Medeline Arcela Forza, dijual oleh Kakak tirinya di sebuah tempat judi. Karena hal itu pula, semesta kembali mempertemukannya dengan Javier Antonie Gladwin.
Javier langsung mengenali Elin saat pertemuan mereka yang tak disengaja, tapi Elin tidak mengingat bahwa dia pernah mengenal Javier sebelumnya.
Hidup Elin berubah, termasuk perasaannya pada Javier yang telah membebaskannya dari tempat perjudian.
Elin sadar bahwa lambat laun dia mulai menyukai Javier, tapi Javier tidak mau perasaan Elin berlarut-larut kepadanya meski kebersamaan mereka adalah suatu hal yang sengaja diciptakan oleh Javier, karena bagi Javier, Elin hanya sebatas teman tidurnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Sebatas Anak kecil (Author POV)
Entah apa yang ada dipikiran Javier saat tiba-tiba ia menyergap bibir Elin lalu mengecupnya. Javier tersadar dari keadaan saat merasakan cengkraman tangan Elin di lengannya. Saat itulah Javier tau bahwa Elin menikmati perbuatannya tanpa menolak sedikitpun.
Kepalang tanggung, Javier malah melanjutkan kegiatannya. Yang tadinya hanya mengecup bibir Elin, kini benar-benar menikmati benda kenyal nan manis itu. Melumatt sejadi-jadinya, sampai mereka nyaris kehilangan nafas.
Javier menatap lekat wajah memerah Elin saat ciumannya sudah terlepas, bersamaan dengan itu Elin itu juga tampak terengah-engah.
"Kak ..."
Suara Elin terdengar seperti menggodanya untuk melakukan lebih, padahal Elin mungkin hendak menyuarakan protes akan apa yang baru saja terjadi diantara mereka beberapa detik lalu.
Tangan Javier kembali terulur, menyentuh pipi Elin yang masih dironai warna kemerahan. Ia mengelusnya pelan dengan kontak mata yang tidak dilepaskan dari netra gadis itu.
"May i do it, again?" (Bolehkah aku melakukannya lagi?)
Javier sadar bahwa ia ketagihan atas tindakan yang tak sengaja dimulainya tadi.
Sebuah anggukan yang dilakukan Elin, membuat Javier kalap. Ia merasa diatas awan saat merasa Elin tidak keberatan. Javier seakan melupakan bahwa waktu pagi hari adalah jam rawan bagi pria.
Javier mengulumm bibir Elin berkali-kali yang dibalas Elin dengan amatiran. Meski begitu, Javier tersenyum dalam ciumannya ketika menyadari kepolosan gadis ini.
Javier menatap Elin sekali lagi. Mata, hidung dan kemudian bibir Elin yang agak membengkak karena ulahnya tak luput dari tatapan Javier. Sejak awal ia sadar bahwa Elin adalah gadis yang cantik tapi Javier sendiri yang membuat tembok pembatas karena menganggap Elin hanyalah sebatas anak kecil yang dulu sempat tinggal dikediaman orang tuanya. Pun ia tau Elin adalah seorang yang membantunya mengatasi masalah tidur, sehingga ia tidak berani melewati batas itu.
Elin sendiri mati-matian menahan perasaan yang meletup-letup dihatinya karena apa yang Javier lakukan kepadanya. Entah kenapa tubuhnya terasa melunak seakan tak bertulang. Ia pasrah dibawah kendali Javier. Elin tau apa yang terjadi saat ini sudah melewati batas kesepakatan mereka. Pun ini akan membuatnya semakin jatuh dalam perasaannya pada pria itu. Tapi, Elin tidak mampu menampik nalurinya yang begitu membuncah saat Javier memperlakukannya seperti ini. Elin hanya mengikuti arus dan berusaha larut didalam pesona pria yang menghanyutkannya.
"I want to do more, Elin." (Aku mau berbuat lebih banyak, Elin.) Javier berucap lembut sembari menatap kedua bola mata Elin secara bergantian.
Bak terhipnotis, Elin menyahuti permintaan Javier dengan anggukan lagi.
Javier kembali menciumnya, hingga lambat laun ciuman itu bergerak turun ke arah leher Elin yang jenjang.
"Ah, Kak ..." Suara lenguhan lolos dari bibir Elin. Namun itu tak menyurutkan kegiatan Javier yang sudah terlanjur dimulainya.
Tangan Javier masuk ke balik baju yang Elin kenakan, mengelus-elus perut rata gadis itu, hingga membuat Elin terkesiap karena sentuhannya.
Belum pernah ada satu pria pun yang menyentuh Elin sampai seperti yang Javier lakukan dan ini terasa sangat menggelikan sekaligus menyenangkan.
Javier tidak yakin dia akan bisa menghentikan tindakannya sendiri. Sekalipun nanti Elin mencegahnya karena kini ia sudah dipenuhi oleh has rat.
Masih dalam posisi menciumi leher Elin, tangan Javier mencari tangan Elin dan saat menemukannya Javier meletakkan jari jemari Elin di dada bidangnya yang tidak terbalut kain apapun sejak ia memutuskan tidur malam tadi.
Sentuhan Elin di kulitnya, seakan membakar Javier. Ia tidak menduga ini benar-benar akan mempengaruhinya.
Javier bergerak lebih cepat, melepas kancing kemeja teratas Elin, dan posisinya yang kini mengungkung tubuh gadis itu dibawah kendalinya.
Javier mencium Elin sekali lagi, karena ia mulai sadar bahwa ia amat menyukai rasa manis bibir itu. Mata Javier sudah sayu, pun Elin terlihat sudah sangat berantakan dibawahnya.
"Elin, aku akan melakukannya," kata Javier serak.
"Hmm, lakukan, Kak!" jawab Elin pasrah, meski hal ini bertolak belakang dengan nuraninya. Elin ingin Javier melakukannya jika pria itu sudah mencintainya, bukan hanya karena naf su, tapi entah kenapa pula Elin pun tak bisa menolaknya. Ia tau jika ia kalah karena perasannya pada pria itu.
Elin akan menyerahkan diri pada Javier dan bertekad dalam dirinya jika pria ini adalah yang pertama dan terakhir buatnya.
Javier membuang kemeja Elin yang kancingnya sudah ia buka sepenuhnya. Sebuah senyuman tersungging dari bibirnya saat melihat dada Elin yang terbungkus kain penutup yang masih menghalangi pandangannya. Javier berniat membuka pengaitnya, namun belum sempat melakukannya suara ponselnya terdengar sangat mengganggu.
Javier menghentikan kegiatannya sejenak, atensinya sedikit buyar karena ponselnya terus berisik. Dalam hati, Javier mengumpat karena hal ini.
"Wait me!" ucap Javier menatap Elin. Gadis itu hanya diam, memperhatikan Javier yang bergerak ke arah tempat tidur yang satunya dimana ponsel pria itu berada.
Mau tak mau Javier menerima panggilan itu ketika melihat nama si pemanggil. Itu adalah ibunya. Has rat Javier yang tadinya sangat meninggi, perlahan menyurut karena telepon sang ibu. Ia teringat janjinya pada ibunya terkait Elin.
"Kami tidak akan melewati batasan, Bu. Elin hanya teman tidurku."
Kalimatnya sendiri, terngiang di kepala Javier. Pria itu melirik Elin sembari menerima panggilan dari sang ibu.
"Ada apa, Bu?" tanyanya dengan suara malas.
Sedang disana, Elin menutupi diri dengan selimut saat mendengar Javier menerima panggilan dari ibunya.
Javier kembali melihat pada Elin meski telinganya mendengarkan sang ibu yang berbicara lewat sambungan seluler.
"Kau dimana, Jav? Ibu sudah datang ke Rumah Sakit tempat Bibi Arbei dirawat."
"Aku menginap di hotel," jawab Javier sambil tetap melirik Elin sesekali. "Baiklah, jika ibu sudah disana. Aku akan kesana dalam sebentar lagi," tuturnya.
"Oke, ibu tunggu."
Javier memutus panggilannya, kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia berderap menuju Elin yang sudah berbaring menyamping membelakangi posisinya.
"Elin, kita ke Rumah Sakit sekarang. Ibuku datang kesana, mau menjenguk ibumu dan bertemu denganmu."
Elin mengangguk dalam posisinya dan Javier dapat melihat hal itu.
Javier hampir berjalan menuju kamar mandi saat ia mengingat bahwa kegiatan mereka tertunda karena hal ini.
"Maafkan aku atas hal tadi. Aku melewati batasanku. Jangan kau pikirkan ya, itu tidak akan terjadi lagi." Javier mengusap kasar wajahnya sendiri, sementara Elin membeku mendengar penuturan Javier barusan.
Entah kenapa Elin kecewa atas ucapan Javier, ada rasa sesak di dadanya karena keadaan ini seakan-akan dirinya lah yang amat mengharapkan Javier, sementara pria itu seperti tersadar jika dia baru saja melakukan kesalahan.
"Apa yang kau harapkan, Elin?" batin Elin bertanya pada dirinya sendiri. "Bahkan jika kau menggadaikan tubuhmu padanya, itu tidak akan akan mengubah apapun. Perasaan Kak Javier tidak akan berubah padamu." Elin merutuki dirinya sendiri.
Bersamaan dengan itu, Elin mendengar pintu kamar mandi ditutup pertanda Javier masuk ke dalam sana.
Elin langsung mengingat kata-kata yang pernah Javier katakan padanya.
Aku bisa saja mencium mu, jika itu yang kau harapkan, tapi itu bukan berarti aku menyukaimu, jika aku melakukannya mungkin itu hanya sebatas naluriku sebagai lelaki normal.
Jadi, sekarang Elin sudah bisa mengambil kesimpulan atas apa yang Javier lakukan padanya beberapa waktu lalu.
"Dia tidak mungkin tertarik padaku. Dia hanya menganggapku sebatas teman tidur untuk mengobati traumanya. Baginya, aku hanyalah anak kecil. Ya, pantaslah dia menganggapku begitu, karena sekarang aku tau jika saat aku kecil, aku pernah dianggapnya sebagai adik saat tinggal di Mansion orangtuanya."
...Bersambung ......