Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 23
Ibu Maisaroh menarik napas panjang, berusaha tetap tegar meski hatinya sendiri ikut perih melihat menantunya begitu hancur. “Alea, yang penting sekarang kamu sembuh dulu, ya? Urusan Faiz… nanti kita bicarakan lagi. Ibu nggak akan diam. Ibu janji.”
Alea menggigit bibirnya, menahan isak. Ia tidak menjawab, hanya menggenggam tangan Ibu Maisaroh lebih erat, seolah butuh pegangan di tengah badai yang ia hadapi sendirian.
Di dalam hati, Ibu Maisaroh menyimpan kemarahan pada putranya sendiri. Tapi ia memilih diam, tak ingin membuat Alea makin terluka dengan kata-kata yang mungkin justru memperparah keadaan.
-
Mobil Faizan melaju mulus di jalan raya. Wajahnya datar, tanpa emosi, seolah semua yang baru saja terjadi di rumah sakit bukan hal penting baginya. Tatapannya lurus ke depan, kedua tangannya mantap di setir, sama sekali tak tergoyahkan oleh isak tangis Alea atau suara ibunya yang memohon.
Bagi Faizan, semua itu hanya beban tambahan yang mengganggu hidupnya. Ia sudah memutuskan sejak lama: pernikahan ini hanyalah kewajiban, bukan cinta. Dan ia tidak akan pernah membiarkan dirinya terjebak dalam perasaan yang sama sekali tidak ia inginkan.
Ponselnya bergetar, pesan dari sekretarisnya tentang jadwal rapat pagi ini muncul di layar. Faizan hanya melirik sekilas sebelum kembali fokus ke jalan.
Mobilnya semakin dekat dengan gedung perusahaannya—bangunan tinggi yang bagi Faizan jauh lebih berarti daripada rumah tempat Alea menunggunya dengan air mata.
Di kaca spion, wajahnya terlihat dingin, kaku, tanpa sedikit pun rasa bersalah. Seolah-olah meninggalkan Alea dalam keadaan sakit bukanlah sebuah dosa. Bagi Faizan, ia hanya melakukan apa yang perlu dilakukan: bekerja, membangun kekuasaan, dan menjaga jarak dari hal-hal yang baginya tidak berguna, termasuk cinta.
Begitu sampai di pelataran kantor, Faizan mematikan mesin mobil dan keluar dengan langkah mantap. Sorot matanya tegas, penuh wibawa—persis seperti seseorang yang tidak pernah menoleh ke belakang, apalagi pada wanita yang memanggilnya suami.
Lift berhenti di lantai teratas. Begitu pintu terbuka, seluruh karyawan yang melihat Faizan langsung menunduk hormat. Sosok pria itu memang selalu membawa aura tegas yang membuat orang enggan berlama-lama bertatap mata dengannya.
“Selamat pagi, Pak Faizan,” sapa sekretarisnya dengan sopan sambil menyerahkan berkas rapat.
Faizan hanya mengangguk tipis, langkahnya cepat menuju ruang kerjanya yang luas. Begitu pintu tertutup, suasana hening menyelimuti ruangan berwarna abu-abu elegan itu. Ia duduk di kursi kerjanya, membuka laptop, dan mulai meneliti laporan keuangan tanpa sedikit pun memikirkan apa yang terjadi di rumah sakit.
Beberapa kali sekretaris masuk membawa dokumen untuk ditandatangani, dan Faizan selalu menandatanganinya dengan cepat, tanpa basa-basi. Tidak ada senyum, tidak ada kata-kata ramah. Hanya profesionalisme kaku yang membuat semua orang terbiasa menjaga jarak darinya.
Telepon berdering—salah satu investor meminta waktu untuk bertemu. Faizan langsung menyetujuinya tanpa ragu. Urusan bisnis selalu diutamakan, sementara urusan rumah tangga bahkan tak masuk dalam daftar pikirannya.
Di sela-sela kesibukan itu, ponselnya bergetar. Ada beberapa pesan dari ibunya yang masuk, tapi Faizan hanya melihat sekilas sebelum mematikan layar.
“Tidak ada yang lebih penting dari perusahaan ini,” gumamnya pelan, nyaris seperti janji pada dirinya sendiri. Wajahnya tetap dingin, tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Bagi Faizan, cinta, rumah tangga, bahkan anak yang dikandung Alea… semua itu bukan prioritas. Dan sepertinya tidak akan pernah menjadi prioritas.
--
Hingga akhirnya di sore hari menjelang malam, kantor mulai sepi. Faizan baru saja menutup rapat panjang dengan para investor ketika sekretarisnya masuk tergesa-gesa.
“Pak Faizan,” ujarnya hati-hati, “ada telepon dari cabang perusahaan di Surabaya. Mereka meminta Bapak hadir langsung pergi malam ini. Ada masalah serius yang perlu diselesaikan.”
Faizan hanya diam sesaat, kemudian meraih ponselnya. “Siapkan tiket penerbangan malam ini,” ujarnya tenang, tanpa sedikit pun keraguan.
Sekretaris itu sempat ragu. “Tapi, Pak…—”
“Saya bilang siapkan,” potong Faizan dingin. Tatapannya tegas, membuat siapa pun tak berani membantah.
Tak lama kemudian, ponselnya berdering—nama Ibu Maisaroh muncul di layar. Faizan mengangkat dengan nada datar.
“Faiz, kamu di kantor?” suara ibunya terdengar dari seberang, penuh ketegangan.
“Ya. Ada apa, Mah?”
“Alea masih di rumah sakit. Dan kamu bilang sama sekretaris tadi, malam ini juga kamu mau keluar kota?!” nada suara Ibu Maisaroh meninggi, jelas tak terima.
Faizan memejamkan mata sebentar, lalu menjawab dengan dingin, “Ini urusan pekerjaan, Mah. Penting. Faiz harus pergi malam ini juga.”
“Faiz!” suara ibunya terdengar pecah. “Istrimu sakit, dia baru saja kehilangan janinnya, dan kamu lebih memilih pekerjaan daripada keluarga sendiri? Apa hatimu sudah betul-betul membeku?!”
Faizan terdiam sesaat, lalu dengan suara rendah namun tetap tegas ia berkata, “Faiz sudah bilang dari awal, saya nggak bisa jadi suami seperti yang Mama harapkan. Urusan Alea, Mama saja yang urus. Faiz akan kirim biaya apa pun yang diperlukan.”
Dan sebelum ibunya sempat membalas, Faizan menutup telepon. Ia berdiri, mengambil jasnya, dan melangkah keluar kantor menuju mobil yang akan membawanya ke apartemen—dengan wajah setenang batu, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.
-
Langit sudah gelap ketika Faizan tiba di apartemen. Ia berjalan masuk tanpa ekspresi, langkahnya mantap menuju kamar. Koper hitam besar sudah ia keluarkan dari lemari, dan tanpa banyak pikir, ia mulai memasukkan beberapa setelan jas, kemeja, serta dokumen-dokumen penting.
Teleponnya terus bergetar di meja—nama Ibu Maisaroh muncul berkali-kali. Faizan melirik sekilas, tapi tidak berniat mengangkatnya. Baginya, pembicaraan tadi sudah cukup jelas.
Suara notifikasi pesan pun berdatangan. Satu dari ibunya, satu lagi dari nomor rumah sakit—mungkin kabar terbaru tentang Alea. Namun Faizan hanya memasukkan charger ke dalam koper tanpa memedulikan apa pun.
Di cermin, ia sempat melihat bayangan dirinya: wajah tegas, tatapan tajam, tanpa sedikit pun tanda-tanda goyah. Seolah-olah pernikahan, istri, bahkan anak yang baru saja hilang… tak berarti apa-apa baginya.
Ponselnya kembali berdering. Kali ini suara sekretaris terdengar dari seberang ketika Faizan akhirnya mengangkat,
“Pak, tiket ke Surabaya sudah saya pesan. Pesawat berangkat pukul sembilan malam. Sopir akan menjemput Bapak lima belas menit lagi.”
“Baik,” jawab Faizan singkat, lalu menutup telepon.
Begitu semua siap, ia mengunci koper dan mengenakan jas. Sekali lagi, ponselnya berdering—kali ini dari ibunya, tapi Faizan hanya memasukkan ponsel itu ke saku tanpa berniat mengangkatnya.
Ketika pintu apartemen tertutup di belakangnya, Faizan berjalan menuju lift dengan wajah setenang batu. Tak ada satu pun di dunia yang bisa membuatnya kembali malam ini—tidak ibunya, tidak Alea, bahkan tidak kenyataan pahit kehilangan anak yang baru dikandung.
Bagi Faizan, hidup hanya bergerak maju, dan perasaan… adalah sesuatu yang sudah lama ia kubur dalam-dalam.
...----------------...
Bersambung...