📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan Permintaan Maaf Yang Terabaikan
Hari baru menyingsing dengan cahaya matahari yang menyilaukan, menyusup ke ruang tamu rumah Rom yang berantakan, tapi bagi Rom, pagi ini terasa seperti kelanjutan mimpi buruk kemarin. Ia terbangun dengan tubuh kaku, rompi anti-peluru masih menempel ketat di dada—lengkap dengan magasin cadangan yang seharusnya sudah dikembalikan ke markas setelah misi. "Apa-apaan ini?" gumamnya kesal, menarik rompi itu dengan kasar tapi tak langsung melepasnya. Entah bagaimana, dalam kelelahan malam tadi, ia pulang begitu saja tanpa prosedur. Rom sendiri tak mengerti—mungkin otaknya sudah mati rasa setelah hari yang penuh kekacauan. Frustrasinya mulai mendidih: "Kenapa aku selalu lupa hal kecil kayak gini? Seperti kemarin, semuanya berantakan gara-gara detail kecil!"
Pagi ini, Rom yakin sepenuh hati—bahkan lebih dari yakin, ia muak: tak akan pegang tugas seperti kemarin lagi, sekalipun dibayar selangit. "Cukup sudah dengan helikopter telat, musuh kabur, dan tim yang lemot!" gerutunya dalam hati, bangkit dari sofa dengan gerakan kasar. Pundaknya masih memar dari perkelahian dengan Elesa, tapi itu kecil dibanding pegal seluruh tubuh setelah seharian tanpa makan minum. Ia melirik mangkuk mie instan sisa semalam, yang diseduh sepulang misi—dingin, lembek, dan tak menggugah selera. Tapi ia habiskan juga, sendok demi sendok, sambil mengunyah dengan kesal. "Mie basi ini aja lebih bisa diandalkan daripada tim helikopter kemarin," pikirnya sinis.
Rom meraih ponsel dari meja, layarnya penuh notifikasi yang menumpuk seperti tumpukan masalah. Ada banyak pesan belum terbaca, dan ia gulir dengan jari gemetar karena marah. Pertama, pesan protes dari Air-Rium: "Goblok, 5 menit lebih awal harusnya heli sudah di tempat. Kita hampir mati gara-gara keterlambatanmu!" Rom mendengus kesal, frustrasinya memuncak—ia ingat betul bagaimana heli musuh lolos karena keterlambatan itu. Jarinya mengetik balasan cepat: "Akhir cerita, kadang pahlawan datang terlambat. Tapi kalau lo yang komando, mungkin lebih parah." Dikirim. "Mereka protes, tapi kemarin aku yang di lapangan sendirian!" gumamnya, melempar ponsel sebentar ke sofa.
Ia gulir lagi, melewati pesan grup yang penuh evaluasi misi—pujian setengah hati dicampur kritik: "Koordinasi lemah, musuh kabur karena heli telat." Setiap kata seperti menusuk, membuat Rom semakin frustrasi. "Mereka bilang aku bagus, tapi kenapa aku yang disalahin? Aku sudah pikirkan instruksi berulang kali, tapi nyatanya gagal!" Saat gulir ke bawah lebih jauh, nama Elesa muncul—pesan baru-baru ini, dan tiba-tiba Rom teringat pesan kemarin yang terinterupsi oleh panggilan mendadak. Ada lima pesan dari dia, dari kemarin hingga pagi ini, semuanya belum dibaca. Rom klik, tapi hatinya sudah gelisah sebelum membaca.
- "Rom, maaf ya, aku ga bermaksud buat kalian bertengkar."
- "Rom apa kamu memaafkan ku, aku janji tak akan mengulang lagi."
- "Rom kamu udah dengar berita militaryum belum, ada misi baru, lebih awal dari jam mu masuk, tapi karna kamu komando heli, jadi kamu harus berangkat lebih awal."
- "Rom kamu marah banget ya, sampe pesan ku ga ada yang dibuka."
- "Oke lah. Maaf Rom udah ganggu, aku pasti buang-buang kuota mu. Pesan ku ga penting, gausah di pikir."
Rom tersentak, mangkuk mie-nya terlupakan. Kata-kata Elesa seperti tamparan—penyesalan, kekhawatiran, dan akhirnya menyerah. Frustrasinya bercampur rasa bersalah: "Kenapa aku nggak buka kemarin? Sekarang dia pikir aku marah banget! Padahal aku cuma sibuk dengan misi sialan ini." Ia goreskan kepala kuat-kuat, rambutnya semakin berantakan. "Aku harus jawab apa?... Lah... Guru IPS juga ga mungkin bisa jawab... Sebanjir ini masalahnya!" gumamnya pelan, suaranya gemetar karena campuran marah dan bingung. Elesa selalu perhatian, bahkan ingatkan soal misi, tapi ia abaikan. "Ini semua gara-gara tugas kemarin—bikin aku lupa segalanya!"
Ia ambil sendok lagi, menyendok mie dengan kasar, tapi nafsu makannya hilang. Jarinya mulai mengetik balasan: "Aku ga marah..." Tapi belum selesai, notifikasi baru muncul—pesan dari Marckno, diikuti panggilan telepon langsung. "Sialan, lagi-lagi interupsi!" geram Rom dalam hati, meletakkan ponsel sebentar sebelum mengangkat dengan nada lemas.
"Halo," sapa Rom datar, suaranya serak dan penuh kelelahan.
"Kamu hebat, Rom. Ini awal yang bagus sebagai komando," kata Marckno dengan semangat yang membuat Rom semakin kesal—seperti tak paham betapa frustrasinya ia.
"Ya, ya, ya," balas Rom singkat, tak ingin dengar pujian palsu.
"Ayolah, jangan kayak orang lemah gitu. Kemarin kamu sudah sangat bagus, cuma ada sedikit yang perlu ditingkatkan aja. Makanya musuh ada yang kabur. Besok lagi coba, kata Air-Rium, kalau nindih helikopter lawan dari atas itu agak... Ya... Pokoknya ada cara yang lebih efisien. Kita evaluasi bareng, ya?"
"Ya ya yaaaaaa," gumam Rom lagi, suaranya naik nada karena frustrasi. "Mereka bilang tingkatkan, tapi kemarin aku sudah mati-matian! Musuh kabur gara-gara tim helikopter lambat, bukan salahku!" Pikirannya melayang ke momen kemarin—melihat heli musuh lolos melalui teleskop, sementara ia hanya bisa geram tak berdaya.
"Nanti berangkat habis tengah hari aja, ke lantai 3 Militaryum. Temui saya dan tamu," lanjut Marckno.
"Tamu?... Anak Air-Rium lagi, Pak?" tanya Rom curiga, ingat betapa rewelnya mereka kemarin—protes sana-sini, tapi tak bantu di lapangan.
Marckno diam sejenak, lalu: "......" Telepon terputus tiba-tiba. Rom mengerang kesal, memeriksa layar: "Batreku abis, Pak?" Tapi jelas bukan—Marckno yang mematikan, mungkin kesal atau sengaja. "Sekarang dia marah? Padahal aku yang frustrasi seharian!" Rom lempar ponsel ke sofa dengan kasar, menggelengkan kepala kuat-kuat. Hari baru, tapi frustrasi lama masih menumpuk seperti rompi di badannya—tekanan misi, pesan Elesa yang terabaikan, dan panggilan yang mengganggu. Ia bangkit, melepas rompi pelan sambil menghela napas panjang, tapi dalam hati, ia tahu: ini belum selesai. "Kenapa hidupku selalu begini? Satu misi selesai, yang baru datang lagi," gumamnya, tatapannya kosong ke jendela, siap menghadapi hari yang pasti penuh kekacauan lagi.
Rom menggerutu sepanjang perjalanan ke Gedung Militaryum, Jakarta Pusat. Mobil tuanya meraung pelan di antara kemacetan pagi, AC mati membuat kabin panas seperti oven, dan keringat menetes di dahinya yang sudah memerah karena amarah mendidih. "Sialan, kenapa harus sekarang?" gumamnya, tangan kanannya sesekali menyentuh arloji di pergelangan—jam tua yang selalu jadi saksi bisu kegagalannya. Jarumnya berdetak pelan, seperti ejekan halus atas misi kemarin: helikopter telat, musuh kabur, dan tim yang tak bergeming. "Kau tahu betul, ya? Setiap detik yang hilang bikin aku kayak badut di depan Marckno."
Sesampainya di parkiran, Rom parkir sembarangan, pintu mobil dibanting keras hingga bergema. Gedung tiga lantai itu menjulang abu-abu, dingin dan tak ramah, seperti benteng yang menelan jiwa-jiwa lelah. Ia naik tangga ke lantai dasar, melewati gerbang keamanan dengan anggukan setengah hati pada penjaga. Udara di dalam berbau oli dan kertas lama, tapi bagi Rom, itu bau kegagalan. Rekan-rekannya melirik—Shadaq, komandan tim 6 yang dulu merekam aksinya, menyapa: "Rom, pagi! Misi kemarin oke, bro?" Rom hanya mendengus, wajahnya semakin panas, pipi terasa pedas seperti disiram cabai. "Oke? Musuh kabur gara-gara heli Air-Rium yang lo semua bilang 'siap'!" balasnya tajam, suaranya bergema di koridor. Juliar "Pria Gorila", si gemuk berpangkat tinggi, terkekeh dari pojok, tapi Rom tak peduli. Frustrasinya sudah meluap—ia muak dengan koordinasi lemah, pantauan ketat Air-Rium, dan pujian palsu Marckno. "Cukup. Aku tarik diri dari komando heli ini. Biar yang lain yang kualahan."
Ia berjalan cepat menuju lift, tangga darurat terlalu melelahkan untuk mood seperti ini. Pintu lift terbuka di lantai 3, koridor sempit penuh dokumen strategi dan peta operasi. Ruang kerja Marckno di ujung, pintu kayu polos dengan plakat emas: "Jenderal Instruksi". Rom hantam pintu dengan tinju, tak menunggu jawaban. Ia dorong terbuka, napasnya tersengal, arloji di tangannya bergetar seolah merasakan badai.
Marckno mendongak dari meja, alis terangkat, tamu di sampingnya—seorang pria berjas dari Air-Rium—terdiam. Tapi yang bikin Rom tersentak adalah Elesa, berdiri di sudut ruangan dengan map strategi di tangan, matanya melebar kaget. Rom meliriknya sekilas—wajahnya yang lembut, rambut diikat rapi, dan tatapan itu... campur khawatir dan lega? Hatinya berdegup, amarahnya sempat goyah, tapi cepat pulih. Ia berdiri tegap, mata menyala, wajahnya merah membara.
"Aku! Resign!" serunya, suara pecah tapi tegas, melempar surat imajiner ke udara. Ruangan hening, hanya detak arloji yang bergema pelan, saksi bisu keputusannya yang panas.