Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 23
✨ Versi Revisi:
Mobil Faizan melaju mulus di jalan raya. Di balik kaca depannya yang bening, wajahnya tampak datar—tanpa emosi, tanpa goyah sedikit pun. Seolah apa pun yang baru saja terjadi di rumah sakit hanyalah urusan kecil yang tak layak disimpan dalam pikiran. Tatapannya lurus ke depan, kedua tangannya kokoh menggenggam setir, tidak sedikit pun terguncang oleh tangis Alea atau suara ibunya yang memohon dengan air mata.
Bagi Faizan, semua itu hanya beban tambahan.
Pernikahan baginya bukanlah cinta, melainkan kewajiban yang harus dijalani. Ia sudah berjanji sejak lama: tidak akan pernah membiarkan dirinya terjebak dalam perasaan yang hanya akan melemahkannya.
Ponselnya bergetar. Sekilas, ia melirik pesan dari sekretaris—pengingat jadwal rapat pagi ini. Satu tarikan napas, lalu pandangannya kembali ke jalan. Tak ada ruang untuk hal lain selain pekerjaan.
Gedung perusahaannya mulai tampak di kejauhan, berdiri megah dengan dinding kaca memantulkan cahaya matahari sore. Bagi Faizan, bangunan itu jauh lebih bermakna daripada rumah tempat Alea menunggunya dengan air mata. Di kaca spion, wajahnya terlihat kaku dan dingin, seolah meninggalkan istrinya di rumah sakit bukan dosa, melainkan keputusan rasional.
Ia mematikan mesin mobil dan keluar dengan langkah mantap. Sorot matanya tajam, penuh wibawa—seperti seseorang yang tidak pernah menoleh ke belakang, apalagi pada wanita yang memanggilnya suami.
Lift membawanya ke lantai teratas. Begitu pintu terbuka, para karyawan langsung menunduk hormat. Aura dingin dari pria itu membuat siapa pun segan untuk menatap terlalu lama.
“Selamat pagi, Pak Faizan,” sapa sekretarisnya sopan sambil menyerahkan berkas rapat.
Faizan hanya mengangguk tipis. Langkahnya cepat dan pasti menuju ruang kerjanya yang luas. Begitu pintu tertutup, kesunyian langsung menyelimuti ruangan berwarna abu-abu elegan itu. Ia duduk, membuka laptop, dan mulai meneliti laporan keuangan—seolah waktu berhenti untuk urusan lain di luar angka dan data.
Beberapa kali sekretaris datang membawa dokumen. Faizan menandatanganinya tanpa bicara, tanpa senyum. Profesional, tapi dingin. Seakan-akan manusia hanyalah alat di balik sistem yang ia bangun.
Telepon di meja berdering. Salah satu investor meminta jadwal pertemuan mendesak.
“Jadwalkan sore ini,” ucapnya singkat.
Tak ada keraguan—bisnis selalu lebih dulu.
Di sela kesibukan itu, ponselnya kembali bergetar. Nama ibunya muncul di layar. Faizan hanya menatap sejenak sebelum menekan tombol kunci layar.
“Tidak ada yang lebih penting dari perusahaan ini,” gumamnya pelan, nyaris seperti janji pada dirinya sendiri.
Cinta, rumah tangga, bahkan anak yang baru dikandung Alea… semua itu bukan prioritas. Dan mungkin tak akan pernah menjadi satu.
---
Sore menjelang malam. Kantor mulai lengang.
Faizan baru saja menutup rapat panjang dengan para investor ketika sekretarisnya masuk tergesa-gesa.
“Pak Faizan,” ujarnya cemas, “ada telepon dari cabang Surabaya. Mereka meminta Bapak datang malam ini juga. Katanya, masalahnya cukup serius.”
Faizan diam sejenak. Tatapannya tajam, namun tak menunjukkan tanda ragu. “Siapkan tiket penerbangan malam ini.”
“Tapi, Pak—”
“Saya bilang siapkan,” potong Faizan datar. Nada suaranya cukup untuk menutup ruang diskusi.
Beberapa menit kemudian, ponselnya berdering lagi. Nama “Mama” muncul di layar. Ia mengangkat.
“Faiz, kamu di kantor?” suara Ibu Maisaroh terdengar dari seberang, bergetar oleh emosi.
“Ya. Ada apa, Mah?”
“Alea masih di rumah sakit. Dan Mama dengar kamu mau keluar kota malam ini?” nada suaranya meninggi, nyaris tak percaya.
Faizan menutup mata sesaat. “Ini urusan pekerjaan, Mah. Penting. Faiz harus berangkat malam ini.”
“Faiz!” suaranya pecah. “Istrimu baru kehilangan anak kalian. Apa kamu sama sekali tidak punya hati?”
Hening beberapa detik. Lalu dengan nada dingin tapi tenang, Faizan menjawab,
“Faiz sudah bilang dari awal, Faiz nggak bisa jadi suami seperti yang Mama harapkan. Urusan Alea, biar Mama yang urus. Faiz akan kirim semua biaya.”
Klik.
Telepon diputus.
Ia berdiri, mengambil jas, dan keluar dari ruang kerja dengan langkah mantap. Wajahnya tetap datar—seolah percakapan barusan hanyalah bagian kecil dari rutinitas yang tak perlu disesali.
...----------------...
Bersambung...
. udik bgt
novel sedang di ajukan oleh editor agar alurnya tetap seperti ini...
trimakasih sudah mau membantu Author yg lagi bimbang..
semoga kedepannya semakin baik yaa say..
/Kiss//Kiss//Kiss/