Delia Aurelie Gionardo hanya ingin mengakhiri pernikahan kontraknya dengan Devano Alessandro Henderson. Setelah satu tahun penuh sandiwara, ia datang membawa surat cerai untuk memutus semua ikatan.
Namun malam yang seharusnya menjadi perpisahan berubah jadi titik balik. Devano yang biasanya dingin mendadak kehilangan kendali, membuat Delia terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan.
Sejak malam itu, hidup Delia tak lagi sama—benih kebencian, dendam, dan rasa bersalah mulai tumbuh, mengikatnya kembali pada pria yang seharusnya menjadi "mantan" suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadia_Ava02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBMS - Bab 23 Mobil Delia?
Pagi ini Delia sedang membereskan toko kecilnya, toko kue dan bunga yang ia rawat dengan sepenuh hati. Uang tabungannya ia gunakan untuk menyewa rumah sederhana, sementara toko itu ia beli dari hasil menjual mobilnya.
Sesekali rasa rindu pada Kakek Arthur, Mama Raisa, dan Papa Bryan menyeruak di hatinya. Disaat seperti ini, ia sangat membutuhkan sosok keluarga. Apa lagi ini adalah anak pertama Delia. Ia masih takut jika memikirkan tentang bagaimana saat melahirkan nanti, apa rasanya akan sangat sakit? Segala ketakutan tubuh dalam hatinya. Tapi ia harus kuat, bukan saatnya untuk menyerah.
"Semoga kalian baik-baik saja disana. Aku selalu merindukan kalian," bulir air mata jatuh membasahi pipinya. tapi langsung ia usap buru-buru.
Delia tak mau larut dalam kesedihan. "Kamu harus kuat demi bayi ini," gumamnya lirih sambil mengusap perutnya yang sudah besar.
Di tengah kesibukannya, Yuka, gadis berusia 20thn yang menjadi karyawannya muncul membawa nampan kue.
"Kak Del, ini kue yang baru matang. wanginya haruum sekali..." katanya sambil tersenyum.
Delia ikut tersenyum. "Wah, bagus sekali, Yuka. Nanti kita tata yang rapi, ya."
Ditengah obrolan ringan itu, tiba-tiba saja ponsel Delia berdering. Nama 'Jessy' muncul di layar. Ia langsung menjawab.
📱"Halo, Jessy," suaranya agak terburu.
📱"Nona Delia! Akhirnya aku bisa bicara dengan Nona juga." suara Jessy terdengar lega sekaligus antusias. "Bagaimana kabar Nona? Dan… bagaimana kandungannya?"
Delia mengusap perutnya sambil tersenyum kecil. 📱"Aku baik-baik saja. Bayi ini juga sehat. Kamu sendiri bagaimana? Sudah lama kita tidak bicara."
📱"Aku sibuk sekali belakangan ini, Nona. Maaf ya…" Jessy terdengar menahan napas sejenak sebelum melanjutkan, "Tapi.. ada yang ingin aku sampaikan,"
Delia mengerutkan kening. "Ada apa, Jess?"
Suara di seberang telepon jadi lebih berat.
"Saya mendengar kabar, jika kondisi Kakek Arthur akhir-akhir ini memburuk, nona. Perusahaan sekarang dipimpin Tuan Bryan. Dan…" Jessy berhenti sejenak, "Tuan Devano… dia masih mencari Nona. Sejak Nona pergi, Tuan Devano belum pernah kembali sampai saat ini."
Deg!
Delia terdiam lama. Tangannya gemetar menggenggam ponsel.
Bayangan sang kakek langsung berputar diotaknya saat ini. Rasanya ingin sekali Delia melihatnya langsung sekarang juga. Tapi tak mungkin, tak mungkin dengan keadaannya yang sekarang ini.
📱"Aku…" bibirnya bergetar, "aku belum siap kembali, Jess. Aku bahkan belum tahu harus bagaimana…"
📱"Saya mengerti, Nona." suara Jessy pelan. "Saya hanya ingin Nona tahu. Mungkin nona Delia bisa mempertimbangkan kembali,"
Delia menghela napas panjang. 📱"Terima kasih sudah mengabari, Jess. Kamu sangat baik dan begitu perduli padaku,"
📱"Sama-sama nona," jawab Jessy.
📱"Tapi ngomong-ngomong.. Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi. Aku bukan atasanmu lagi sekarang, kita adalah teman," ujar Delia.
📱"Baiklah kalau begitu... Delia,"
Delia tersenyum, 📱"Begitu lebih baik,"
Tiba-tiba saja ia melihat sebuah mobil hitam berhenti didepan tokonya.
📱"Jessy, aku telfon lagi nanti ya?" ucap Delia lalu.
📱"Oh, baiklah. Aku juga harus kembali bekerja," ucap Jessy.
📱"Kalau begitu aku tutup dulu," kata Delia mengakhiri panggilan.
Tut-
Begitu telfon dimatikan, seorang pria kini telah berdiri persis dibelakang Delia
Pria itu memperlihatkan Delia dari belakang, menatapnya dengan lembut. "Sepertinya kamu sangat sibuk hari ini?"
***
Diruangannya, ponsel Alvan mulai berdering. Ia langsung meraihnya, berharap jika yang menghubunginya kali ini adalah Delia. Mama Raisa juga masih disana, ia menatap lekat wajah Alvan seolah tengah menaruh sebuah harapan besar.
Tapi saat layar dibuka, ternyata itu panggilan dari salah satu temannya. Ia mengatakan jika tak pernah melihat Delia.
Hati Alvan kembali mencelos, ia seperti benar-benar kehilangan semangatnya. Dari tatapan mata Alvan, mama Raisa seolah sudah tau jawabannya.
Tak mau membuat kecewa, akhirnya ia kembali mencoba menghubungi nomor Delia kembali, berharap jika kali ini panggilan itu akan tersambung. Tapi dering nada panggilan masih terdengar berulang-ulang di telinga Alvan.
'Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif…' suara operator otomatis membuatnya semakin gusar. Ia meletakkan ponsel di meja kerjanya, mengusap wajahnya kasar.
Mama Raisa yang duduk di seberangnya hanya bisa menangis pelan. "Tolong, Nak Alvan… kalau kamu sudah tahu di mana Delia… beritahu kami…" Suara wanita itu lirih, basah oleh air mata.
Alvan memejamkan mata. Semakin hari, permintaan itu menjadi beban di pundaknya.
Sore itu ia menutup laptopnya dan meninggalkan ruang praktik. Dengan sisa tenaga ia menghubungi beberapa teman lama Delia yang ia kenal dari kampus, dari acara sosial, dari pasien. Satu per satu ia tanyai. Hasilnya nihil. Tak ada yang tahu ke mana Delia pergi, seolah ia benar-benar lenyap dari peta.
Alvan bersandar pada kap mobilnya, menatap langit sore yang memerah. Pikirannya penuh dengan wajah Delia, senyum tenangnya, dan… perutnya yang pasti kini semakin besar. Hitungan minggu di kepalanya berputar cepat, delapan bulan. Itu berarti sebentar lagi waktunya melahirkan.
"Ya Tuhan… semoga dia tidak sendirian," gumamnya lirih. Dulu, saat pertama Delia menghilang, ia sempat berharap Devano tidak akan pernah menemukannya. Ia yakin Devano hanya akan menyakiti Delia lagi. Tapi setelah melihat ketulusan Mama Raisa, mendengar kabar Devano yang mencarinya ke mana-mana, hatinya jadi berubah.
Kini yang ia rasakan hanya cemas, takut Delia kontraksi sendirian, takut tidak ada yang menolong. Alvan menggenggam ponselnya erat-erat. Dalam diam ia mengucapkan doa yang sama, berulang kali, seperti mantra yang ia paksa keluar dari hatinya.
"Semoga Devano cepat menemukan tentang keberadaan Delia… semoga Delia baik-baik saja…"
***
Siang itu, mobil hitam yang ditumpangi Devano melaju pelan di jalan kota yang ramai. Sejak tadi tatapannya kosong ke luar jendela, menyapu setiap sudut jalan, setiap trotoar, seolah berharap dari arah mana pun bisa muncul sosok yang selama ini ia cari.
Tangannya meremas lutut, napasnya berat. Empat bulan, puluhan kota, ribuan wajah. Tapi tetap saja kosong.
"Tuan Dev…" suara Liam memecah lamunan. "Sepertinya di depan ada sesuatu. Banyak orang berkumpul."
Devano menoleh malas. Dari balik kaca, terlihat orang-orang berkerumun. Suara klakson bersahut-sahutan. Lalu lintas mendadak macet.
"Ada apa?" tanya Devano dengan nada datar.
"Sepertinya ada kecelakaan, Tuan," jawab Liam sambil melirik kaca depan.
Devano menyandarkan kepala. "Kalau begitu kita tunggu sebentar…" katanya pendek.
"Baik." Liam mengangguk. Mobil berhenti.
Suara orang-orang semakin jelas, lalu sirene samar terdengar. Devano mencoba mengintip, tapi dari sudutnya hanya tampak kepala-kepala orang. Ia mengembuskan napas panjang, rasa tidak sabar mulai merayap.
Beberapa menit kemudian kerumunan mulai menepi. Jalanan sedikit lengang. Liam menyalakan mesin dan menjalankan mobil perlahan.
Devano masih menatap ke luar, setengah acuh. Sampai… matanya terpaku pada satu titik. Jantungnya seolah berhenti berdetak.
"Liam… berhenti!" suaranya mendadak tajam.
Liam kaget. "Ada apa, Tuan?"
"Berhenti sekarang!" Devano hampir berteriak.
Liam langsung menginjak rem. Mobil berhenti di pinggir jalan. Devano mencondongkan tubuh ke depan, menatap ke arah kanan.
"Kenapa, Tuan?"
Devano menunjuk ke depan, wajahnya memucat. "Plat itu… plat mobil itu…"
Liam ikut melongok. Di depan, di antara orang-orang, sebuah mobil silver terhenti dengan pintu samping terbuka. Plat nomornya jelas terlihat.
"Itu mobil Delia…" suara Devano parau, seperti tidak percaya.
Liam menelan ludah. "Apa kita_"
Devano sudah membuka pintu sebelum Liam selesai bicara. Langkahnya cepat, napasnya memburu, menyibak kerumunan orang di depan. Dalam kepalanya hanya satu nama berulang-ulang.. Delia.
Dev jangan jadi di paksa Delia nya
di bujuk secara halus dunk🤭
kasih maaf aja Del tapi jangan cepat² balikan lagi ma Dev
hukumnya masih kurang 🤣
Akui aja toh kalian kan sudah bercerai
biar Dev berjuang samapi titik darah penghabisan 🤭
semangat ya Dev awal perjuangan baru di mulai
kak sekali² cazy up dunk kak🤭🤭
Biar bisa lihat cicit nya
semua butuh waktu dan perjuangan 🤭🤭
Siksa terus Dev dengan penyesalan 🤗🤗🤗
Makan to rencana mu yg berantakan 😏😏
Ayo Dev Nikmati penyesalan mu yg tak seberapa 😄😄
jangan pakai acara nangis Bombay ya Dev 🤣🤣🤣
biar nyesel to Dev
bila perlu ortu Dev tau kalau mereka sudah cerai dan bantu Delia buat sembunyi
soalnya mereka pasti senang kalau tau bakalan punya cicit sama cucu🤭🤭
tunggu karma buatmu ya Dev 😏😏