Dijebak oleh sahabat dan atasannya sendiri, Adelia harus rela kehilangan mahkotanya dan terpaksa menerima dinikahi oleh seorang pria pengganti saat ia hamil. Hidup yang ia pikir akan suram dengan masa depan kacau, nyatanya berubah. Sepakat untuk membalas pengkhianatan yang dia terima. Ternyata sang suami adalah ….
===========
“Menikah denganku, kuberikan dunia dan bungkam orang yang sudah merendahkan kita."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3 ~ Rencana Zahir
Bab 3
Sudah berada di ruang rapat, Adel dan Mona duduk bersisian. Hampir semua tim sudah berada di ruang rapat. Mengelilingi meja yang dibuat melingkar di mana paling ujung adalah tempat Zahir.
“Abi, nggak ada snack-nya?”
Adel yang tadinya menunduk sambil menggoyangkan pulpen yang dia pegang pun menoleh. Rupanya Abimanyu memasuki ruangan dan membagikan air mineral.
“Tidak ada instruksi untuk siapkan snack, mungkin rapatnya tidak lama,” sahut Abimanyu.
Adel mengingat ucapan Abimanyu saat di pantry agar tidak menatapnya terlalu lama khawatir ia jatuh cinta. Saat ini pria itu berdiri di antara dirinya dan Mona, meletakan botol air di hadapannya dan menoleh. Mereka kembali beradu tatap, refleks Adel langsung mengalihkan pandangan dan menunduk. Tatapan mata Abimanyu sebenarnya teduh bagai lautan dan ia khawatir bisa tenggelam di dalamnya.
“Selamat pagi.”
“Selamat Pagi, Pak.” Serempak peserta rapat menjawab sapa Zahir yang baru saja memasuki ruangan.
Tentu saja Adel langsung menatap pria itu dan mengikuti pergerakannya berjalan memasuki ruangan lalu menempati kursi yang tersedia. Bahkan saat Zahir menatap seluruh tim yang hadir dan sempat menatap ke arahnya sepersekian detik, ujung bibir pria itu tertarik membentuk senyum meski tidak terlalu kentara.
Lagi-lagi Adel mengulum senyum. Mona mendekat dan berbisik. “Ada sesuatu diantara kalian dan kamu harus cerita.”
“Iya, nanti.”
Zahir menjadi pusat perhatian sebagai pemimpin rapat dan Adel menatap pria itu, sebagian pikirannya menerawang. Suara yang sedang mengarahkan timnya terdengar seperti alunan syair cinta begitu syahdu dan mengetuk hati.
Di tengah penjelasannya, tatapan Zahir sempat tertuju pada Adel dan cukup lama. Mata mereka seakan bicara dan mengungkapkan banyak kalimat.
“Terima kasih atas kerja sama kita semua. Bukan saya yang luar biasa, tapi kerja tim ini yang luar biasa. Semangat terus untuk menaklukan pasar dan realisasikan kerjasama sebanyak-banyaknya.”
Salah satu peserta rapat bersorak dan semua mendukung dengan tepuk tangan.
“Dan terima kasih juga untuk rekan kita yang sebelumnya mendampingi saya menyelesaikan kontrak kerja sama. Terutama untuk Adelia dan Mona, ini tugas pertama kalian dan sukses. Saya akan berikan rekomendasi untuk HRD agar menyegerakan kontrak kerja kalian, cukup sudah masa magang kalian.”
“Yes, terima kasih Pak Zahir,” teriak Mona sambil tepuk tangan begitu pula yang lain dan Adel hanya tersenyum sambil mengangguk.
Hikmah lain dari kejadian malam itu, rasanya Adel ingin ikut berteriak bersama Mona. Namun, ia tahan rasa itu. Ia ingin merayakannya hanya dengan Zahir, di waktu yang tepat.
Zahir pun mengarahkan dan menjelaskan rencana kerja berikutnya serta proses mengingatkan apa yang sudah terjadwal dan date line lalu mengakhiri pertemuan.
“Adel, bawa ke ruangan saya kerja sama yang kemarin.”
“Baik, pak,” ujar Adel lalu mengulum senyum padahal Zahir sudah berlalu pergi tanpa membalas ucapannya begitupun dengan sebagian peserta rapat.
“Hei, kalian mau kemana?” tanya Desi, salah satu senior di divisi marketing pada Adel yang sudah berdiri begitu pun dengan Mona. “Malah diam, saya tanya kalian mau kemana?”
Adel dan Mona sempat saling tatap, tidak menduga kalau pertanyaan itu untuk mereka.
“Oh, balik ke meja kita, Mbak,” sahut Adel.
“Rapikan dulu ruangan ini!” titah Desi.
“Tapi mbak, ‘kan bisa minta Abimanyu," cetus Mona.
Adel menyenggol lengan Mona agar mengiyakan saja instruksi dari seniornya itu.
“Masa training kami hampir selesai, Pak Zahir mau bantu kontrak kerja kami dipercepat.”
“Tapi belum ‘kan? Ya udah kerjain aja. Jangan karena sudah terlibat pada proyek besar lalu besar kepala. Buktikan saja apa kalian masih kreatif dan inovatif, saya nggak yakin.” Desi tersenyum sinis lalu keluar dari ruang rapat.
“Awas lo,” gumam Mona.
“Udah, ayo kita rapikan.” Adel menuju ujung meja tempat Zahir lalu mematikan proyektor.
“Aduh, Del, aku ke toilet dulu ya. Mules.” Mona bergegas sambil memegang perutnya.
Adel hanya menggeleng pelan sambil tersenyum lalu berusaha menggulung layar proyektor. Terdengar pintu terbuka.
“Cepat banget, katanya mulas,” ujar Adel lalu menoleh. Ternyata bukan Mona yang datang lagi melainkan Abimanyu. Masih dengan gaya acuh dan dingin langsung memasukan botol air mineral ke dalam plastik sampah yang dia bawa.
Adel kembali menggulung layar dan ternyata macet. Berusaha menarik dan menatap di mana salahnya sampai tidak tergulung sempurna.
“Jangan ditarik dulu!”
Refleks Adel menoleh, ternyata Abimanyu sudah berdiri di belakangnya dan begitu dekat. Perbedaan tinggi tubuh mereka yang berbeda membuatnya harus agak mendongak Tangan Abimanyu memperbaiki posisi tali penarik.
“Yang ini tidak boleh terbelit.”
Aroma maskulin dari tubuh Abimanyu menguar di hidung Adel, ada aroma kayu-kayuan yang ramah di hidung.
“Sudah, coba tarik lagi.”
Gegas Adel menarik dengan cepat, apalagi ia merasa Abimanyu sedang menatapnya.
“Jangan terlalu cepat, nanti tidak seimbang dan tiangnya roboh.”
“Oh.”
“Apa mbak Adel selalu gugup atau karena dekat dengan saya?” tanya Abimanyu dan cukup mengganggu.
Adel kembali menoleh. “Nggaklah, saya nggak gitu.”
“Oke.”
Abimanyu melanjutkan kembali membersihkan meja dan membawa plastik berisi botol air mineral.
“Dih, nggak jelas,” gumam Adel. Sudah selesai dengan urusan menggulung layar ia pun meninggalkan ruangan.
Abimanyu menoleh saat Adel melewatinya menuju pintu dan menyunggingkan senyum.
***
“Hah, serius?” tanya Mona.
“Iya, aku sama Pak Zahir … one night stand,” sahut Adel lirih. “Seharusnya malam itu aku nggak minum.”
“Tunggu, tapi dia nggak tinggalkan kamu gitu aja ‘kan?”
“Ya nggak sih. Dia masih ada waktu aku bangun. Sumpah, kalau dia udah pergi aku nggak akan tahu siapa yang sudah lakukan itu dan yang penting dia bilang mau tanggung jawab.”
“Bagus dong,” cetus Mona dengan suara agak tinggi.
Adel langsung memberi isyarat agar Mona bicara pelan. “Jangan kencang nanti ada yang dengar.”
“Bagus dong kalau Pak Zahir mau tanggung jawab, bisa jadi dia memang sebelumnya sudah tandai kamu. Suka atau pengagum gitu.”
“Masa sih? Tapi kalau benar begitu, kenapa harus pakai cara salah sih. Harusnya pendekatan normal saja, aku juga nggak mungkin menolak,” tutur Adel malu-malu.
“Jadi, kamu udah bukan peraw4n?” tanya Mona lirih dan dijawab Adel dengan gelengan. “Pak Zahir pake pengaman nggak?”
“Mona, apaan sih.”
“CK, ini serius. Malam itu dia pakai pengaman atau nggak. Gimana kalau nggak pake, terus bulan depan kamu hamil. Jangan kelamaan minta dia cepat tanggung jawab, tapi tanggung jawab yang dimaksud kayak gimana?”
Adel terdiam memikirkan ucapan Mona tadi. Benar juga, bisa saja dia hamil kalau Zahir tidak memakai pengaman. Dia pun tidak sadar akan hal itu dan tidak mengerti apakah malam itu dalam periode subur atau tidak.
“Del,” panggil Mona menyadarkan Adel dari lamunannya. “Ngelamun sih, pasti mikirin Pak Zahir. Waktu rapat juga kelihatan banget kamu ngeliatin dia terus, taunya terpesona.”
“Masa sih, aku nggak gitu deh.”
“Kayaknya kamu jatuh cinta ya. Jatuh cinta sama Pak Zahir. Gimana, dia mainnya kuat nggak?”
“Mona, udah ah. Jangan bahas ini.”
Wajah Adel sebenarnya merona karena Mona membahas masalah yang agak tabu untuk diperbincangkan dan benaknya masih sibuk dengan kekhawatiran kalau yang terjadi di malam itu akan mengakibatkan ia berbadan dua. Meski Zahir akan bertanggung jawab, tapi akan lebih baik kalau ia tidak hamil di luar nikah.
“Adel, diminta ke ruang bapak, sekarang. Ngerumpi saja kalian,” pekik Desy.
“Oh, iya mbak.” Adel pun berdiri dan mengeluarkan map dari tasnya. Aku ke ruangan Pak Zahir dulu.”
“Cie-cie.” Mona terkekeh setelah mengejek, sedangkan Adel yang mengerucutkan bibirnya lalu menatap sekeliling berharap tidak ada yang mendengar dan tahu apa yang dibicarakan oleh mereka. “Jangan kentara banget kalau kamu suka sama dia. Biasa aja, kalau perlu jual mahal.”
“Iya.”
Sampai di depan ruang kerja Zahir, sekretaris pria itu mempersilahkan Adel masuk. Mengetuk pintu dan membukanya. Adel terpaku saat berada di tengah pintu menatap Zahir dan mendengar apa yang diucapkan pria itu, cukup mengusik hati dan pikiran.
\=\=\=\=\=
siap siap aja kalian berdua di tendang dari kantor ini...
hebat kamu Mona, totally teman lucknut
gak punya harga diri dan kehormatan kamu di depan anak mu
kalo perlu zahir nya ngk punya apa " dan tinggal di kontrakan biar kapok
sedia payung sebelum hujan