NovelToon NovelToon
Gara-Gara COD Cek Dulu

Gara-Gara COD Cek Dulu

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama / Wanita Karir / Romansa / Trauma masa lalu
Popularitas:973
Nilai: 5
Nama Author: Basarili Kadin

Berawal dari pembelian paket COD cek dulu, Imel seorang guru honorer bertemu dengan kurir yang bernama Alva.
Setiap kali pesan, kurir yang mengantar paketnya selalu Alva bukan yang lain, hari demi hari berlalu Imel selalu kebingungan dalam mengambil langkah ditambah tetangga mulai berisik di telinga Imel karena seringnya pesan paket dan sang kurir yang selalu disuruh masuk dulu ke kosan karena permintaan Imel. Namun, tetangga menyangka lain.

Lalu bagaimana perjalanan kisah Imel dan Alva?
Berlanjut sampai dekat dan menikah atau hanya sebatas pelanggan dan pengantar?

Hi hi, ikuti aja kisahnya biar ga penasaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Basarili Kadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pesan Paket

Saat perjalanan pulang sekolah, Gian menyusulku dengan motornya yang melaju pelan menyeimbangi langkah kakiku.

"Teh, bareng aku ayok!" Ajaknya.

"Engga ah, tadi juga berangkatnya gak bareng," jawabku sambil terus berjalan, begitu juga dengan dia.

"Ya sadar diri aja lah, Teh. Masa ada calonnya aku duduk di sana," ungkapnya.

"Kirain marah," timpalku.

"Enggak lah."

"Hemmh." Aku merasa tidak yakin.

"Cepet naik, Teh. Nanti kita ngobrol pas sampai!" Ajaknya lagi.

"Mau ngobrolin apa?"

"Ayo naik pokoknya, jangan banyak tanya!"

Waduh!

Aku pun buru-buru menaiki motornya, sampai akhirnya kita pun sampai di kosan.

"Oke, makasih!" ucapku.

"Iya iya iya."

"Ya sudah, masuk dulu!" Ajakku langsung membukakan pintu selebar mungkin.

"Loh, kok gak dihabisin sih lauknya aku kasih tadi?" tanyanya melihat ke arahku.

"Mau dihabisin sekarang, tadi malu dilihatin terus sama A Alva."

"Oh, Alva namanya. Bagus juga." Pujinya.

"Emang gak akan basi itu lauknya?" Lanjutnya bertanya.

"Semoga aja enggak," ucapku sambil mencicipi.

"Nah, masih enak kok ini," ujarku.

"Ya sudah."

"Kalau mau minum-minum aja, anggap aja rumah sendiri," kataku sambil membuka tas dan menyimpannya di ranjang.

"Tumben gak buka kerudung," ujar Gian mengangkat sebelah alisnya.

"Gapapa," kataku tidak banyak alasan.

"Aaaah, pasti karena dia Alva ya, ayo ngaku ayo," ledek Gian sambil menunjuk wajahku.

"Ish, apaan sih enggak. Ya gini aja aura baru, style baru, penampilan baru, biar lebih baik lagi gitu." Sangkalku sambil ikut duduk di depannya.

"Alaah, bohong aja bisanya."

"Enggak, ih!" Aku menepisnya.

"Tapi teh, aku dukung kok teteh sama dia, ya mungkin dia juga yang teteh butuhkan saat ini. Kalau gak percaya, teteh kasih tanjakan aja sama dia," kata Gian.

"Maksudnya?"

"Seperti diberi tantangan," jawabnya.

"Kalau soal teteh marah sih, dia bisa mengimbangi. Seperti apa ya, pokoknya malah teteh yang kesel sendiri karena kalah gak bisa buat dia marah, tapi tetep pengen tahu gimana marahnya dia. Teteh takut salah aja, takutnya pas nikah jadi pemarah gak seperti sekarang gitu. Tapi kalau soal tegas dia tegas, ketambah wajahnya yang cuek gitu kaya sulit banget buat senyum, rasanya tuh seperti diuji dosen killer." Jelasku.

"He he, lucu juga," kata Gian.

"Engga lah."

"Teh, aku percaya sama dia. Tapi aku juga gak yakin sama teteh yang seperti ini. Aku emang gak bisa nebak ke depannya gimana, tapi rasanya akan terjadi sesuatu sama teteh. Tapi aku akan coba untuk selalu ada, selagi aku masih hidup," ucap Gian yang membuatku seketika merasa sedih.

"Loh, kok ngomongnya gitu?"

"Iya, Teh. Tapi aku coba untuk selalu ada. Teteh mungkin paham bagaimana aku, karena teteh juga mengalami posisi aku. Tapi, teteh gak separah aku, cuma aku paham teteh gimana. Makanya A Alva cocok buat teteh, tapi aku gak yakin dengan tetehnya." Jelas Gian.

"Sudahlah, jangan bahas itu. Pokoknya kamu di sini teteh seneng. Jangan gitulah, rasanya kayak mau ditinggal aja, gak mau ah," rengekku berkaca-kaca.

Meski baru mengenal sebentar, tapi rasanya memang seperti sudah dekat, ya meskipun awal-awal memang canggung, tetapi setelah terbiasa bersama jadinya nyaman dan berasa sangat dekat bahkan dekat banget seperti ada ikatan aja rasanya.

"He he, ya sudah iya-iya. Tapi ya gimana, aku emang lagi jujur ini. Semua ada di tangan teteh."

Jujur saja aku tidak terlalu paham dengan apa yang Gian ucapkan, kadang berbelit kadang juga teka-teki.

"Satu lagi, jangan mudah terkecoh oleh omongan orang lain yang belum dibuktikan oleh teteh sendiri," imbuhnya.

Aku mengangguk saja, biar nanti saja dipikirkan atau biarkan berjalan sesuai alurnya. Mungkin nanti juga aku paham bagaimana maksudnya.

Setelah ngobrol dan berbincang sangat lama, Gian pamit untuk pulang karena hari sudah mulai gelap.

"Teh, aku pulang ya. Bentar lagi magrib," ujarnya.

"Ya sudah, iya. Hati-hati, dan makasih juga untuk nasihatnya hari ini," ucapku tersenyum.

"Ya, sama-sama, Teh. Sebisa mungkin aku jaga teteh walaupun cemburu, eh," kata Gian refleks menutup mulut dengan tangan kanannya diikuti tawa kecil.

"Lah, masa gitu."

"Iya engga-engga teh. Oya, teteh masih punya banyak bekal kan?" tanyanya setelah berada di lawang pintu.

"Ada."

"Berapa?"

"200 ribu lagi."

"Kemarin dikasih bekalnya cuma segitu, ya?" tanya Gian mundur kembali.

"Engga, tapi dipinjam teman."

"Berapa?"

"Ya ada deh pokoknya."

"Itu 200 cukup buat berapa hari?"

"Sudahlah, nanti kalau habis bilang kamu deh," kataku agar dia cepat pulang.

"Bener ya, kalau uangnya habis nanti bilang aku," kata Gian masih menatapku dan belum melangkah kembali.

"Iya nanti bilang," jawabku.

Dalam hati mana mungkin juga gitu dia punya uang, punya uang dari mana sih dia?

"Teteh jangan banyak mikirin aku aneh-aneh atau ngeremehin, aku punya uang hasil kerja aku, kok. Bukan hasil minta dari siapa pun apalagi mencuri."

"Heem, iya. Gian iya. Jangan gitu dong natapnya, serem amat!" ujarku karena dia berbicara dengan mata yang sinis lagi, bicaranya pun ketus, mungkin karena tersinggung.

"Aku pulang!"

Dia berpamitan untuk kedua kalinya tanpa senyuman, seperti tadi pagi di sekolah wajahnya berubah jadi sangar dan dingin. Gian langsung menyalakan motornya dan melaju begitu saja tanpa bilang apa-apa lagi, biasanya suka berteriak "Ayo, Teh! Aku pulang, ya. Aku duluan, ya." Biasanya juga begitu, tetapi mungkin raut wajahnya berubah setelah hatiku berkata meremehkan mungkin. Tapi aku merasa tidak meremehkan, cuma dari mana gitu dia punya uang dan kerja apa?

***

Seminggu berlalu, komunikasiku bersama Alva pun baik-baik saja, begitu juga dengan Gian. Karena dari kemarin-kemarin aku ditanya kapan pesan paket dan kapan pesan paket, akhirnya aku pun pesan paket dan paketnya datang sore ini.

Sambil menunggu paket datang, aku pun scroll-scroll sosmed.

Dring!

Dring!

Dring!

Aku membulatkan mata tatkala mendapatkan tiga pesan dari grup sekolah.

Ya, Pak Ardi lolos CPNS dan akan pindah tugas di tempat lain. Tandanya hanya aku saja yang memiliki gelar honorer, malu tidak malu tetapi ya bagaimana aku juga butuh pekerjaan meskipun sedikit tidak ada harganya, apalagi di swasta untuk PPPK aja tidak ada. Terus kenapa aku tidak ikut CPNS? Aku ketinggalan info guys dan sebelumnya pun aku sibuk ngurus bisnis, tidak kepikiran daftar CPNS karena belum mengajar di sekolah. Namun, yang penting aku tidak diusir aja dari sekolah hehe. Meskipun honorer kita kan sekolah dulu, sarjana dulu, dan itu tidak gratis.

Dalam pesan grup tersebut menyebutkan bahwa semua guru harus merayakan acara kelulusan Pak Ardi dan juga acara perpisahan juga untuk Pak Ardi, plus harus memberi kado juga. Sebenarnya tidak masalah sih, tapi kalau soal kado dari masing-masing guru, harus memberikan apa sama dia? Kado apa untuk laki-laki dewasa yang juga sebagai ASN, ya kali ngasih boneka bertuliskan "Selamat Mengabdi Untuk Negeri." Tidak, ini tidak lucu.

Tok tok tok!

"Permisi, Paket!"

Akhirnya dia sudah datang, aku pun berdiri dari dudukku di ranjang menuju kaca untuk merapikan rambut dan membelitkan kerudung pasmina.

Aku pun membuka pintu dan menyambutnya.

"Iya, A Alva terima kasih atas pengiriman paketnya," ucapku riang penuh tawa.

"Astagfirulloh, apaan sih gitu. Ya sudah nih, cek dulu. Biasanya juga dicek," kata Alva sambil memberikan paketnya kepadaku.

"Ye, bukannya seneng disambut dengan baik, kan pas pertama mah enggak. Tapi maaf ya, malu juga awal-awal aku dah kayak badut heuheu," kataku sambil menerima paketnya.

"Sudah lewat, jangan diingat. Ya sudah mau dicek apa enggak?" tanya Alva.

"Ya dicek dong, A Kurir," kataku centil sambil masuk, pintunya kubuka lebar tandanya Alva boleh masuk dan pintu wajib terbuka jika ada tamu.

"Jangan gitu ah, gak suka. Kalau berdua sih gapapa, kalau dilihat orang ga suka Aa nya, Neng." Tegur Alva.

"Emhh, ya sudah. Kalau ilfeel kan bisa cari yang lain."

"Apaan sih kok ngomongnya gitu, Neng ini berubah-ubah juga ya sikapnya, sifatnya juga. Aneh, tapi unik."

"Terserah Aa lah!" kataku sambil menyuruh dirinya duduk dan aku memberikan ponselku padanya.

"Aa yang rekam, Neng yang buka paketnya. Gitu kan, harus bilang sebut "Neng?""

Alva menanggapi dengan senyuman. Jujur saja, soal hati belum ada rasa berbunga-bunga, biasa aja tapi jika dilihat orang lain lama-lama suka kikuk dan degdegan, kalau soal nyaman Alva sudah membuatku nyaman karena selalu mendengar ceritaku juga.

"Kenapa gak pake kamera, Neng?"

"Kameranya sudah Neng simpan di rumah. Kan buat nanti nikah, kalau di sini takut rusak atau ada jail terus nyuri."

Alva kembali mengangguk, mungkin hatinya bilang "ooh."

Setelah rekam videonya nyala, aku pun langsung membuka paketnya, dicek baik-baik takut ada cacat, dan paket yang aku pesan saat ini adalah skin care. Sebenarnya tidak ada video unboxing juga mungkin tidak apa, tetapi takutnya barang palsu jadi kan jaga-jaga, apalagi jika untuk wajah.

"Aman, Neng?" tanya Alva ketika aku mengecek produknya satu persatu.

"Aman sih, A. Ya sudah, sudahin aja videonya. Aman kok ini," kataku.

"Alhamdulillah kalau gitu."

"Heem, Aa gak pulang? Apa mau nunggu Neng kasih uang tambahan?"

"Lah kok gitu sih, gak mau lah dikasih uang sama Neng, terus harus banget ya pulang?" tanyanya dengan wajah kecewa.

"He he, bercanda deh bercanda. Terus kenapa ini Neng harus banget pesan paket?"

"Ya biar kita bisa ketemu lah."

"Kan bisa ketemu malam atau sengaja datang."

"Gak bisa sembarang, Neng."

"Lah kenapa?"

"Ya makanya pesan paket dong, kan Aa nya kerja atuh masa gak paham."

"Oh iya-iya. BTW, makasih uangnya ya A. Ini Neng belikan ke skin care, gapapa kan?" tanyaku.

Memang salah sih, seharusnya bilang sebelum pesan, tetapi aku malah bilang setelah pesanan sampai.

Dia diam, dia menatapku dengan tajam, wajahnya semakin mendekat ke arahku, ketajaman tatapannya benar-benar seperti menusuk mataku.

"Ke-kenapa?" tanyaku terbata-bata.

1
Bonsai Boy
Jangan menunda-nunda lagi, ayo update next chapter sebelum aku mati penasaran! 😭
Hiro Takachiho
Gak sabar nih baca kelanjutannya, jangan lama-lama ya thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!