Sebuah pernikahan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali pingsan.
Udara malam terasa menusuk kulit, dingin yang merayap ke tulang seakan bersekongkol dengan kegelapan untuk menambah penderitaan Rosalina.
Lampu-lampu jalanan sebagian ada yang mati, sehingga menyisakan bayangan panjang yang bergerak mengikuti langkah gontainya.
Tubuh Rosalina terlihat masih begitu lemah, dan setiap tarikan nafasnya terasa seperti memikul beban berat. Sementara itu ditangannya, dimana bekas tusukan jarum infus yang tercabut, masih mengeluarkan darah.
Rosalina mencoba menahan rasa sakit di pelipisnya, namun semakin jauh ia berjalan, maka kepalanya terasa berputar begitu hebat, seakan langit di atasnya ikut berputar bersama dengan tanah yang dipijaknya.
Wanita cantik itu menghentikan langkah sejenak, seraya bersandar pada tiang listrik yang dingin. Bibirnya bergetar dan bola matanya terlihat berkaca-kaca, lalu sebuah kalimat pun meluncur lirih dari bibirnya.
"Mas Handrian…" ucapnya dengan suara yang pelan dan pecah, seolah tercekat oleh rasa sesak di dadanya.
"Jadi ini sebabnya… selama satu tahun kita menikah, kamu tidak pernah mau menyentuhku…."
Matanya memejam erat, dengan air mata yang serta merta kembali mengalir dipipinya.
"Ternyata… ada wanita lain yang selalu membuatmu dirimu puas… Bahkan wanita itu kini mengandung darah dagingmu." lanjutnya lagi, dan hampir terdengar seperti sebuah ratapan.
Bayangan kebersamaan yang selama ini ia pertahankan, dengan makan malam yang sunyi di meja makan, bahkan sapaan dingin setiap pagi yang ia dapatkan dari Handrian, serta tatapan pria itu yang selalu menghindari matanya. Semua itu kembali berkelebat didalam kepalanya.
Satu demi satu kepingan itu menyatu menjadi jawaban yang begitu pahit, karena ternyata Handrian tidak pernah benar-benar menginginkannya.
Rosalina berjalan lagi, meski saat itu langkah kakinya terlihat goyah. Sesekali ia terhuyung, yang membuat tubuhnya nyaris jatuh diatas trotoar. Namun ia tetap memaksakan agar dirinya bisa melangkah, seakan setiap langkahnya itu dapat menjauhkan dirinya dari belenggu cinta yang semu.
"Selama ini aku… yang terlalu bodoh…" bisiknya dengan suara parau.
"Aku menunggu dan berharap… bahwa suatu hari kamu akan benar-benar melihatku. Tapi ternyata aku hanya istri di atas kertas."
"Aku mengira, saat kemarin kamu memaksaku untuk tinggal, dan mengatakan kamu ingin memperbaiki segalanya adalah benar, tapi ternyata... Kamu malah telah menanam benih dirahim wanita lain."
Kini kepala Rosalina terasa semakin berat. Bahkan setiap cahaya lampu kendaraan yang lewat membuat matanya perih. Dan ia pun hanya bisa menutup wajahnya dengan tangan, sambil menahan rasa pening yang semakin menjadi-jadi.
Namun, di balik semua rasa sakit itu, ada bara kecil yang tumbuh didalam dirinya. Apalagi ketika ia mengingat wajah Bu Norma yang penuh kepuasan ketika menghancurkan hatinya.
Rosalina semakin sadar, bahwa ia tidak boleh lagi hidup dalam bayang-bayang mereka.
Wanita itu juga kembali berbisik pada dirinya, meskipun suaranya terdengar begitu rapuh.
"Aku harus bisa berdiri sendiri. Aku juga tidak boleh jatuh hanya karena lelaki yang tidak pernah benar-benar mencintaiku." ucapnya lagi, sambil menghapus air mata yang membasahi pipinya.
Dengan langkah yang terseok, dan tubuhnya yang sedikit terhuyung. Ia akhirnya duduk di bangku kayu yang ada di pinggir jalan, seraya menengadahkan wajahnya, dan menatap langit malam yang terlihat kelam.
Bulan terlihat samar di balik awan, seakan ia ikut bersembunyi dari air mata seorang perempuan yang merasa hatinya sedang patah berkeping-keping.
Tangis Rosalina kembali pecah saat itu, namun kali ini bukanlah sebuah tangisan yang seperti sebelumnya.
Tangisannya saat ini merupakan tangisan yang bercampur antara rasa sakit, marah, dan juga kelegaan aneh dalam setiap isakannya itu.
"Kalau memang selama ini aku hanya menjadi penghalangmu, Mas…" ucapnya lirih.
"Maka mulai malam ini… aku akan belajar menghapus namamu dari hidupku." sambungnya, dengan bola mata yang masih terlihat berkaca-kaca.
Ia menundukkan wajah serta membiarkan air matanya jatuh ditanah yang berdebu. Dan meskipun saat itu tubuhnya terasa semakin lemah, namun ia tetap bertekad kuat untuk melanjutkan langkahnya, meninggalkan jejak baru, walaupun malam itu ia tidak tahu ke mana kakinya akan membawanya pergi.
Tidak lama kemudian ia memaksakan dirinya untuk bangkit dari bangku kayu yang ada pinggir jalan tersebut, meskipun nafasnya sudah terengah-engah. Dada juga terlihat naik turun begitu cepat, dan keringat dingin membasahi pelipisnya walaupun saat itu suasana terasa begitu dingin dan menusuk.
Ia mencoba melangkah lagi sambil menyeret kaki lemah yang hampir tidak sanggup lagi menopang tubuhnya. Bahkan kini, setiap langkah yang ia paksakan terasa seperti ribuan jarum yang menusuk kepalanya, membuat pandangannya semakin berkunang-kunang.
Lampu jalan yang redup berubah menjadi cahaya yang berputar-putar, membuat Rosalina harus menahan diri dengan menggenggam dada dan pelipisnya.
Namun walaupun seperti itu, Rosalina tetap saja tidak mau berhenti.
"Sedikit lagi… aku harus bertahan…" gumamnya lirih, meski suaranya hampir saja hilang karena ditelan oleh angin malam.
Langkah kakinya semakin goyah. Bayangan rumah-rumah besar di pinggir jalan kini hanya terlihat samar-samar di matanya. Hingga akhirnya, tubuhnya pun benar-benar tidak sanggup lagi.
Rosalina jatuh berlutut dengan tangan yang meraba tanah, lalu ia terhuyung ke depan.
"Bruk!"
Tubuh wanita cantik itu terhempas ke permukaan keras yang ada didepan sebuah gerbang besi yang tinggi menjulang. Gerbang itu terlihat megah, karena dihiasi oleh ukiran yang begitu indah, dengan lampu pilar yang terpasang di kedua sisinya.
Sementara itu, dibalik pagar yang terhubung dengan pintu gerbang tersebut, berdirilah sebuah rumah mewah yang bergaya modern dengan dinding tinggi, jendela besar, dan taman depan yang tertata rapi.
Namun bagi Rosalina, semua itu hanya terlihat samar, karena pandangannya semakin buram, hingga cahaya lampu di halaman rumah itu terlihat seperti bintang yang berjatuhan dimatanya.
Nafasnya terasa tersendat-sendat. Ia berusaha membuka mulutnya, seakan ingin memanggil seseorang, tapi yang keluar saat itu hanyalah suara parau.
"Mas… Handrian…"
Setelah itu matanya pun perlahan menutup, dengan tubuh yang tergeletak lemah di depan gerbang rumah megah itu.
Suasana sepi pun menyelimuti Rosalina. Dan kini hanya terdengar suara kendaraan dari kejauhan yang sesekali lewat.
Angin malam terlihat mengibaskan Rambut Rosalina yang tergerai menutupi sebagian wajahnya, dalam keadaan yang sudah tidak sadarkan diri.
*****
Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di hadapan gerbang megah itu. Lampu depannya menyinari tubuh Rosalina yang tergeletak tengkurap dengan wajah tertutup rambut yang kusut.
Pintu mobil dibagian belakang perlahan terbuka, dan dari dalam keluarlah seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat begitu anggun.
Gaun malam elegan berwarna maroon membalut tubuhnya, sementara perhiasan berkilau menghiasi leher dan pergelangan tangannya. Usianya memang sudah melewati lima puluh tahun, namun pesonanya tetap memancarkan kelas dan keanggunan. Dialah Anindya Larasati, perempuan kalangan elit yang dikenal berwibawa dan disegani di lingkungannya.
Mata Anindya membelalak kaget saat menyadari ada seorang perempuan muda, yang terbaring tepat di depan pintu gerbang rumahnya.
"Ya Allah…" bisiknya cemas. Dan ia pun segera menoleh ke arah pengemudi yang ternyata adalah putranya sendiri.
"Raka! Cepat keluar dan lihat! Ada seorang perempuan pingsan di depan gerbang rumah kita!" serunya.
Tidak lama kemudian, pintu bagian depan mobil pun terbuka. Dan dari balik setir, muncullah seorang pria muda yang bertubuh atletis dengan wajah rupawan. Kulitnya putih bersih, rahang tegas, dan sorot matanya yang tajam serta dingin. Dia adalah Raka Pradipta, putra tunggal Anindya yang dikenal berwibawa, berpendirian teguh, dan sangat jarang memperlihatkan perasaannya.
Raka segera berjalan dengan langkah tegap ke arah ibunya, dan pada saat itu juga, pandangannya jatuh pada Rosalina yang tergeletak lemah. Namun wajahnya tetap terlihat datar, dan dingin, tanpa menunjukkan sedikitpun keterkejutan.
Belum sempat ia berkata apapun, tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya dengan daster batik sederhana berlari-lari kecil dari arah belakang mobil.
Wajahnya bulat, rambutnya dicepol seadanya, dan matanya penuh ekspresi. Dia adalah Mbak Sri, pembantu keluarga Anindya yang terkenal latah, ceplas-ceplos, dan sering membuat suasana tegang menjadi kocak.
"Ya ampun, Bu Anindya!" seru Mbak Sri sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri.
"Astaghfirullah cantik banget, seperti bidadari yang jatuh dari langit! Eh... eh, kok jatuhnya pas didepan rumah kita ya? Ya Allah... jangan-jangan ini jodohnya Mas Raka!"
Mendengar perkataan yang keluar dari mulut pembantunya itu, Anindya langsung melirik pada Mbak Sri dengan tatapan yang setengah jengkel.
"Sri! Jangan asal bicara, ini serius!"
Mbak Sri pun buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan, lalu ia kembali bersuara lirih.
"Iya Bu… serius, serius… tapi beneran cantik banget lho Bu, seperti artis sinetron tapi ini kecantikannya lebih natural, aduh Gusti…"
Raka yang mendengarnya pun mendengus pelan, dan dengan suara yang terdengar dingin ia berkata...
"Mungkin itu hanya orang yang berpura-pura jatuh pingsan."
Mbak Sri spontan terlonjak kaget mendengar perkataan Raka, dan dengan spontan sifat latahnya keluar begitu saja.
"Astaghfirullah, Mas Raka! Pura-pura bagaimana? Orang secantik ini kalau pun pura-pura, paling ya pura-pura cinta, dan juga pura-pura bahagia setiap akhir bulan! Eh, Astaghfirullah, apa sih mulutku ini?"
Anindya hanya bisa menghela nafas panjang, saat melihat tingkah pembantunya itu.
"Sri, daripada kamu mengoceh terus dari tadi, mending sekarang kamu ambil air mineral, cepat. Supaya kita bisa menyadarkannya." ujar Anindya, dengan wajahnya yang menoleh sebentar kearah Mbak Sri. Kemudian ia menunduk lagi dan menatap wajah Rosalina yang pucat.
Perempuan paruh baya itu juga sempat menyentuh perban yang membalut pelipis Rosalina.
"Ya Allah, Raka! sepertinya gadis ini terluka" desis Anindya.
Sedangkan Mbak Sri langsung lari terbirit-birit kedalam rumah, setelah membuka pintu pagar terlebih dahulu.
Anindya terlihat berjongkok di samping Rosalina, seraya menyibakkan rambut gadis itu yang tergerai panjang.
Dan dari bibirnya pun tersungging senyum lembut, meskipun ia merasa iba, saat menatap wajah Rosalina yang terlihat begitu pucat.
"Ya Allah... Siapa gadis ini? Dan kenapa dia malah jatuh pingsan disini?" desis Anindya dalam hatinya.
Tangannya kini terulur untuk menyentuh bahu Rosalina, seraya memanggilnya dengan suara lembut.
"Nak, bangunlah," ucap Anindya. Namun Rosalina sama sekali tidak bergeming.
Bersambung...