Ketidaksengajaan serta pengorbanan dalam sebuah kecelakaan membuat Alena langsung meninggal dan malah mengantarkan nyawa gadis itu dengan bertransmigrasi ke dalam salah satu novel favoritnya. Alena hanya menjadi adik dari salah satu teman protagonis pria—figuran. Dia hanya seorang siswi sekolah biasa, tanpa keterlibatan novel, dan tanpa peran.
Tapi, plotnya hancur karena suatu alasan, hidupnya tidak semulus yang dia bayangkan. Dia membantu masalah semua tokoh, namun di tengah itu, hidupnya tidak aman, ada orang yang selalu ingin mencelakainya.
____
"Aku memang bukan siapa-siapa di sini, tapi bukan berarti aku akan membiarkan mereka menderita seperti alurnya."—Alena.
~•~
note:
- author 'I Am A Nobody' di wp dan di sini sama
- Tokoh utama cerita ini menye-menye, lebay, dan letoy. Jadi, ga disarankan dibaca oleh org yg suka karakter kuat dan ga disarankan untuk org dewasa 20+ membacanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan-Jalan
"Mah! Kita pulang!"
Alena berteriak semangat ketika memasuki rumah besarnya. Ravael menutupi telinga kirinya yang berdengung karena teriakan adiknya, tapi hanya diam tidak memprotes, apalagi memarahi. Jika mamanya tahu, dia bisa tidur di luar malam ini. Efek Alena terlalu besar untuk mamanya.
Berliana yang sedang bersantai di ruang tamu, langsung berdiri dan berlari ke arah teriakan putri kesayangannya. "Eh, putri mamah udah pulang. Kamu baik-baik aja, kan?"
Alena langsung teringat kejadian di lapangan, senyumnya sedikit luntur, tapi dengan cepat langsung kembali tersenyum cerah. "Emang aku gak baik kenapa, Mah? Aku baik banget, kok."
Alena langsung memeluk mamanya ketika sempat melihat ekspresinya yang berubah. Mendapatkan pelukan mendadak, Berliana tersenyum, namun matanya masih agak cemas. "Syukur deh ...."
Berliana melepaskan pelukannya dan merapikan rambut Alena yang sedikit berantakan. "Kalo kamu kenapa-napa, nama kakak kamu bisa dicoret dari kartu keluarga."
Adik-kakak itu lantas melotot. Apalagi Ravael yang merasa sangat teraniaya sehingga menghapus air mata yang tidak ada. "Mamah tega banget ...."
Berliana tidak peduli dan masih mengusap kening Alena yang terlihat berkeringat. Ravael memutar bola matanya malas melihat kedua orang itu. Lalu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
"Tunggu ...."
Gumaman Berliana membuat Ravael menghentikan langkahnya dan menoleh. Alena yang menatap Berliana yang sudah tidak tersenyum lagi tengah sedang mengamati matanya.
"Apa, Mah?" Suara Alena terdengar tegang.
"Mata kamu, kelihatan agak bengkak. Sayang ... kamu nangis?"
Tubuh Alena menegang dan senyumnya menjadi kaku. Alena berusaha menenangkan ekspresinya, apalagi setelah melihat kakaknya berwajah pucat tengah berdiri mematung di tengah tangga.
"Masa sih, Mah? Mungkin aku kelilipan waktu olahraga tadi di sekolah, soalnya sempet banyak debu yang terbang masuk ke mata aku. Jadi ... air mata aku keluar karena perih," alibinya panjang lebar.
Dalam hati dia meminta maaf karena sudah berbohong, tapi alibinya cukup ampuh sehingga tatapan curiga Berliana digantikan dengan tatapan khawatir.
"Tapi kamu nggak pa-pa, kan? Mata kamu masih perih?"
Alena menghela nafas lega, termasuk Ravael yang sempat menoleh dan tersenyum sebelum melanjutkan langkahnya.
"Sekarang aku nggak pa-pa kok. Nih—" Alena membuka lebar-lebar matanya. "... mata aku juga udah gak perih lagi."
Berliana terkekeh gemas dan mengusap rambut putrinya penuh kasih sayang.
"Ya, udah, sekarang kamu mandi, gih. Badan kamu udah bau keringat lho," ucapnya seraya menjepit hidungnya jenaka.
"Ih, Mah! Aku masih wangi, kok!" protesnya dengan wajah cemberut.
"Iya, iya. Kamu masih wangi."
"Oke! Kalo gitu aku ke kamar dulu, ya!"
Alena mencium pipi kiri mamanya dan berlari ke kamarnya sendiri.
"Alena jangan lari-lari!"
Teriakan Berliana tidak Alena gubris. Gadis itu hanya tersenyum lebar ke arah mamanya yang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
***
"Dia baik-baik aja, kan?" tanya seseorang tanpa menoleh seraya mengerjakan tumpukan dokumen-dokumen di atas meja.
"Baik-baik aja, Tuan. Tapi ...."
Seseorang itu mendongak melihat bawahannya yang berbicara ragu-ragu. Ia mengangkat sebelah alis. "Tapi?"
"Putri-nya sempet buat keributan dengan nyalahin Nona Alena. Dia punya niat buat ngerubah pandangan orang lain jadi buruk tentang Nona Alena."
Brak! Devian menggebrak meja sehingga dua bawahannya berjengit kaget.
"Sialan!" umpatnya terlihat geram.
Karena merasa atmosfer dingin, orang itu melanjutkan dengan gemetar. "Tapi Tuan ... teman-teman Non Alena banyak yang ngebela. Walaupun awalnya sempat pura-pura memihaknya, tapi akhirnya Tuan Ravael sama temen-temennya ngerubah kembali pandangan orang lain yang sempat buruk kepada Non Alena."
Emosi Davian mereda. "Bagus putraku," gumamnya tersenyum bangga dan puas.
Dua bawahan yang menunduk menghela nafas karena suhu di ruangan itu kembali normal.
"Kalau gitu, jaga putriku sebaik mungkin, dan selalu terus awasi dia."
"Baik, Tuan."
Ketiga anggota keluarga Alvarendra tidak tahu bahwa mereka mempunyai kepala keluarga yang sangat dingin jika berurusan dengan orang lain, apalagi tentang keselamatan keluarganya sendiri, karena jika di dalam rumah, Devian memasang wajah lembut, takut istri dan tidak memiliki sedikit pun kedinginan.
***
"Kakak! Jalan-jalan sore, yuk!!"
Teriakan Alena ala anak kecil mengajak main temannya, terdengar nyaring di luar pintu kamar kakaknya itu.
Ravael yang tengah bermain game langsung berjengit kaget. Menghela nafas jengkel saat permainannya game over, dia menyimpan ponselnya di meja, lalu menghampiri pintu yang tertutup dengan wajah malas.
Setelah terbuka, terlihatlah Alena dengan rambut coklatnya di kuncir, memakai baju rajut krem kebesaran sehingga tubuhnya terlihat tenggelam, di tambah celana kulot lebar yang terlihat menutupi kaki kecilnya yang memakai sandal berbulu.
Wajahnya yang imut bersemangat sehingga Ravael tidak bisa menolak. Ia berucap datar. "Iya, bentar."
Namun Alena menanggapinya dengan antusias hingga berjingkrak-jingkrak. "Okey! Aku tunggu di halaman rumah!"
Setelah itu dia berlari menuruni tangga. Ravael hanya tersenyum kecil, lalu masuk untuk bersiap.
Dia bawah, Berliana yang sedang menyiram bunga di halaman, tak sengaja melihat putri cantiknya bersemangat dengan pakaian rapi. Ia lantas bertanya lembut. "Mau ke mana, Sayang?"
Alena menoleh ke samping melihat mamanya, lalu tertuju pada bunga warna-warni yang indah. "Wow! Ini indah banget! Sejak kapan ada bunga di halaman rumah? Mamah yang tanam?"
Tanpa menjawab pertanyaan Berliana, Alena menghampiri bunga di depan mamanya dengan antusias.
Berliana hanya tersenyum. "iya, Sayang. Ini semua mamah yang tanam baru-baru ini." Berliana menatap Alena dari atas ke bawah. Bertanya kembali. "... kamu mau ke mana? Biasanya juga diem di kamar?"
"Oh! Aku mau jalan-jalan sore sama kak Rava! Boleh, kan?!" Alena mengeluarkan puppy eyes-nya.
Mendengar itu senyum Berliana sedikit luntur karena Alena akan keluar rumah, namun mengingat mata-mata suaminya, dia langsung tersenyum kembali. Apalagi melihat wajah antusias putrinya, dia mana tahan menolak.
"Iya, boleh, Sayang. Tapi ... kamu jangan jauh-jauh dari kakak kamu, oke?"
Mata Alena berbinar. "Oke!"
"Dek! Ayo!" Teriakan Ravael membuat Alena lebih bersemangat.
"Aku pamit dulu, Mah!" Alena mencium pipi mamahnya dan pergi ke arah Ravael dengan ceria.
Berliana tersenyum manis, lalu setelah Alena memunggunginya, senyumnya luntur di ganti dengan tatapan ancaman kepada Ravael.
Ravael mengerti arti tatapan Mamanya itu, ia bergidik. Lalu mengalihkan pandangan ke Alena yang sudah siap di mobil. Dia menghampirinya, namun tiba-tiba Alena kembali keluar yang membuat Ravael bingung.
"Kenapa, Dek?"
"Kak! Jalan-jalannya di motor aja, yuk!"
Ravael berpikir sebentar dan mengangguk.
"Eh, bentar kak!"
Langkah Ravael berhenti dan berbalik. "Apalagi sih, Dek?"
"Eh gak jadi ...." Alena menyengir. "Kalo gitu, cepat ambil motornya!"
Sabar ... Ravael Sabar ..., batinnya sambil tersenyum paling manis ke adiknya yang tidak kalah manis.
"Baik, Tuan putri. Mohon tunggu sebentar." Ravael membungkuk ala pangeran.
Alena terkikik.