan buruk yang kubuang.
“Rasa itu perlahan terbuang jauh, sakit yang kamu buat lebih besar menghilang dan kini hanya ada ketenangan pikiran. Pikiran buruk tentang kenangan lo buang begitu saja, saran gue jangan pernah buang kenangan buruk lo karena nantinya lo malah lupa apa artinya sakit. Lo hanya perlu simpan kenangan itu dan menunjukkan pada dunia kalau lo ikhlas menjalani semua ini, jika lo malah ingin melupakan kenangan buruk itu namanya lo belum ikhlas. Hidup berdampingan, indah dan buruk mereka beda tipis.”
Suara yang sudah kukenal dengan pasti terdengar di telingaku. Raka berdiri di depanku dan menyender di batu yang kini aku duduki dengan kedua tangan yang bersedekap dada, rambut pendeknya sedikit berantakan karena kencangnya angin yang menerpa.
“Gue bingung. Kenapa seolah lo bisa tahu apa yang gue rasain, setiap kali gue mau meyakinkan apa yang ada di dalam hati gue itu benar lo patahin dengan kata kata lo.” Aku berkata lirih engan menatapnya, setetes air mata datang kembali ku usap.
“Rea. Gue hanya mau membenarkan apa yang ada dipikiran lo. Otak kecil lo nggak sanggup menerima kenyataan maka dari itu lo mau membuangnya jauh-jauh disini, tapi di lain hari saat lo mendapatkan rasa sakit yang lebih berkali lipat gue nggak yakin lo masih bisa tegar seperti sekarang.” Raka menoleh menatap mataku dengan mata itu. Jurang mata yang dalam sedasar laut sangat menenangkan.
“Omongan lo buat gue kayak mati otak tahu nggak. Setiap kali gue mikir tapi lo patahin dan anehnya gue nurut sama orang kayak lo,” kesalku sambil terus mengusap air mata yang tak terhitung jumlahnya muncul tanpa bisa aku hindari.
Raka terkekeh dan mengulurkan tangannya mengacak rambutku, “jangan nangis. Gue nggak suka,” katanya.