Amara harus menelan rasa sakit luar biasa ketika suaminya tiba-tiba menceraikan dia tanpa alasan.
Memang, Amara menyadari bahwa dirinya hanya sekedar istri kedua. Rumahnya tangganya pun baru berjalan beberapa bulan. Namun, wanita mana yang tak akan sakit saat suaminya menuding dia mengidap penyakit seksual, lalu menceraikan dirinya tanpa memberi kesempatan untuk bicara?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evie Everly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Kenapa sih maksa terus? Dibilang nggak nafsu makan, ya nggak nafsu, masa harus dipaksa kayak gini sih?"
"Kamu dari kemarin cuma makan mochi sebutir, malemnya makan bubur sesuap. Susu nggak diminum, sekarang makan baru sesuap udah bilang kenyang? Kasian atuh sama diri sendiri kalau ngikutin nggak nafsu terus."
"Nelennya susah, nggak masuk." Amara bersikukuh dan menghindari Bian yang masih berupaya menyuapinya. "Lagian udah dibilang berkali-kali kalau aku nggak lapar. Kamu mau makan, ya udah makan aja sana."
Bian meletakkan sendok di atas piring yang masih berisi penuh nasi goreng, lalu menyimpan di atas meja.
Hanya agar Amara mau sarapan, Bian sudah berupaya membujuk dengan berbagai cara, tetapi tampaknya wanita itu saat ini memang terlalu sulit diajak berkompromi.
"Terus mau kamu makan apa kalau nggak mau makan ini?" Bian masih menjaga suaranya setenang mungkin.
"Bukan masalah makanannya, aku emang nggak mau makan, ih! Masa kamu nggak ngerti juga sih? Kan udah dibilang, ntar kalau aku lapar juga pasti nyari makanan sendiri."
Bian mengembuskan napas berat, lalu mencubit dagu Amara dan menatapnya lekat-lekat. "Minum susunya aja, ya?"
"Simpen aja di sana, ntar pasti aku minum kalau aku mau," kata Amara sambil menelan ludah dengan susah payah, lalu menangkis tangan Bian dan berupaya menghindari tatapan pria itu.
Faktanya, hingga berjam-jam lamanya, segelas susu dan berbagai makanan serta buah-buahan di atas meja itu tetap utuh.
Bukan saja tak hanya mau memakan atau meminum apa yang disediakan Bian, semua yang tersedia di atas meja itu nyatanya tak ditengok sedikit pun.
Amara sendiri merasa tak habis pikir, mengingat sebelumnya dia tak pernah mengalami kesulitan untuk makan. Seiring bergulirnya waktu dan menurunnya nafsu makan serta konsentrasi Amara, Biandra mulai rewel karena asi yang dihasilkan jauh berkurang.
Hal itu jelas menambah daftar panjang kecemasan dan ketakutan Amara karena merasa tak bisa memberikan apa yang seharusnya didapatkan putrinya.
Kemudian, Amara menyerah dan menyetujui gagasan Bian untuk memberikan susu formula lebih banyak dari pada sebelumnya. Namun, hal itu justru memperparah kondisi emosional Amara.
Meski dia memaksa untuk menelan makanan dan asupan vitamin, tetapi kondisi psikisnya yang buruk tampaknya mempengaruhi produksi asi yang bisa dihasilkan.
Semakin hari, Amara semakin tertekan dengan kondisi tersebut. Dia bahkan terseret ke dalam pusaran emosional asing yang tak terkendali dan membuat dirinya kerap gelisah sepanjang waktu.
Semenjak Amara tinggal di villa dan statusnya bersama Bian berubah kembali menjadi suami istri, setiap harinya dia kerap mendapat perhatian dan perlakuan khusus dari Bian.
Namun, perubahan mendadak itu justru membuat Amara merasa asing pada dirinya sendiri. Sejak kecil, Amara terbiasa melayani, bukan dilayani sedemikian rupa. Jadi, alih-alih bisa menerima perhatian Bian, Amara justru menjadi semakin berkecil hati.
Terutama karena Bian lebih piawai dalam mengurus Biandra. Dan hal itu berhasil menimbulkan ketidakpercayaan diri Amara. Di satu waktu, Amara mendapati dirinya merasa jadi orang tak becus dan tak berguna.
Perasaan-perasaan tersebut membuat wanita itu semakin sering menutup diri, mengurung diri di dalam kamar, bahkan hingga di titik Amara kesulitan untuk konsentrasi saat komunikasi dengan Bian.
Sudah satu minggu sejak Amara berada di sana, Bian menyadari kondisi istrinya semakin buruk. Di satu waktu, dia mendapati Amara sedang menangis tersedu-sedu, di detik berikutnya, wanita itu tertawa hampa dan tak bisa diajak berbicara.
Kondisi itu diperburuk ketika Amara mulai tak ingin menyentuh Biandra. Bahkan, ketika Biandra menangis karena popoknya yang basah atau merasa haus, Amara justru menutup telinga, bahkan berlari menjauh seolah tangisan Biandra adalah hal yang sangat mengerikan.
Awalnya, Bian masih memaklumi kondisi tersebut, dan dia hanya menduga bahwa kondisi fisik Amara masih terlalu lemah jika setiap hari harus menggendong Biandra.
Namun, segalanya berubah ketika pagi itu Bian baru saja selesai mandi dan mendapati Amara tengah memeluk segumpal pakaian, menimang-nimang pakaian itu sambil mondar-mandir di dekat jendela.
"Kamu kenapa sih, Ra?" tanya Bian lembut sambil meloloskan pakaian dari atas kepala, lalu menengok ke arah box bayi.
Bian terperanjat terkejut saat tak melihat keberadaan Biandra di tempat tidurnya, lalu kembali menoleh pada Amara.
"Biandra mana, Ra?" Bian bahkan bisa mendengar suaranya sedikit tinggi.
Bian semakin terkejut saat melihat reaksi Amara yang dengan lelah berkata, "Jangan berisik, Biandra bentar lagi mau bobo."
"Ra! Jangan bercanda, Biandra mana?" Bian memekik terkejut dan langsung berlari keluar kamar mencari keberadaan Biandra, dengan diliputi perasaan panik dan luar biasa kacau, memikirkan sikap Amara yang sudah tak wajar.
Pekikan Bian seolah menyeret Amara kembali ke dalam kesadaran, dia menunduk dan mendapati bahwa yang sejak tadi dia gendong bukanlah putrinya, melainkan setumpuk pakaian kotor yang awalnya akan dia simpan di keranjang cucian.
Amara meloncat terkejut dan sontak melempar pakaian yang dia peluk, kemudian berlari keluar kamar dengan panik menyusul Bian, mencari keberadaan Biandra— dan dia tak bisa mengingat di mana dirinya meletakkan Biandra.
"Aku lupa di mana nyimpen Biandra."
Ketakutan dalam suara Amara membuat Bian kalut, tetapi dia masih mengendalikan diri untuk tidak menegur Amara, berkonsentrasi membuka setiap pintu kamar, dan tak menemukan keberadaan putrinya.
"Kamu ini gimana, sih, Ra? Biandra itu bukan barang, bukan benda—"
Bian tak menyelesaikan kata-katanya ketika teringat benda terakhir yang dipeluk Amara adalah pakaian kotor. Akhirnya Bian berlari turun ke lantai bawah, dan berbelok ke dapur menuju tempat pencucian yang berada di teras belakang.
Ketika dia baru saja membuka pintu luar, Bian tak bisa untuk tidak terkejut melihat Biandra berada dalam keranjang pakaian kotor yang diletakkan di samping mesin cuci.
Gejolak emosi menggelegak dalam hati Bian saat mengangkat Biandra dari keranjang tersebut, memeluknya dengan erat. Tubuh Bian sedikit gemetaran, tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Biandra selanjutnya jika Amara terus berkelakuan aneh.
Bian baru saja berbalik dengan diliputi gejolak emosi luar biasa hingga matanya memerah, tetapi ketika melihat Amara jatuh terduduk di ambang pintu dapur sambil menangis terisak-isak, Bian tahu bukan waktunya untuk marah.
Yang dia tahu, ada yang tak beres dengan Amara. Sambil membawa Biandra dalam pelukan, Bian menarik napas lelah, berjalan menghampiri Amara dan berjongkok di sisinya.
"Ra," kata Bian sambil menyentuh bahu Amara yang menenggelamkan wajah di antara kedua lutut. Tubuh wanita itu gemetaran, sementara isakannya semakin tak terkendali. "Sayang, kamu kenapa jadi kayak gini?"
Ketika Amara masih tak bergeming, Bian menyelipkan sebelah telapak tangan dan berupaya mengangkat wajah Amara.
Sungguh, Bian tak mengerti apa yang terjadi pada istrinya ketika wanita itu berkata sambil tersedu-sedu, "Aku ibu yang nggak berguna, ya? Nggak becus, ya? Harusnya waktu itu aku mati aja kan biar kamu sama Biandra—"
Ucapan Amara terputus ketika Bian menariknya ke dalam pelukan dan menciumi wajah sang istri. Bian tak tahu air mata siapa yang membasahi pipinya. Mungkin itu air mata Amara, atau mungkin air matanya sendiri saat menyadari kondisi kejiwaan istrinya sedikit terganggu.