Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 UJIAN DI KELAS PERTAMA
Pagi itu Amara bangun sebelum alarm berbunyi. Ia menyiapkan tas kain berisi kertas warna, gunting tumpul, lem stik, serta catatan pelaksanaan kelas. Udara kamar masih dingin ketika ia menutup resleting. Di meja, secarik memo kecil yang ia tulis semalam menatap balik: kerja adalah jawabanku.
Arman sudah menunggu di bawah. “Rute ke sekolah mitra sama seperti kemarin. Pak Bagas bilang akan menyusul, tidak usah menunggu,” lapornya.
Mobil melaju, menyusur ruas kota yang baru bangun. Di halaman sekolah, anak-anak sudah berbaris dengan mata berbinar. Kepala sekolah menyambut dengan senyum hangat. “Mereka menanyakan Ibu sejak jam tujuh.”
Amara tertawa kecil. “Kita mulai tepat waktu. Hari ini kolase bentuk dasar.”
Begitu masuk kelas, sesuatu mengganjal. Kardus logistik yang seharusnya tiba pagi ini belum ada. Amara menoleh ke guru pendamping. “Paket alat dari pemasok belum datang?”
Guru itu ragu. “Baru saja saya ditelepon. Pengiriman dibatalkan. Katanya ada email dari pihak yayasan yang meminta ditunda seminggu.”
Arman segera menghubungi kantor. Amara meminta izin melihat surel di ponsel guru. Di layar tampak pesan singkat bertanda tangan Amara, dikirim larut malam. Ia mengerutkan kening. “Ini bukan dari saya.”
Di luar kelas, Arman menerima jawaban dari tim logistik. “Server mencatat email masuk melalui jaringan tamu di kantor. Pengirim tercatat sebagai akun sementara atas nama Amara. IT sedang telusuri.”
Amara mengangguk. Ia menoleh ke anak-anak yang sudah duduk manis, pensil di tangan, menunggu instruksi. Tidak ada waktu untuk panik. “Kita ganti rencana. Hari ini kita buat kolase tekstur lingkungan.”
Ia meminta izin kepada kepala sekolah untuk meminjam kardus bekas dari gudang, koran tua dari perpustakaan, dan plastik pembungkus dari kantin. Anak-anak dibagi kelompok kecil. Dua kelompok berburu daun kering di halaman, satu kelompok merobek koran menjadi pita, kelompok lain meratakan kardus untuk dijadikan alas. Suasana berubah ramai. Kertas berderak, sandal anak memijak tanah, suara tawa pecah ketika ada yang menemukan daun berbentuk hati.
“Kenapa pakai barang bekas, Bu?” tanya bocah berkacamata di barisan depan.
“Karena desain bukan hanya soal alat baru. Desain adalah kemampuan melihat ulang benda di sekitar kita. Kertas koran bisa jadi gelombang air, daun bisa jadi sisik ikan, kardus bisa jadi langit sore.”
Anak-anak mengangguk serius, lalu kembali menempel. Amara berkeliling, memperbaiki letak, memuji keberanian warna, menyarankan penambahan garis. Guru pendamping terkejut melihat anak yang biasanya pendiam kini mengangkat tangan sendiri. “Bu, aku mau menempelkan pasir dari pot agar seperti pantai.” Amara mengizinkan setelah memastikan lem cukup kuat dan meja dilapisi koran.
Setengah jam kemudian, sebuah sedan berhenti di halaman. Bagas turun tanpa banyak bicara, hanya melayangkan pandang cepat ke dalam kelas. Ia berdiri di ambang pintu, lengan terlipat. Tidak ada jas, hanya kemeja digulung, wajahnya netral. Amara memperkenalkan singkat. “Anak-anak, ini Pak Bagas dari yayasan. Beliau datang melihat karya kalian.”
Seorang anak perempuan menunjukkan kolase pasar penuh warna. “Ini pasar dekat rumah saya. Ada lampu-lampu dan orang beli sarapan.”
Bagas mencondongkan tubuh. “Lampu-lampunya bagus. Kamu bikin dari apa?”
“Dari plastik bungkus permen, Pak.”
Bagas mengangguk kecil. “Teruskan.”
Di sudut lain, Arman kembali dan berbisik pada Amara. “IT memastikan email palsu dikirim dari jaringan tamu lantai tiga. Waktu pengiriman tengah malam. Ada perangkat yang terhubung sebentar, tidak terdaftar di daftar resmi.”
Amara menyimpan informasi itu. Wajahnya tetap tenang ketika kembali membimbing anak-anak. Ia memutuskan untuk mengunci kelas pada hasil. Sorot kamera ponsel kepala sekolah merekam momen presentasi kecil. Anak-anak berdiri di depan kelas satu per satu. Tepuk tangan mengisi ruang.
Menjelang akhir sesi, dua orang dewasa yang tidak dikenal muncul di pintu. Salah satunya membawa kamera saku, satunya lagi buku catatan. Kepala sekolah berbisik, “Media lokal lagi.” Amara melangkah maju.
“Silakan ambil gambar suasana dari belakang. Wajah anak jangan ditampilkan jelas. Bapak Ibu bisa mewawancarai saya setelah kelas selesai,” ucapnya tenang.
Wawancara singkat berlangsung di teras. “Mengapa menggunakan bahan bekas?” tanya jurnalis.
“Karena kami ingin anak-anak percaya bahwa ide lebih penting dari harga bahan. Tugas kami adalah menyalakan rasa ingin tahu.”
“Apakah ini bagian dari upaya mengalihkan isu yang ada di luar?”
Amara menatap lensa, tidak menghindar. “Yayasan punya tanggung jawab pada publik, bukan pada isu. Kami bekerja untuk anak-anak, dan itu bisa dilihat hari ini.”
Sesi berakhir. Ketika anak-anak pulang, beberapa orang tua menunggu di gerbang. Seorang ibu menahan Amara. “Bu, terima kasih. Anak saya jarang bicara, hari ini ia bercerita panjang.”
Ada juga seorang bapak yang bertanya kritis. “Pakai barang bekas aman, Bu?”
“Kami pilih bahan yang tidak tajam dan bersih. Semua meja dilapisi, tangan anak dicuci setelah kegiatan. Kesehatan tetap prioritas,” jawab Amara.
Bagas memperhatikan dari jauh, tanpa menyela. Saat mobil yayasan hendak berangkat, ia berkata pelan, “Kau mengubah masalah menjadi pelajaran. Bagus.”
Di kantor, rapat kilat digelar. Kepala PR menunjukkan tangkapan layar email palsu. “Alamat pengirim menyerupai milik Ibu Amara, tapi domainnya berbeda satu huruf. Teknik peniruan. Kami sudah minta IT blokir akses tamu dan menambahkan verifikasi ganda.”
Kepala logistik meminta maaf atas kegagalan pengiriman. “Kami akan verifikasi ulang tiap perubahan perintah melalui telepon yang terekam.”
Amara mengangkat tangan. “Tidak perlu mencari kambing hitam. Yang penting sistem aman. Kegiatan tidak boleh berhenti.”
Bagas menoleh pada kepala IT. “Lacak pelaku sebatas yang bisa dipertanggungjawabkan. Jangan asal tuduh. Laporan masuk meja saya sore ini.”
Rapat usai. Saat semua keluar, Bagas menahan Amara. “Kau ingin kasus ini dibawa ke jalur hukum?”
“Belum,” jawab Amara. “Jika kita gebrak sekarang, mereka akan mengganti cara. Lebih baik memperketat pintu dan memperbaiki catatan. Pekerjaan kita yang bersih akan menjadi tameng.”
Bagas mengamati wajahnya beberapa detik. “Keputusan yang tenang.”
Sore, di rumah, Meylani menunggu di ujung tangga. “Kudengar kalian mengajarkan anak menempel kardus bekas. Luar biasa hemat.”
Amara menatapnya tanpa gentar. “Hemat jika tujuannya asal. Efektif jika tujuannya belajar. Hari ini anak-anak paham tekstur, komposisi, dan keberanian memilih. Itu nilai yang bertahan lama.”
Meylani tersenyum kaku. “Donor menyukai kerapian, bukan eksperimen.”
“Donor menyukai hasil,” balas Amara. “Minggu depan kami undang mereka melihat sendiri.”
Wajah Meylani menegang sesaat. “Kau percaya dirimu tinggi sekali.”
“Aku percaya pada kerja yang terlihat.”
Malam turun. Amara duduk di meja kecil di kamarnya, menyusun laporan hari ini. Ia menempel foto kolase, transkrip singkat kutipan anak, dan daftar kebutuhan sesi berikutnya. Ponsel bergetar. Pesan dari kepala PR masuk.
Ada unggahan blog anonim yang menyindir kelas yayasan memakai barang bekas. Komentar belum banyak. Saran kami: rilis video dokumentasi dua menit malam ini.
Amara membalas setuju, lalu mengirimkan tiga potongan video. Lima menit kemudian, akun resmi yayasan menayangkan kompilasi anak-anak mempresentasikan karya, ditutup pernyataan singkat Amara tentang tujuan pembelajaran. Dalam hitungan jam, komentar positif mulai berdatangan dari orang tua dan guru.
Pintu diketuk sekali. Bagas muncul, memegang tablet. “Video rapi. Besok aku ikut tiga puluh menit. Biarkan aku berdiri di belakang kelas.”
“Baik,” jawab Amara.
Bagas menatapnya sebentar. “Jangan tinggal sendiri di medan yang kau pilih. Aku ada, selama kau berjalan lurus.”
Ia pergi. Amara memandang pintu yang tertutup, merasakan sesuatu yang berbeda di dadanya. Bukan sekadar lega, tetapi juga keyakinan. Ia membuka buku catatan dan menulis singkat di halaman baru.
Hari ini rencana dicurangi, kelas tetap berjalan. Besok aku yang memilih medannya.
Ia menutup buku, memadamkan lampu, dan berbaring. Di luar, malam merapat. Di dalam, ada nyala kecil yang stabil. Besok ia akan kembali membawa kertas, gunting, dan keberanian yang sama. Besok ia tidak hanya menangkis, tetapi melangkah lebih jauh.