Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?
Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.
“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.
Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hijrah Rasa -23
“Rovinafamìe…” Teriak Sienna, wajah wanita itu merah karena amarah
Netra dan mulut Farah membulat sempurna. Gadis itu melangkah mendekati Sienna. “Gila kamu Mbak.”
Sementara Azzam menahan Farah agar tidak meledak.Pria itu mengeleng pelan mengisyaratkan untuk tidak meladeni amukan Sienna.
Sementara itu, lobi tempat mereka berdiri sudah dipenuhi para karyawan yang baru pulang kerja.
Tatapan sinis Sienna ia layangkan kepada Farah, lalu berpindah pada Azzam yang berdiri di samping gadis itu—pria tersebut tampak merangkulnya.
Pemandangan itu membuat emosi Sienna semakin memuncak.
Bisik-bisik mulai terdengar dari beberapa karyawan wanita yang sengaja menyaksikan pertengkaran tersebut.
Mengetahui hal itu, Sienna melihat kesempatan untuk mempermalukan Farah.
“Kalian tau Perempuan polos dan lugu itu…” tunjuknya pada Farah yang berdiri tak jauh dari tempatnya. “Dia sudah merebut tunangan saya, pelakor itu sudah merusak hubungan kami,”ucap Sienna dalam bahasa venesia. Terlihat air mata wanita itu menetes dipipi.
Farah terdiam.Jari-jarinya mengepal kuat.Rahangnya mengeras ingin sekali rasanya ia meninju mulut wanita itu.
“Hubungan kami sangat harmonis, dalam waktu dekat ini kami akan menikah,”lirih Sienna penuh alibi. “Tapi tiba-tiba pelakor ini datang merusaknya dan rencana pernikahan kami batal,”Sienna terisak.
Mulai terdengar jelas bisik-bisik semua orang yang ada disana.
“Jahat banget ya.”
“Dasar iblis. Muka aja polos tapi kelakuannya iblis.”
“Kalau gue jadi Bu Sienna udah mati itu perempuan di tangan gue.”
“Nggak kasihan apa?Dia kan juga perempuan. Punya empati dikitlah sama perempuan lain.”
Farah semakin mengeratkan kedua kepalan tangannya. Amarahnya sudah memuncak hingga ke ubun-ubun. Ia hendak melawan, tetapi Azzam—pria itu—lagi-lagi menahan tangannya, merangkulnya dan menahannya tetap di sana.
Melihat perlakuan Azzam pada Farah membuat Sienna semakin murka. “ Kenapa Farah, kok diam aja? Apa yang sudah lo kasih ke tunangan gue sampai dia mau milih lo?”ujar Sienna.
Lirikan sinis semakin menghujam Farah dari berbagai sisi.
Farah tidak tahan lagi kini mulai angkat suara. “Cukup ya Mbak. Terserah Mbak mau ngomong apa silahkan itu haknya Mbak..” Farah memberi jedah. “Saya tegaskan disini saya bukan pelakor. Dan mas Azzam suami saya. Yang pelakor disini Mbak bukan saya.” pungkasnya.
Sienna mendengus lalu tersenyum miring. “Dia jadi Suami lo karena hasil merebut tunangan gue kan? Begini deh, kalau mamanya pelakor anaknya juga pasti pelakor.”
Farah benar-benar sudah tidak tahan, kali ini ia benar -benar akan mengajar Sienna yang semakin memojokkannya.
Namun langkahnya kembali tertahan oleh Azzam.
“Mas.. lepasin biar aku kasih rumus kalkukus itu mulut.” geram Farah.
Azzam menggeleng pelan.”Nggak perlu kamu ladeni Fa.”Pria itu melirik Sienna lalu menarik Farah keluar dari sana.
Namun belum sampai pintu utama, Sienna kembali bersuara. Kini lengkap dengan isakannya. “Lo lebih milih jalang itu dari pada gue Zam?”
Langkah Azzam terhenti, pria itu mengelah napas kasar. Ia tidak habis pikir Sienna melakukan hal seperti itu.
“CUKUP SI!” sentak Azzam.
Pria itu kini sudah tak tahan dengan semua tuduhan Sienna pada istrinya
Sejak tadi ia diam karena tidak ingin Sienna semakin membuka aib mereka.
Namun kali ini Sienna sudah sangat keterlaluan.
“Lo belain jalang ini, Zam?” suara Sienna bergetar tubuhnya ikut bergetar.
“Kamu keterlaluan Si,” sahut Azzam suaranya melemah, ia mencoba mendekati Sienna.
“Pak, antar Bu Farah saja. Biar Mbak Sienna saya yang urus,” ucap Haris, menghentikan langkah Azzam.
Pria itu baru tiba ketika situasinya mulai mereda.
“Kamu urus dia,” sahut Azzam.
Haris hanya mengangguk.Setelah kepergian Azzam dan Farah ia segera membawa Sienna kembali keruangan kerja wanita itu untuk menenangkannya.
“Ris, kurang apa sih gue, sampai Azzam lebih milih jalang itu dari pada Gue?” ucap Wanita itu saat Mereka sudah berada di dalam ruang kerja. Kini Sienna semakin terisak.
Sembari memberikan tisu pada Sienna, Haris berucap. “Banyak Mbak.”
Netra Sienna membulat sempurna. “RIS!”
Haris hanya nyengir kuda.
Sementara di lorong kecil menuju apartemennya Farah dan Azzam berjalan beriringan coat Azzam kini sudah berpindah di tubuh Farah mereka terdiam sudah sejak meninggalkan kantor tadi.
Tidak ada lagi pembicaraan setelah meninggalkan tempat itu.
Hingga akhirnya mereka tiba di pelataran apartemen.
“Mas, kalau di pikir -pikir, benar ya kata mbak Sienna aku itu perusak hubungan kalian.” Farah memberanikan diri untuk bersuara.
Azzam memandang gadis itu menangkup kedua pipinya. “Nggak usah kamu pikirkan soal itu.”
“Tapi Mas—”
“Sekarang kamu masuk, dan istirahat. Tidak perlu menunggu saya, banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan malam ini,” ucap Azzam setelah itu memberikan kecupan singkat pada ujung rambut istrinya.
Farah mengulas senyum. “Kamu hati-hati Mas,” ujar Farah saat mereka berpamitan.
Azzam mengulas senyum dan bergegas kembali kekantor.
Farah masih berdiri disana saat pria itu sudah berlalu, ditatapnya punggung suaminya hingga menghilang di balik lorong.
Gadis itu semakin mengeratkan coat Azzam yang masih menggantung di pundaknya.
“Apa aku harus melepasmu Mas?” Sekelebat tanya itu mengantung di udara.
***
Langit Venezia malam itu terlalu gelap.Waktu sudah nyaris menunjukkan pukul dua belas malam. Kota itu sepi, hanya suara air dari kanal dan langkah kaki dari kejauhan yang sesekali terdengar.
Farah berdiri di balkon apartemennya. Matanya sayu, menatap jauh ke langit yang kelabu. Tangannya menggenggam ponsel. Sebuah email dari Rina, ibunya, baru saja masuk.
'Farah, di mana kamu? Pulang sekarang. Jangan menghindar, temui Mama. Kita harus bicara'
Farah menghela napas kasar. Baru saja kejadian di lobi kantor sore tadi, kini Rina—ibunya mulai mengusiknya. Matanya menatap layar ponsel, lalu perlahan ia mengepalkan tangan.
“Kenapa Wanita itu mencariku sekarang? Apa dia belum puas menghancurkanku?” gumamnya dingin.
Farah menepuk pelan besi pembatas balkon, dinginnya menembus telapak tangan. Tapi rasa dingin itu tidak ada apa-apanya dibanding amarah yang mengendap di dadanya.
Ia sengaja menjauh untuk menghindari Rina, tapi wanita itu masih saja mengusiknya melalui email dan pesan-pesan singkatnya
Tiba-tiba, sepasang tangan melingkar di pinggangnya. Farah tersentak sedikit, tapi tak perlu menebak. Sentuhan itu hanya milik satu orang.
Azzam. Farah menoleh. Lelaki itu berdiri di belakangnya, mengulas senyum tipis. Lalu Azzam melepas pelukan dan kini mereka saling berhadapan, saling memandang, saling membaca luka di mata masing-masing.
“Butuh pelukan?” tanya Azzam. Suaranya tenang, tapi pertanyaan itu menampar batin Farah.
Farah menggeleng pelan. Tapi sebelum sempat menjawab, Azzam sudah menariknya ke dalam dekapannya.
“Jangan simpan sendiri. Ada saya di sini,” ucapnya pelan, menundukkan wajah Farah ke dadanya. “Saya tahu hidup kamu berat, saya ada buat kamu. Ceritakan. Apa pun itu, Hm.”
Farah terdiam. Tak membalas kata, tapi tubuhnya luluh. Dalam dekapan Azzam, ia merasa tenang. Nyaman. Dan itu cukup.Ia memejamkan mata. Membiarkan pelukannya bertahan lebih lama dari seharusnya. Mungkin terlalu lama untuk seseorang yang tak sepenuhnya milik.
Lalu, seperti disabotase semesta, ponsel Azzam berdering. Pelukan mereka terlepas. Azzam berjalan menjauh ke sisi balkon, mengangkat telepon. Seketika wajah Pria itu berubah, serius. Tegang.
“Lo tunggu gue, Si… jangan ke mana-mana,” ucapnya singkat, tapi cukup jelas.
Telepon ditutup. Dalam hitungan detik, Azzam sudah bergerak masuk ke dalam kamar, mengambil sesuatu, lalu keluar lagi dengan cepat.
Farah menghampirinya. Rasa penasaran, campur khawatir.
“Ada apa, Mas?” tanyanya.
“Sienna. Dia butuh saya sekarang,” jawab Azzam. Cepat, singkat, tajam.
Farah tidak menjawab. Tidak menahan. Tidak memohon. Hanya berdiri. Membiarkan.
Baru saja ia mencoba percaya. Baru saja ia merasa mulai diterima. Baru saja ia membuka sedikit ruang di dalam dadanya—dan kini ruang itu hampa lagi. Kini Ia melihat jelas bagaimana khawatirnya Azzam pada Sienna merelakan kebersamaan mereka dan pergi untuk wanita itu.
Farah berdiri diam di tengah dinginnya angin malam. Tapi yang paling menusuk bukan cuaca, melainkan kenyataan: apa ia terlalu yakin menjadi alasan pria itu memilihnya. Atau ia hanya persinggahan rasa?
Namun Farah tak bisa berdiam disana. Langkah kakinya mulai bergerak. Tanpa mantel, tanpa rencana, ia mengejar Azzam. Diam-diam. Seolah tubuhnya bergerak sendiri—dituntun rasa yang tak menerima.
Farah melangkah menembus gelap malam distrik Cannaregio. Langkahnya pelan, tapi pasti. Di kejauhan, ia melihat Azzam—pria itu masuk ke sebuah gedung apartemen tua. Ia menunggu. Lalu naik, mengikuti dari kejauhan.
Azzam berhenti di depan sebuah pintu. Baru hendak mengetuk, pintu itu terbuka. Seorang gadis—Sienna—langsung menghambur ke pelukannya.
Dan mereka berpelukan.Dekapan itu dalam. Ada keintiman yang tak bisa ditutupi.
Farah membeku. Tak mampu berbalik. Tak juga mampu menangis.Ia hanya diam. Dingin menjalari tubuhnya, tapi hatinya lebih beku.
Pintu tertutup. Azzam dan Sienna menghilang di baliknya.
Farah melangkah pelan, seolah setiap inci lantai menahan berat yang terus menekan dadanya. Tangannya terangkat, jari-jarinya hampir menyentuh bel—tapi terhenti. Pintu apartemen itu tak tertutup rapat. Celah kecil yang cukup membuatnya melihat… dan mendengar.
“Gue nggak akan ninggalin lo, Si. Tenangin diri lo,”
suara Azzam terdengar jelas, menghantam telinganya seperti tamparan.
Farah mencelos, perlahan mundur. Tubuhnya ingin lari, tapi hatinya justru terpaku. Ia bukan siapa-siapa. Hanya bayangan dalam drama hidup Azzam. Hanya kontrak. Bukan cinta. Dan yang paling menyakitkan bukan ditinggalkan—tapi pernah diam-diam berharap.
Udara malam menembus kulitnya, menusuk sampai ke tulang. Tangis yang ditahannya menggenang di pelupuk, tapi tak jatuh. Hanya menggantung, seperti dirinya—tak pernah benar-benar mendapat tempat. Sesak itu mengalir, menekan, memaksa.
Farah akhirnya memilih pergi. Semua ini sudah cukup. Terlalu jelas tanpa perlu ia dengar lagi. Ia melangkah cepat menjauh, menelan air matanya yang tak kunjung jatuh.
Namun langkahnya terhenti ketika sebuah suara memanggil namanya.
“Farah.”
Gadis itu membeku. Ia tahu betul siapa pemilik suara itu.
.
.
.
.
TBC.