NovelToon NovelToon
Dibayar Oleh CEO Kejam

Dibayar Oleh CEO Kejam

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO
Popularitas:500
Nilai: 5
Nama Author: Sansus

CERITA UNTUK ***++
Velove, perempuan muda yang memiliki kelainan pada tubuhnya yang dimana dia bisa mengeluarkan ASl. Awalnya dia tidak ingin memberitahu hal ini pada siapapun, tapi ternyata Dimas yang tidak lain adalah atasannya di kantor mengetahuinya.
Atasannya itu memberikan tawaran yang menarik untuk Velove asalkan perempuan itu mau menuruti keinginan Dimas. Velove yang sedang membutuhkan biaya untuk pengobatan sang Ibu di kampung akhirnya menerima penawaran dari sang atasan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Velove terbangun dari tidurnya dan langsung melirik ke arah jam dinding yang ada di kamar kostannya itu dan ternyata sudah jam enam pagi, perempuan itu tidak ingat pasti jam berapa dia mulai tertidur semalam karena dirinya yang kelelahan menangis.

Perempuan itu meraih ponselnya yang ada di atas kasur, menyalakan benda pipih itu dan melihat ada banyak sekali notifikasi panggilan masuk dari Dimas.

Awalnya Velove memang sengaja tidak berniat untuk mengangkat panggilan dari Dimas semalam, dia memilih untuk berteleponan dengan sang adik dan setelah itu menangis sampai ketiduran.

Velove tidak mengira kalau Dimas masih mencoba untuk menghubunginya yang mungkin saat dia sudah tertidur, lalu perempuan itu memilih untuk segera bangkit dari tempat tidurnya namun saat dirinya bergerak, perempuan itu merasakan nyeri di area dadanya, itu pasti karena dia belum memompa ASI sejak kemarin sore.

Ditambah pemompa ASI-nya itu ada di apartemen sang atasan karena dirinya juga tidak berencana untuk pulang ke kostan kemarin, jadi dia tidak membawa alat itu.

Dengan perlahan Velove memijat bongkahan dadanya dari luar baju tidur yang sedang dia pakai, lalu tidak lama dari itu Velove mulai merasakan basah pada area dadanya karena cairan putih yang keluar dari ujung dadanya.

Saat tengah memijat bagian dadanya, ponsel miliknya berdering, perempuan itu melirik ke arah ponselnya yang menyala dan di sana menampilkan nama Dimas. Velove sedikit mengernyit, apa mungkin Dimas bangun sepagi ini?

Apalagi lelaki itu saat ini hanya sendiri di apartemen, tidak ada yang membangunkannya karena biasanya hal itu dilakukan oleh Velove. Perempuan itu kemudian langsung mengangkat panggilan tersebut.

“Halo, Pak?”

“Kamu kemana aja? Kenapa telepon saya dari semalam nggak kamu angkat?” Ucap Dimas dengan suaranya yang meninggi.

Velove yang merasa telinganya berdengung segera menjauhkan benda pipih itu dari telinganya. “M—maaf, saya semalem ketiduran.”

“Kamu jangan coba-coba buat bohongin saya, saya telepon kamu semalam dan panggilannya dialihkan, kamu lagi teleponan sama orang lain kan?”

Perempuan itu terdiam sesaat untuk mencari alasan lain agar atasannya itu percaya. Tapi belum sempat Velove mendapatkan alasan, suara milik Dimas sudah kembali terdengar dari seberang sana.

“Kamu cepat keluar dari kostan, saya sudah ada di toko roti depan gang kostan kamu, kita ke apartemen saya sekarang.”

Velove tampak terkejut mendengar hal itu, jika sepagi ini Dimas sudah berada di sana, lantas jam berapa lelaki itu berangkat? Padahal jarak antara kostannya dan juga apartemen milik Dimas cukup jauh.

“Pak Dimas ada di depan? Sepagi ini? Pak Dimas ngapain di sana?”

“Saya disini dari semalam, kamu saya telepon nggak angkat-angkat.”

Perempuan itu membelalakan matanya ketika mendengar ucapan Dimas barusan. “Pak Dimas nggak pulang?!”

Dengan segera Velove beranjak dari atas tempat tidurnya, lalu kemudian perempuan itu mengambil cardigan dan juga tas kantornya yang ada di sana. Perempuan itu kemudian keluar dari dalam kamar kostan dengan terburu-buru tapi dia tidak lupa untuk mengunci pintu kamar itu.

“Pak Dimas kenapa nggak pulang aja?” Walaupun sebenarnya Velove masih kesal pada lelaki itu, tapi ketika mendengar jika Dimas menunggunya semalaman di sana, hati kecil Velove merasa terenyuh.

Pertanyaan Velove tadi tidak dijawab oleh Dimas di seberang sana, dengan langkah yang terburu-buru perempuan itu berjalan di gang depan kostannya menuju ke depan dimana mobil hitam atasannya itu berada.

Sesampainya di sana, Velove bisa melihat mobil hitam milik Dimas sedang terparkir di halaman toko roti yang masih tutup pagi ini. Perempuan itu segera menghampiri mobil tersebut, mengetuk kaca jendela mobil di ada bangku penumpang.

Lalu kemudian perempuan itu membuka pintu mobil yang sudah tidak terkunci itu dan masuk ke dalam sana, Velove meletakan dengan asal ponsel dan tas kantornya dan perempuan itu langsung menatap ke arah Dimas yang ada di sampingnya.

Penampilan lelaki itu benar-benar berantakan, kemeja yang dia pakai dari kemarin belum juga diganti dan juga wajahnya yang terlihat sangat kelelahan, sepertinya Dimas juga tidak tidur dengan nyenyak semalam. Lagipula bagaimana bisa tidur dengan nyenyak jika semalaman dia berada di dalam mobil.

“Kenapa kamu nggak pulang ke apartemen saya?”

Velove yang sedang memakai cardingannya untuk menutupi bagian dadanya yang basah langsung ditodongi pertanyaan seperti itu oleh Dimas. “Saya takut Pak Dimasnya nggak ada di sana.”

“Kamu kan udah tau passcode apartemen saya?”

“Bukan itu maksud saya, saya nggak mungkin datang ke apartemen orang tapi yang punya apartemennya nggak ada di sana.” Balas Velove yang kini sedang memasang sabuk pengamannya.

Lelaki itu hanya menghela napasnya saat mendengar balasan dari Velove, lantas Dimas segera menyalakan mesin mobilnya dan memarkirkan mobil tersebut agar bisa masuk ke jalan raya. Waktu masih terus berjalan, jika keduanya masih melanjutkan perdebatan tadi, kemungkinan mereka berdua akan semakin terlambat untuk datang ke kantor.

Dimas melajukan mobil hitamnya dengan kecepatan yang tinggi, hal itu tentu saja membuat Velove sedikit was-was, apalagi dia tahu kalau atasannya itu pasti kekurangan tidur semalam, dia khawatir hal-hal yang tidak mereka inginkan terjadi.

“Pelan-pelan aja Pak bawa mobilnya.”

Namun perkataan dari Velove barusan seolah angin lalu bagi Dimas, lelaki itu sama sekali tidak memelankan laju mobilnya.

“Pak Dimas! Bisa bahaya kalo ngebut-ngebut kayak gini! Kalo Bapak masih nggak mau pelan-pelan bawa mobilnya, turunin aja saya disini, saya nggak mau mati konyol bareng Bapak.” Dengan suara yang mulai meninggi, perempuan itu mengancam sang atasan.

Mendengar ucapan Velove barusan, dengan terpaksa Dimas mulai menurunkan kecepatan laju mobilnya itu. Dimas melirik ke sampingnya dimana perempuan itu berada, dia bisa melihat Velove yang memegang erat sabuk pengamannya, sepertinya perempuan itu memang benar-benar ketakutan.

***

Mereka berdua tiba di kantor lebih siang dari biasanya, walaupun keduanya sudah buru-buru berangkat dari apartemen lelaki itu, tapi tetap saja mereka tidak bisa terhindar dari kata kesiangan. Bahkan kedua orang itu di apartemen Dimas tadi hanya sarapan dengan minum susu saja, tapi hal itu tatap tidak bisa membuat mereka berdua datang lebih awal ke kantor.

“Tolong kamu suruh Pak Tono beliin sarapan buat kita berdua.” Ucap lelaki itu saat keduanya kini tengah berjalan di lorong.

“Baik, Pak.”

Velove sampai lebih dulu di kubikelnya, sedangkan Dimas harus kembali berjalan menuju ruang kerja lelaki itu. Di tempatnya, Naomi sudah menatap ke arah Velove dengan penuh tanda tanya, tentu saja itu akan menjadi sebuah pertanyaan di kepala teman kerjanya itu ketika mendapati Velove dan Dimas datang bersamaan dan juga dua-duanya sama-sama kesiangan.

“Kok bisa barengan sama Pak Dimas, Vel? Mana kalian kesiangan pula.”

Tuh kan! Sesuai dengan tebakan Velove kalau temannya itu pasti akan menanyakan soal hal itu. “O—oh itu, eum tadi pagi aku disuruh ke apartemen Pak Dimas soalnya ada berkas yang lupa aku taruh dimana di apartemen dia. Jadi tadi nyari dulu, kesiangan deh jadinya.” Perempuan itu menjelaskan dengan panjang lebar, berharap Naomi bisa memahami perkataannya.

“Kok bisa sih, Vel? Berkas apa emang?”

“B—berkas yang buat meeting nanti siang.”

Naomi mengangguk-anggukan kepalanya paham walaupun sebenarnya dia tidak benar-benar paham dengan apa yang dikatakan oleh Velove.

“Kemarin Pak Dimas ngilang kemana? Gak ada bilang apa-apa dia sama kamu?”

Velove menggelengkan kepalanya saat mendengar pertanyaan dari Naomi. “Nggak tahu, Pak Dimas nggak bilang apa-apa sama aku.”

“Kamu nggak nanya sama dia?”

Lagi-lagi perempuan itu menggelengkan kepalanya, lagipula hal itu bukan urusannya. Untuk apa dia bertanya pada lelaki itu? Ya walaupun sebenarnya sudah bisa menebak jika atasannya itu pasti menghabiskan waktu bersama dengan perempuan yang bernama Bella hingga melupakan soal semuanya.

Ditambah Velove juga tidak memiliki hak untuk menanyakan hal tersebut, dia hanya sebatas sekretarisnya lelaki itu, tidak lebih.

Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara dua perempuan itu, Naomi kembali pada pekerjaannya dan Velove yang menghidupkan layar ponselnya lalu menggeser layar tersebut untuk mencari nomor Pak Tono.

“Halo, Pak?”

“Iya Mbak Vel, ada apa?”

“Saya minta tolong buat beliin sarapan buat Pak Dimas sama saya ya kayak yang biasa aja, di restoran terdekat Pak, nanti saya sekalian minta tolong anterin ke atas juga ya.”

“Oh oke Mbak, nanti saya anterin ke sana.”

“Nanti billnya jangan dibuang biar bisa direimburse.” Perempuan itu mengingatkan.

“Oke siap Mbak, ada tambahan lagi?”

“Oh iya, buat yang Pak Dimas nggak usah dikasih sambel ya, yang punya saya nggak apa-apa kasih aja kayak biasa. Udah itu aja, makasih ya Pak Tono.”

“Sama-sama Mbak Vel.”

Panggilan tersebut kemudian berakhir, lantas Velove meletakan ponsel miliknya dengan asal ke atas meja dan perempuan itu mulai membuka laptopnya dan mengerjakan pekerjaannya.

Jam sepuluh nanti Dimas akan ada meeting, meeting yang kemarin sempat dibatalkan akan diadakan jam sepuluh nanti sebagai gantinya, lalu kemudian setelah makan siang Dimas memiliki kunjungan ke perusahaan lain demi berlangsungnya kerja sama.

Setelah sekitar setengah jam perempuan itu berkutat dengan laptopnya, ponselnya yang ada di atas meja berbunyi dan menampilkan nama Pak Tono di sana. Maka Velove segera mengangkat panggilan tersebut.

“Saya udah ada di lift, Mbak.“

“Oh oke, saya jalan ke depan lift sekarang, Pak Tono tunggu disitu aja.”

“Oke, Mbak.”

Panggilan singkat itu berakhir dan Velove segera beranjak dari kursi kerjanya, membawa langkah kakinya untuk menuju lift. Dari kejauhan Velove sudah dapat melihat sosok Pak Tono yang sudah berdiri di sana dengan paperbag yang ada di tangannya.

Begitu sampai di depan lelaki itu, Velove tersenyum tipis. “Maaf ya Pak udah ngerepotin.” Ucap perempuan itu seraya mengambil alih paperbag yang ada di tangan Pak Tono.

“Gak apa-apa Mbak, oh iya ini billnya.” Balas Pak Tono seraya menyerahkan selembar kertas kecil pada Velove yang langsung diterima oleh perempuan itu.

“Oke Pak, nanti saya kirim reimburse-annya ke rekening yang biasa kan?”

“Iya yang biasa, Mbak Vel.”

“Sipp, makasih ya Pak.”

“Sama-sama, Mbak.”

Setelah itu Velove segera pergi dari sana, begitu juga dengan Pak Tono yang sedang menunggu lift untuk kembali turun ke bawah. Perempuan itu berjalan di lorong, lalu melalui kubikelnya untuk menuju ruang kerja Dimas.

“Apaan tuh, Vel?” Naomi bertanya saat Velove melintas di depan kubikelnya.

“Sarapan punya Pak Dimas.”

Mendegar balasan yang diucapkan oleh Velove membuat Naomi membuat huruf O dengan mulutnya, membiarkan Velove berlalu dari sana.

Sesampainya Velove di depan pintu tinggi ruangan Dimas, perempuan itu langsung mengetuk pintu itu dan menunggu balasan Dimas dari dalam.

“Masuk.”

Lantas Velove langsung masuk ke dalam dan meletakan paperbag tadi di atas meja lalu mengeluarkan satu bungkus makanan yang sudah memiliki tanda kalau yang milik Dimas itu tidak pedas dan dia tidak mengeluarkan yang milik dirinya karena Velove akan memakannya di kubikel nanti.

“Ini makanannya Pak, kalau gitu saya izin keluar.” Ucap Velove seraya melangkahkan kaki dari sana dengan paperbag yang ada di tangannya.

“Nggak ada yang izinin kamu buat keluar.”

Mendengar ucapan dari Dimas membuat perempuan itu langsung menghentikan langkah kakinya dan kembali berbalik menghadap atasannya itu yang kini sudah beranjak dari kursi kerjanya.

“Makan bareng saya di sini.”

“O—oh nggak usah Pak, saya makan di meja saya aja.”

“Saya nggak suka ngulang perkataan dua kali.” Ucap Dimas yang kini sudah duduk di atas sofa.

Ucapan sang atasan barusan membuat Velove mau tidak mau harus kembali mendekat ke arah sofa dan duduk di sana, padahal dia sedang tidak ingin berlama-lama berdekatan dengan Dimas karena memang sebenarnya dia masih menyimpan rasa kesal pada lelaki itu soal kemarin.

Dengan malas perempuan itu mengeluarkan makanannya dari dalam paperbag dan langsung memakannya begitu saja setelah dia berhasil membuka kemasannya, berusaha untuk tidak mempedulikan Dimas yang ada di sampingnya.

Kegiatan makan mereka berdua dipenuhi dengan keheningan, Velove sama sekali tidak berniat untuk mengeluarkan suara, sedangkan Dimas di tempatnya menyadari jika ada yang tidak beres dengan sekretarisnya itu.

Sejak di apartemen tadi pagi dan juga saat keduanya berada di dalam mobil, perempuan itu tidak banyak bicara, bahkan Velove hanya membalas seadanya pertanyaan yang dilontarkan oleh Dimas.

“Meeting yang kemarin kamu atur ulang ke jam berapa hari ini?” Dimas bertanya.

“Jam sepuluh.” Balas Velove dengan singkat lalu kemudian perempuan itu melanjutkan kegiatan makannya.

Mendengar jawaban singkat dari sang sekretaris membuat Dimas menganggukkan kepelanya paham di tempatnya, lalu lelaki itu mengalihkan pandangannya untuk menatap ke arah perempuan itu. “Kamu marah sama saya?”

Velove hanya menggelengkan kepalanya sekilas karena di mulutnya sedang penuh dengan makanan, ditambah dia juga malas berbicara dengan lelaki yang ada di sampingnya saat ini.

“Tapi kamu kelihatan lagi marah sama saya.” Lelaki itu kembali berucap ketika melihat Velove meresponnya dengan sebuah gelengan kepala.

“Cepet abisin makannya, Pak. Bentar lagi kita meeting.” Bukannya menjawab pertanyaan Dimas yang tadi, Velove malah mengalihkannya dengan membahas hal lain.

“Nanti makan siang bareng sama saya.”

Lagi-lagi Velove membalas ucapan Dimas barusan dengan gelengan kepala. “Saya makan di kantin aja bareng temen-temen.”

“Kalo gitu saya ikut kamu makan di kantin.”

Perempuan itu sontak mendongkan kepalanya dan menatap Dimas dengan mata yang membulat sempurna. Apa tadi katanya? Makan bersama di kantin? Apa kata karyawan lain nantinya? Padahal lelaki itu sangat jarak bahkan mungkin tidak pernah makan siang di sana.

“Ngapain? Nggak usah, lagian Pak Dimas jarang makan di sana.”

“Pokoknya saya bakalan tetep mau ikut makan di kantin bareng kalo kalo kamu nolak makan siang bareng saya di luar.”

“Terserah Bapak.”

Perempuan itu lantas segera menyelesaikan kegiatan makannya agar bisa segera pergi dari sana, melihat keberadaan Dimas di sekitar dirinya membuat Velove merasa muak.

“Nanti jam sepuluh Pak Dimas langsung ke ruangan meeting aja.” Ucap perempuan itu seraya membereskan bekas makan mereka berdua dan langsung beranjak pergi dari sana tanpa berpamitan apapun pada Dimas yang masih duduk di sofa.

Dimas yang melihat tubuh sang sekretaris mulai menghilang dari balik pintu hanya menyunggingkan senyumnya, dia yakin pasti Velove sedang merajuk padanya, tapi entah kenapa hal itu malah membuat dia merasa senang.

________________________________

Judul ceritanya emang aku ganti ya, tapi alurnya dan isi ceritanya masih sama kok. Makasih banyak yang udah baca cerita ini! Semoga kalian suka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!