Menjalani kehidupan rumah tangga sempurna adalah impian setiap wanita ketika memiliki seorang suami yang sangat mencintai dan menjadikan satu-satunya yang dicintai.
Namun, semuanya hancur ketika mengetahui bahwa pria yang selama ini dicintai telah menipunya dengan menciptakan sebuah konspirasi untuk bisa memilikinya.
Konspirasi apa yang membuat hidup seorang Diandra Ishana berubah penuh kepalsuan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dianning, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita murahan
Austin langsung melepaskan jas yang dipakainya dan digunakan untuk menutupi bagian bawah wanita yang masih tidak sadarkan diri tersebut. Kemudian ia menatap ke arah pintu dan berjalan ke arah meja kerjanya.
Dengan mencoba fokus pada pekerjaan, Austin sudah berkutat dengan banyaknya dokumen di hadapannya. Namun, ia tidak bisa berkosentrasi karena memikirkan wanita yang masih terbaring di atas sofa.
Sudah setengah jam ia memeriksa beberapa dokumen dan ketika melihat mesin waktu di pergelangan tangan kiri, mengerutkan kening begitu merasa jika wanita itu sudah lama pingsan.
"Kenapa belum datang juga? Aku tidak ingin wanita ini mati di ruanganku." Mengulurkan tangan untuk mengecek denyut nadi wanita yang pingsan itu.
Hingga ia menurunkan tangan begitu menatap ke arah sosok wanita yang mulai bergerak dan perlahan membuka kedua mata.
"Untunglah kamu belum mati," ucap Austin dengan wajah datar.
Sementara itu, Diandra yang merasa sangat pusing pada kepalanya, beberapa saat mengerjapkan kedua mata dan begitu mengingat apa yang terjadi, buru-buru bangkit dari sofa.
Ia seketika memeriksa apakah ada yang salah atau berbeda dengan tubuhnya karena khawatir jika pria yang baru dijumpai tersebut berbuat macam-macam dengan memanfaatkan kesempatan ketika tidak sadar tadi.
Begitu melihat ada jas di bagian kakinya, ada kelegaan yang dirasakan. Refleks bangkit berdiri dari posisinya. "Saya harus pergi."
Begitu berdiri, jas berwarna hitam yang diketahuinya milik pria yang sedang menatapnya itu terjatuh, sehingga ia refleks langsung mengambil dan memberikan pada pria yang masih duduk sofa.
"Terima kasih, Tuan. Saya harus pergi."
"Siapa yang mengizinkanmu pergi? Kau tidak boleh pergi!" Austin kini menahan pergelangan tangan wanita di hadapannya.
Sementara itu, Diandra merasa kepalanya berkunang-kunang dan terhuyung ke belakang. Hingga tubuhnya terhempas ke atas sofa kembali. Sampai ia tidak bisa berkata-kata lagi.
"Sepertinya kau adalah seorang wanita lemah karena sembarangan pingsan. Aku harus mengetahui namamu terlebih dahulu."
"Nama saya jelek. Anda tidak perlu tahu." Diandra berbicara dengan masih memijat pelipis dan berharap bisa meredakan rasa pusing yang melanda. "Lagipula buat apa Anda tahu nama saya?"
Austin yang masih tidak berkedip menatap segala gerak-gerik wanita itu, kini tersenyum smirk. "Katakan saja karena ini demi kebaikanmu."
Diandra kini mengangkat pandangan dan menoleh ke sebelah kiri. Ia mengerutkan keningnya karena tidak paham. "Kebaikan?"
Austin menganggukkan kepala dan mulai berbicara, "Seandainya nanti kamu mati di sini, aku bisa membuatkan batu nisan untukmu," seru Austin dengan sarkastik.
"Astaghfirullah," rengut Diandra dengan wajah masam dan sangat kesal.
"Aku hanya berjaga-jaga saja demi kebaikan bersama."
"Ini untuk yang terakhir kalinya aku bertanya." Austin berbicara dengan suara penuh ketegasan agar wanita yang seolah enggan untuk memberitahukan nama itu segera memuaskan rasa ingin tahunya.
Merasa pusing dan tidak ingin berbicara panjang lebar, akhirnya membuka suara karena berpikir namanya tidaklah penting.
"Diandra. Apa sekarang saya boleh pergi?"
Diandra membulatkan kedua mata saat mendengar perkataan dari pria yang baru saja memberikan sebuah penawaran untuknya.
Senyuman penuh seringai terpancar dari wajah Austin saat mendapatkan sebuah ide di kepalanya.
"Dengarkan aku baik-baik. Kamu harus bekerja di sini untuk membayar kesalahanmu padaku karena aku tahu kalau kamu tidak mempunyai uang untuk membayarku, bukan?"
Diandra yang merasa sangat kebingungan sekaligus senang, ingin memastikan apa yang barusan didengarnya karena takut salah dengar.
"Bekerja di perusahaan ini? Anda tidak sedang bercanda, kan?"
Refleks Austin mengangguk perlahan untuk membenarkan pertanyaan wanita dengan wajah polos itu.
Seperti biasa, ia bersikap sangat tenang dan merasa sangat senang melihat ekspresi senang dari wanita dengan wajah pucat tersebut.
Raut wajah Diandra yang pucat seketika bercahaya begitu mendengar suara bariton dari pria yang dianggap selalu memaksakan kehendak padanya.
"Bekerja di perusahaan ini tanpa interview, Tuan?" tanya Diandra dengan sorot mata penuh pertanyaan sekaligus terpancar jelas binar kebahagiaan.
Austin yang masih menatap dengan tidak berkedip saat berada pada jarak sangat dekat.
"Bukan pekerjaan yang sulit. Kamu hanya perlu menjadi sekretaris pribadi sekaligus kekasihku."
Refleks Diandra membulatkan kedua mata karena kalimat terakhir membuatnya terlihat seperti seorang wanita murahan.
"Maaf, Tuan. Cari saja orang lain karena saya sama sekali tidak tertarik." Diandra yang merasa diberikan harapan palsu, ingin segera pergi dari ruangan yang dianggap membuatnya sesak napas semata.
'Dasar bodoh! Pasti pria arogan ini berpikir aku adalah seorang wanita murahan yang bisa dibeli dengan uang.' Diandra bangkit berdiri dengan menguatkan diri dan berjalan keluar dari ruangan tanpa berniat menoleh ke belakang lagi.
To be continued...
kan sdah bahagia d austin sdh berubah jdi baik...