NovelToon NovelToon
Nyonya Muda Danurengga

Nyonya Muda Danurengga

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Nikahmuda / Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:382
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.

Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.

Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Fitting privat

Suasana apartemen Arsenio masih berantakan setelah amukan sebelumnya. Bingkai foto pecah di lantai, beberapa dokumen berserakan, dan satu vas porselen mahal retak di sudut. Tapi Arsenio sama sekali tak peduli. Ia duduk di kursi kerjanya, menatap kosong jendela gedung tinggi, napasnya berat, rahangnya mengeras.

Ketukan pelan terdengar.

Tok… tok… tok…

“Masuk.”

Suara itu terdengar rendah namun penuh ancaman terselubung.

Asistennya—Bagas—masuk dengan tablet di tangan dan ekspresi serba salah. Ia tahu mood bosnya berbahaya hari ini.

“Pak Arsen,” Bagas berdiri tegak. “Semua data yang Bapak minta… sudah saya kumpulkan.”

Arsenio menoleh perlahan, tatapannya dingin. “Bicara.”

Bagas menelan ludah sebelum memulai.

“Saya mulai dari masa lalu hubungan Pak Dewangga.”

Arsenio mengangguk kecil, matanya menyipit, menunggu.

“Dua tahun lalu, Pak Dewangga menikahi seorang model terkenal—Nalea Ardana. Mereka cukup lama bersama, tapi… hubungan itu berakhir karena pengkhianatan, tapi untungnya mereka belum di karuniai buah hati. Berdasarkan dari infrormasi yang saya dapat, Nalea Ardana saat itu menganut prinsip child free.”

Arsenio menaikkan satu alis. “Tunggu, pengkhianatan?”

“Ya, Pak. Model itu… ketahuan selingkuh dengan manajernya sendiri. Skandalnya besar saat itu, tapi berhasil ditutup rapi oleh keluarganya dengan uang.”

Mulut Arsenio melengkung sinis.

“Hah. Tidak heran wajahnya seperti orang yang sudah disilet masa lalunya.”

Bagas melanjutkan, lebih hati-hati.

“Setelah kejadian itu, Pak Dewangga sempat menghilang beberapa bulan. Fokus pada bisnis, memperluas investasinya, dan—”

“Apa lagi? Ada sesuatu yang penting?” potong Arsenio.

Asisten itu mengangguk pelan.

“Ini mungkin bagian yang paling relevan, Pak.”

Ia menggeser slide pada tabletnya.

“Sejak cerai dengan model itu… Pak Dewangga tidak pernah menjalin hubungan serius dengan siapa pun lagi.”

Arsenio menegang.

“Beberapa wanita pernah dikabarkan dekat, tapi semuanya tak berlangsung lama. Orang-orang terdekatnya mengatakan Dewangga jadi pria yang sangat selektif dan… sulit dibaca.”

Bagas berhenti sebentar, tak yakin apakah harus melanjutkan bagian berikutnya.

Arsenio mendengkus kesal. “Jangan berhenti. Lanjutkan.”

“Baik, Pak. Ada satu lagi.”

Raka menarik napas.

“Menurut sumber yang cukup dekat dengan keluarga Danurengga, ada kemungkinan besar bahwa Mentari adalah wanita pertama yang dibawa Pak Dewangga ke lingkup keluarga… dan tampaknya Pak Dewangga menaruh perhatian yang berbeda.”

Arsenio mengepal kuat tangannya hingga buku jarinya memutih.

Tatapannya gelap—sangat gelap.

“Jadi,” suaranya rendah dan menakutkan, “dia benar-benar serius.”

“Sepertinya begitu, Pak…” jawab Bagas pelan.

Beberapa detik hening.

Arsenio berdiri perlahan, tatapannya menusuk, aura dinginnya memenuhi ruangan.

“Kalau dia pikir aku akan diam melihatnya mengambil sesuatu yang harusnya menjadi milikku…”

Ia menatap pecahan vas di lantai.

“…dia salah besar.”

Bagas bisa merasakan hawa bahaya di balik kata-kata itu.

Arsenio menambahkan, tegas:

“Kita akan buat dia jatuh… tapi bukan dengan cara kotor yang bisa menyerang balik.”

Ia menyeringai samar.

“Kita cari celah yang paling sensitif. Semua orang pasti punya.”

Bagas menunduk. “Baik, Pak.”

Di matanya, obsesi Arsenio bukan lagi soal cinta—melainkan soal kepemilikan dan ego yang terluka.

Dan itu jauh lebih berbahaya.

******

Sementara itu di kamarnya, mentari baru selesai berdandan rapi—blus putih lembut dan rok pastel ia kenakan pagi itu—ketika suara mobil berhenti di halaman depan. Dari balkon kamar, ia melihat sosok Dewangga turun dari mobil hitamnya sambil membawa dua kotak hampers besar. Jantungnya otomatis berdebar lebih cepat.

Tok… tok… tok…

Ratna sendiri pagi itu yang membuka pintu, sedikit terkejut namun segera tersenyum ramah.

“Dewangga… kebetulan sekali. Silakan masuk.”

Dewangga menunduk sopan, memberikan senyuman hangat yang membuat Ratna refleks merapikan sedikit sanggul sederhananya karena gugup pagi-pagi di datangi calon menantu.

“Permisi, Bu Ratna. Ini sedikit buah tangan untuk Bapak dan Ibu.”

Ia menyerahkan hampers elegan berisi teh premium, madu hutan, dan kue-kue artisan.

Ratna tersenyum sumringah. “Aduh, Nak… Untuk apa repot-repot begini?”

“Saya yang minta maaf, Bu. Kemarin banyak mengganggu waktu keluarga,” balasnya sopan.

Adikara muncul dari dalam rumah, memakai kemeja santai dan aroma kopi masih menempel dari ruang bacanya.

“Dewangga.”

Ia menyambut dengan jabatan tangan mantap. “Silakan duduk sebentar.”

Mentari turun dari tangga… dan Dewangga refleks menatapnya lebih lama dari seharusnya.

Blus putih sederhana itu entah kenapa membuat mentari terlihat… kalem, cantik, dan—di matanya—semakin pantas disandingkan dengannya.

“Mas Dewangga…” sapa Mentari pelan.

“Hari ini kamu cantik sekali.”

Ucapannya meluncur begitu saja, membuat mentari mengerjap kikuk, pipinya merona samar.

Ratna berdehem kecil. “Uhuk… mau minum apa, Dewangga? Biar pelayan kami siapkan.”

“Apa saja, Bu.”

Mereka duduk sebentar, berbincang ringan mengenai rencana perjalanan ke Jakarta.

“Jadi kalian ke Jakarta untuk fitting dan bahas busana?” tanya Adikara.

“Betul, Pak,” jawab Dewangga sopan. “Di D’Or Mode, saya sudah hubungi Gladis—dia orang kepercayaan saya. Ahlinya wedding couture. Semua detail busana akan saya percayakan pada Gladis dan Mentari.”

Adikara mengangguk pelan.

Ratna sesekali melirik putrinya, melihat bahasa tubuh Dewangga yang begitu… memperhatikan.

Setelah cukup berbincang, Dewangga berdiri. “Kalau begitu, kami pamit dulu, Pak, Bu.”

“Hati-hati di jalan ya,” pesan Ratna dengan tatapan hangat penuh restu yang perlahan tumbuh.

______

Di dalam mobil, suasana begitu nyaman. Mentari membawa map berisi sketsa kebaya yang ia buat semalam. Dewangga sempat meliriknya yang memegang map itu hati-hati, seperti sedang membawa sesuatu yang rapuh.

“Sketsa semalam kamu selesaikan?” tanya Dewangga sambil mengemudi.

Mentari mengangguk. “He… hanya gambaran kasar.”

“Kalau itu hasil gambar setengah ngantuk… harusnya aku takut lihat hasil kamu dalam kondisi penuh,” jawab Dewangga tenang tapi menggoda halus.

Mentari menahan tawa, menunduk malu.

“Mas Dewangga juga jangan berlebihan.”

“Aku tidak berlebihan.”

Tatapannya fokus ke jalan, namun suaranya rendah—jujur.

“Kalau soal kamu, aku memang cenderung berlebihan.”

Mentari terdiam, hatinya berputar halus seperti mobil yang melaju di tol.

_______

Gedung D’Or Mode menjulang elegan dengan dinding kaca. Di dalam, interiornya modern-luxury, penuh deretan gaun haute couture yang tampak mahal hanya dengan sekali pandang.

Seseorang mendekat—wanita dengan rambut bob sleek, blazer nude, dan clipboard di tangan.

“Pak Dewangga.” Gladis tersenyum profesional. “Sudah saya siapkan private room. Dan ini pasti Mbak Mentari?”

Mentari mengangguk. “Iya, Mbak. Mentari.”

“Saya sudah lihat sketsa dari Pak Dewangga. Tapi saya ingin dengar langsung dari Mbak Mentari—apa vibe yang Mbak inginkan untuk kebaya dan gaun?”

Mentari membuka map, menyerahkan sketsa. Gladis membisu beberapa detik, matanya berbinar.

“Ini… cantik sekali. Detailnya unik tapi tetap anggun. Vibe-nya modern klasik dengan garis feminin.”

Mentari tersipu malu. “Masih banyak kekurangan, Mbak.”

“Tidak. Ini luar biasa.” Gladis menatap Dewangga. “Bapak yakin mau mempertahankan elemen tradisional sekuat ini? Karena…”

“Iya.” Dewangga memotong halus. “Semuanya mengikuti kemauan Mentari.”

Kalimat itu membuat mentari menoleh cepat.

“Mas… jangan semua juga.”

“Semua,” ulang Dewangga lembut. “Yang penting kamu nyaman.”

Gladis tersenyum geli melihat dinamika keduanya.

“Baik. Kita bahas detailnya.”

Gladis mengarahkan kedua calon pengantin itu ke ruang fitting privat.

Mentari duduk di sofa beludru sambil melihat kain-kain yang disodorkan Gladis—songket lembut, brokat prancis, payet silver halus.

Dewangga berdiri agak jauh, menyilangkan tangan, tapi matanya tak pernah benar-benar lepas dari mentari.

Setiap kali mentari bingung memilih, Dewangga maju.

“Kamu lebih cocok yang ini.”

“Atau yang itu, biar match dengan kulit kamu.”

“Kalau gaun resepsi, aku ingin kamu yang paling bersinar.”

Mentari tersenyum kecil, dadanya menghangat.

Hari itu, tanpa mereka sadari, hubungan mereka memasuki fase baru—lebih dekat, lebih nyata, lebih mengikat.

Dan untuk pertama kalinya, mentari benar-benar merasakan:

“Mungkin… aku tidak salah.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!