Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.
Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.
Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.
Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?
Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obat penawar kutukan
Perasaan sedih dan cemas menyelimuti hatiku ketika kereta yang menuju Livka mulai berjalan, meninggalkan stasiun dengan perlahan. Dari balik jendela gerbong, aku melihat kota Venbert yang dipenuhi hiruk pikuk aktivitas warga, dan situasi tersebut semakin menambah kegelisahan dalam diriku. Hati kecilku berkecamuk, seolah-olah meminta maaf kepada bibi, paman, dan Lena atas keputusan yang telah kuambil. Aku merasa terbebani oleh pertanyaan yang terus mengusik pikiran, membingungkan apa yang harus kukatakan kepada Lena ketika akhirnya aku kembali dari misi ini.
Apakah ia akan menerima penjelasanku?
Apakah ia akan memahami alasan di balik kepergianku yang tiba-tiba ini? Semua ketidakpastian itu membuatku merasa gundah.
Perjalanan menuju Livka memang memakan waktu dua hari dan harus melewati lima stasiun, membuatnya menjadi perjalanan yang cukup panjang dan bagi sebagian orang, bisa terasa membosankan. Di dalam kereta, pilihan aktivitasku sangat terbatas. Selain tidur, aku hanya bisa memandangi pemandangan yang tergambar di luar jendela yang bergerak cepat. Rasanya aku sangat ingin kembali ke Venbert untuk menikmati malam festival yang meriah di sana dengan keceriaan dan sorak-sorai orang-orang. Namun, tampaknya keinginan itu belum bisa kujadikan kenyataan untuk saat ini. Terlepas dari rasa rindu, aku harus puas dengan perjalanan ini dan berharap ini akan membawa pengalaman baru yang tak terlupakan.
Sebelum menuju tempat misi sendiri aku berniat bersinggah di bukit Lurv tepatnya di reruntuhan klan Akaichi. Aku sudah mengingkari janji pertamaku dengan Lena dan untuk kali ini tidak ingin mengingkarinya. Aku harus mendapatkan obat untuknya di reruntuhan.
***
Selama dua hari perjalanan yang melelahkan, akhirnya aku tiba di stasiun Livka. Kota kecil ini, yang hanya dihuni oleh sekitar 15 ribu jiwa, menyambutku dengan suasana yang lebih tenang dibandingkan hiruk-pikuk kota besar. Saat melangkah keluar dari kereta, aku disambut oleh udara sejuk dan langit biru yang cerah, namun jalan-jalan tampak lengang, menciptakan kesan sepi.
Di stasiun, hanya ada beberapa petugas dan sejumlah penumpang yang ikut turun dari kereta. Kondisi sepi ini dapat dimaklumi, mengingat kota tersebut tengah menjalani proses pembangunan ulang yang intensif setelah sebelumnya dirusak oleh peperangan yang berkepanjangan. Debu proyek konstruksi memenuhi udara, sementara para pekerja berjuang untuk mengembalikan keindahan dan fungsi kota.
Setelah beristirahat sejenak, aku melanjutkan perjalanan menuju perbatasan di timur kota berjarak 40 km menggunakan kereta kuda. Aku sampai di Livka saat siang dan mungkin tiba di perbatasan malam nanti.
Kota maupun provinsi Livka, yang menjadi saksi bisu dari masa-masa kelam dalam sejarah pertahanan, kini tampak seperti tempat yang kehilangan semangat hidup. Dengan aktivitas yang didominasi oleh beberapa pabrik tua dan ladang jagung yang luas menghijau, kota ini tidak memberikan kesan daya tarik bagi para pengunjung atau penduduk setempat. Di antara sisa-sisa bangunan yang terabaikan, reruntuhan rumah yang ramai akan cerita masa lalu dan kawah-kawah dari ledakan artileri menghiasi lanskap, mengingatkan pada peristiwa heroik yang terjadi di sini. Dalam saga perjuangan yang berlangsung setahun lalu, kota ini menjadi latar kesetiaan divisi ke-11 Magolia saat menghadapi gelombang serangan tiada henti dari pasukan Varaya selama 10 hari dan 10 malam tanpa henti.
Pertempuran dramatis ini membawa korban yang tidak sedikit, dengan lebih dari 8 ribu tentara gagah berani yang kehilangan nyawa di medan perang, ditambah ribuan warga sipil yang terjebak di tengah pertempuran sengit. Konon, sungai yang mengelilingi kota Livka turut berubah menjadi merah darah, menjadi simbol pilu dari pengorbanan besar yang telah diberikan oleh mereka yang berjuang demi mempertahankan tanah air.
***
Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya aku tiba di perbatasan. Kedatanganku langsung disambut oleh beberapa anggota pasukan penjaga yang berpatroli di pos militer terdekat. Mereka tampak waspada dan sigap, memastikan bahwa setiap orang yang lewat memiliki ijin dan tidak membawa barang-barang yang mencurigakan.
Begitu menyelesaikan urusan administratif dan keamanan, aku menyadari betapa penatnya tubuhku karena berjam-jam di perjalanan. Aku memutuskan untuk mencari tempat yang nyaman untuk sejenak melepaskan lelah dan mengendurkan otot-otot yang terasa kaku. Setelah beberapa saat beristirahat, akhirnya aku tertidur dengan nyenyak dan bangun kembali sekitar jam 9 malam, siap melanjutkan perjalanan penuh tantangan di depan.
Setelah memilih saat yang tepat, ketika pos perbatasan tengah lengang dan nyaris tanpa aktivitas, aku dengan hati-hati mengganti pakaian dengan seragam militer Varaya yang telah disediakan. Segala sesuatunya harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan ketelitian mengingat tinggi tingkat kerahasiaan misi ini. Tidak hanya seragam yang harus diperhatikan, aku kemudian melanjutkan dengan mengenakan rambut pirang palsu dan lensa kontak berwarna hijau, memastikan penampilan benar-benar menyatu dengan identitas baru yang harus aku lancarkan. Barang-barang yang diperlukan telah dipersiapkan dengan cermat oleh anggota intelejen Magolia yang menyamar sebagai pasukan perbatasan, membuat transisi ini terasa lebih aman. Seluruh persiapan dilakukan dengan penuh kesadaran akan risiko, membingkai seluruh operasiku dalam kerahasiaan yang ketat.
Sesaat setelah itu, aku dengan cepat melangkah menembus hutan lebat yang memasuki perbatasan menuju wilayah Varaya, bertekad untuk mencapai tujuan yang telah kurencanakan. Namun, langkahku tidak begitu saja gegabah. Sebelum memasuki area yang lebih dalam, aku berhenti sejenak, mengintip dari balik dedaunan tebal, memperhatikan dengan seksama patroli perbatasan Varaya yang bergerak dalam kesibukan mereka. Aku memastikan tidak ada pergerakan yang mencurigakan dan mencari celah waktu yang tepat agar dapat melanjutkan perjalanan ini dengan aman.
" Apa yang kau lakukan di sini? "
" Gideon?! "
Aku terperanjat ketika Gideon mendadak di belakangku. Entah dari mana dia sampai bisa menemukanku.
Saat itu, aku pun penasaran dan bertanya kembali kepadanya, " Kau sendiri, sedang melakukan apa di tempat ini? "
" Gara-gara serangan di ibukota, aku batal berbulan madu dan batalyonku diminta ikut menjaga perbatasan, jadi wajar aku ada di sini. Aku melihatmu di pos, jadi aku sengaja mengikutimu, "
" Memangnya kau tidak ikut patroli? "
" Jatah patroliku pagi. "
" Apa kau mau membantuku malam ini? "
" Apa kawan? "
" Mencari obat di bukit Lurv untuk Lena. Daripada aku harus bolak-balik dan kebetulan kau menganggur aku bisa menitipkan barangnya padamu nanti, "
" Bolak-balik? Apa kau mendapat misi ke Varaya? "
" Begitulah... "
Gideon turun dari pohon dan melihat ke wilayah Varaya. " Lurv tidak terlalu jauh dari sini. Okelah ayo lakukan... "
" Bagaimana dengan tugasmu? " Tanyaku sedikit khawatir Gideon mendapat hukuman jika bolos bertugas.
" Tenang saja," jawab pria jangkung itu sembari menatapku dengan mata lebarnya, " paling hukumannya cuma potong gaji."
Dengan langkah mantap, kami memulai petualangan melewati batas negara yang sering kali dijaga ketat oleh prajurit yang berpatroli. Sebagai mantan anggota pasukan Faks, pengalaman dan keahlian kami dalam strategi dan taktik militer membuat proses ini menjadi lebih lancar. Kami memahami cara untuk bergerak dengan hati-hati agar tidak terdeteksi oleh para penjaga dari pasukan Varaya, yang dikenal akan ketelitian dan kewaspadaan mereka. Malam yang pekat menjadi sekutu kami, membawa kegelapan yang sempurna untuk menyembunyikan gerakan setiap langkah yang kami ambil. Bayangan malam menjadi pelindung, menyelimuti keberadaan kami dari pandangan dunia luar, sementara kami perlahan menghilang di antara pepohonan yang berjajar di sepanjang perbatasan tersebut.
***
Jarak antara bukit dan perbatasan hanya sejauh 51 km, yang cukup bagi kami untuk mencapai lokasi tersebut dalam waktu 3 jam saja. Bukit tersebut adalah bukit berbatu yang cukup terjal, namun semangat kami untuk menaklukkan puncaknya begitu besar. Dengan penuh kecepatan dan tanpa banyak kata, kami mulai memanjat bukit Lurv. Gideon, dengan tubuhnya yang ramping dan keterampilannya yang telah terasah dalam memanjat tebing, berhasil mencapai puncak lebih dulu dibandingkan denganku. Keahliannya dalam menavigasi medan yang sulit membuat proses pendakian menjadi lebih mudah baginya.
Setelah sampai di puncak bukit itu, kami disuguhi pemandangan dataran hijau yang mempesona, namun penuh misteri, dengan banyak reruntuhan rumah yang berdiri di sekelilingnya. Sebuah perasaan nostalgia meliputi diriku ketika kenangan masa kecilku muncul kembali. Masa-masa ceria berlarian di sini, berkejaran dengan teman-teman di bawah matahari yang hangat. Kini, tempat ini berubah menjadi desa hantu yang sunyi dan gelap, menyimpan cerita dari masa lalu yang enggan kuungkap.
Keheningan melingkupi kami, menyisakan hanya suara angin yang berdesir lembut dan desahan pohon-pohon tua sebagai pengingat akan keberadaan kehidupan yang pernah mengisi tempat ini.
Aku dan Gideon memasuki mulut goa yang terletak tidak jauh dari posisi kami saat ini. Berdasarkan informasi yang aku peroleh dari buku biografi tentang klan Akaichi yang pernah kubaca, diketahui bahwa tempat tinggal ketua klan berada di dalam goa tersebut. Berbekal pengetahuan ini, kami berdua berharap untuk menemukan apa yang kami cari di kedalaman goa yang misterius itu.
Ternyata ketika baru melangkah beberapa ratus meter menjelajahi goa yang misterius ini, kami dihadapkan pada sebuah ruang berbatu yang begitu luas dan menakjubkan. Di dalam ruang ini, tersaji pemandangan danau kecil yang airnya tampak jernih memantulkan cahaya samar dari celah goa. Di sekeliling danau tersebut, terdapat sejumlah reruntuhan rumah kayu tua yang penuh sarang laba-laba.
Namun, saat kulangkahkan kakiku lebih jauh ke dalam kegelapan goa, samar-samar terdengar desiran suara orang yang sibuk menambang diiringi obrolan riang. Ekspresi curiga langsung aku tunjukkan pada Gideon, dan tanpa kata, dia mengerti sinyal yang kuberikan.
Kami sengaja mengurangi kecepatan langkah dan berpindah secara perlahan, berusaha menyelinap dalam bayang-bayang goa yang sepi. Rasa waswasku terbukti benar. Ada sekitar 20 tentara Varaya tengah asyik mencari sesuatu yang berharga di antara reruntuhan ini. Namun, keberuntungan tidak berpihak pada kami, karena mereka ternyata memilih menambang tepat di lokasi bekas reruntuhan rumah ketua klan Akaichi.
"Sial, kita tidak mungkin bisa masuk tanpa terlebih dahulu menyingkirkan mereka," gumamku dengan suara yang nyaris tak terdengar.
" Aku akan mengurus mereka. Kau masuklah ke dalam reruntuhan. " Balas Gideon.
" Jika kau membunuh mereka dan ada yang lolos, bisa saja perang akan pecah lagi. "
" Aku punya rencana sedikit gila tapi aku tidak yakin kau setuju, "
" Apa rencanamu Gideon? "
" Demi menghilangkan jasad mereka nanti, kita ledakan saja goa ini jadi kematian mereka seolah-olah karena kecelakaan. "
Aku melihat sebuah kotak berisi peledak di dekat orang-orang itu. " Baiklah lakukan cara itu saja. Lagipula mereka membawa bahan peledak. "
Tanpa pikir panjang aku mengiayakan rencana Gideon. Mau bagaimanapun tempat ini sekarang hanya reruntuhan tak berguna. Aku sudah mengubur dalam-dalam kenanganku di sini kecuali kenangan bersama ibuku.
" Kau yakin? " Tanya Gideon.
" Tentu saja. Lakukanlah. Aku akan mencari celah untuk masuk. Usahakan jangan sampai ada satupun yang lolos. "
" Tenang saja. " Gideon melepas sarung tanganya lalu mengambil bayonet di pinggang.
" Maju! " Aku berlari memutar sambil menjatuhkan beberapa batu reruntuhan untuk memancing mereka.
Dengan cepat, Gideon melompat dan memulai pertarungannya dengan ketangkasan yang luar biasa. Tidak hanya mengandalkan kecepatan, tubuhnya yang ramping memungkinkannya bergerak dengan gesit dan efisien.
Melihat ada celah yang terbuka, aku secepat mungkin berlari dan menyelinap ke dalam reruntuhan rumah tua itu. Minimnya pencahayaan di sini memudahkanku bergerak.
Aku meninggalkan Gideon dan membiarkannya berjuang sendirian saat aku dengan cepat menerobos masuk ke dalam reruntuhan yang penuh dengan puing-puing berserakan. Di dalamnya, setiap sudut sudah hancur total, menjadikan tempat ini kosong tanpa tersisa satu barang pun yang dapat diambil. Semua harta berharga milik klan Akaichi tampaknya sudah diambil habis oleh mereka yang lebih dulu datang ke sini.
Langkah kakiku terdengar saat aku menjelajahi ruangan yang dulunya megah namun kini hanya menyisakan kerangka, dinding-dinding yang terkelupas, dan lantai yang berdebu. Pandanganku tertuju pada sebuah tangga batu yang terlihat rapuh, mengarah ke bawah tanah yang semakin mencekam. Kegelapan menyelimuti tempat itu, tetapi untungnya energi sihirku memberikan penglihatan yang cukup jelas, sehingga aku bisa menavigasi keseluruhan ruang tanpa takut tersandung atau jatuh ke dalam jebakan yang mungkin tersembunyi.
Perlahan menuruni anak tangga, tanpa terburu-buru, meski suasananya tetap sepi dan sunyi. Di bawahku hanya tersaji ruang kosong dengan dinding berbatu yang dingin, membuat suasana semakin mencekam. Awalnya aku berpikir bangunan ini hanya memiliki dua lantai saja, namun ternyata ada tangga yang terus mengarah ke bawah, seakan menyimpan rahasia yang lebih dalam.
Tanpa memperdulikan rasa letih yang mulai menggigil di kaki, aku terus menyusuri setiap lantai, berharap menemukan sesuatu yang signifikan. Namun, lantai demi lantai yang kutemui hanyalah ruang kosong yang tak berpenghuni, sunyi dan dingin. Hingga akhirnya aku tiba di lantai kedelapan. Pada lantai ini, kesunyian mulai terisi dengan pemandangan yang berbeda. Di lantai yang berdebu ini, berserakan buku-buku kotor yang sudah lama ditinggalkan, menyisakan rahasia dan cerita tersembunyi di antara lembar halamannya. Selain itu, di sekitarnya tergeletak banyak botol yang berisi cairan bening, misterius namun entah apa maknanya.
Cairan bening ini sebenarnya adalah obat-obatan tetapi hanya keturunan klan Akaichi yang mampu melihat dengan kemampuan energi sihir. Dengan mengalirkan sihir ke mata membuat penglihatan klan Akaichi puluhan kali lipat lebih tajam dari orang pada umumnya atau pemilik energi sihir juga. Cairan ini memiliki banyak warna tapi hanya dengan energi sihir dapat melihat warna dan tulisan di setiap botol. Setidaknya itulah yang kubaca dari buku.
Dengan penuh tekad, aku mulai mengumpulkan dan memilah setiap botol yang berserakan di sekitar ruangan. Satu persatu, aku membaca tulisan pada setiap botol, berharap menemukan petunjuk yang bisa menuntunku pada obat yang dapat menyembuhkan mata Lena. Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam dalam pencarian, aku berhasil menemukan beberapa jenis obat, namun sayangnya bukan yang aku cari.
Sebagian besar botol yang kutemukan ternyata berisikan racun. Hal ini membuatku bertanya-tanya apa alasan di balik tindakan ketua klan Akaichi yang memproduksi racun dalam jumlah yang cukup banyak. Meski rasa frustrasi sempat menyelimuti, aku tidak berniat untuk menyerah. Semangatku tetap membara, terdorong oleh janji dan harapan untuk dapat memberikan kesembuhan bagi Lena.
Meskipun berulang kali kucari, tetap tidak kutemui obat yang tertera di buku. Obat penghapus kutukan.
Aku coba berkeliling ruangan mencermati segala isinya. Mulai menyingkirkan botol racun, merapikan buku-buku kotor, dan memeriksa rak-rak lemari berdebu.
Saat sedang sibuk membuka-buka buku-buku usang, pandanganku tak sengaja tertarik pada sebuah guci kecil berwarna emas yang setengah tertimbun oleh tumpukan buku bersampul tebal. Rasa penasaran mengusik, lalu kuambil guci itu dari tumpukan dan perlahan kugoyangkan. Suara gemericik air di dalamnya jelas terdengar. Namun, masalah segera menghadang ketika tutup guci itu membandel tak bisa dibuka, meski telah kupaksa dengan mengumpulkan energi sihir di kedua telapak tangan.
Aku tak menyerah secepat itu, dan berulang kali kucoba tanpa hasil. Akhirnya, kuputuskan untuk mencari jawaban diantara lembaran buku-buku berdebu yang berserak di sekitar tempat guci tersebut ditemukan, siapa tahu ada informasi berharga tentang asal-usul atau rahasia guci misterius ini.
Setelah berulang kali membolak-balik setiap halaman buku kotor dan berdebu, akhirnya kudapati penjelasan tentang guci yang dinamai guci kesucian.
Dahulu, terdapat dua guci yang menyimpan warisan magis yang sangat berharga bagi klan Akaichi. Satu guci berukuran besar, dan yang lainnya guci kecil yang sekarang berada di tanganku. Kedua guci tersebut dipenuhi dengan campuran cairan yang sama, yaitu darah dari leluhur klan Akaichi yang diolah bersama wine berusia ratusan tahun. Uniknya, guci kecil ini memiliki tambahan cairan spesial yang tidak dijelaskan dalam catatan sejarah.
Cairan ini dipercaya memiliki manfaat besar dalam meningkatkan energi sihir dari setiap anggota klan Akaichi, menjadikannya sebuah alat yang sangat berharga bagi mereka. Sayangnya, bagi orang luar yang tidak berasal dari klan Akaichi, penggunaan cairan ini dapat berubah menjadi kutukan yang berbahaya. Hal ini terjadi karena lonjakan energi sihir yang dihasilkan dapat menghancurkan sel dan organ mereka. Namun, terdapat jalan keluar dari kutukan tersebut, yaitu cairan penyembuh yang tersimpan dalam guci kecil ini. Cairan ini diyakini mampu menetralisasi efek buruk dan mengembalikan tubuh ke kondisi normal.
Dari penjelasan buku, intuisiku benar ternyata kebutaan Lena karena kutukan. Walau tidak dijelaskan secara rinci, semenjak ibu Lena meminum cairan itu, Lena yang masih dikandungan secara tidak sengaja menyerap cairan yang ditenggak ibunya sehingga dia memiliki darah klan Akaichi.
Pantas kalau dia punya energi sihir. Dan untung saja obat penawar sudah kutemukan sekarang. Segera aku kembali naik. Rasa khawatir pada Gideon menganggu pikiranku di sini. Entah seperti apa kondisi si pria kurus itu di sana.
***
Aku tertegun, tidak mampu mengalihkan pandanganku dari tumpukan mayat yang tersebar sembarangan di sekitar tempat ini. Pertarungan yang baru saja terjadi tampak begitu brutal, namun Gideon, dengan wajah yang menunjukkan kepuasan, tampak benar-benar menikmati setiap momennya. Dia duduk santai, bersandar pada batu besar seraya dengan tenang membersihkan bayonetnya yang dipenuhi bekas darah.
Menjadi lebih penasaran, aku perhatikan bahwa di antara korban yang tergeletak di tanah, selain kelompok orang Varaya, terdapat juga sejumlah individu yang mengenakan jubah lusuh dan robek, tampaknya bukan bagian dari Varaya. Keberadaan mereka di sini menambah teka-teki yang membingungkan. Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini hingga dapat mengorbankan begitu banyak nyawa? Tanpa jawaban yang jelas, suasana di sekitar kami tetap sunyi, seolah-olah tanah ini dipenuhi dengan bisikan tragis dari mereka yang telah pergi. Gideon tetap tak terganggu, terus berkonsentrasi pada senjatanya, meninggalkan pertanyaan yang menggantung di udara.
" Siapa mereka? " Tanyaku seraya berjalan ke arah Gideon dengan membawa guci dan beberapa botol dari dalam tadi.
" Dewi keberuntungan berpihak pada kita kayaknya. " Gideon menatapku dengan senyum santai seperti biasa. " Mereka para bandit yang juga mengincar tempat ini. Tapi berkat mereka, kita tidak perlu meledakkan tempat ini. "
Ku lirik lagi mayat-mayat di sekeliling kami, " Kau benar. Tentara Varaya yang datang nanti akan beranggapan tempat ini dirampok. "
" Kau berhasil menemukan obat untuk adikmu? " Gideon melirik ke guci yang kubawa.
" Begitulah, "
Gideon melihat-lihat botol itu, " Seperti air biasa. "
" Karena cuma klan Akaichi yang bisa melihatnya. "
" Lalu bagaimana dengan guci kecil itu? " Tanya Gideon menunjuk guci emas di tanganku.
Aku mengangkat gucinya dan memperlihatkan kepada Gideon. " Ini obat untuk adikku. Dengan ini akhirnya dia bisa melihat. "
" Apa perlu kuberikan itu ke adikmu? "
" Ya Gideon. Aku memang berniat menitipkan ini padamu karena aku harus melanjutkan misi. " Kuberikan guci ini kepada Gideon.
" Aku akan memberikan ini ke adikmu setelah menyelesaikan tugas di perbatasan. Dan sepertinya kita akan berpisah di sini ya? "
Aku tersenyum kecil dan sedikit merasa sedih harus berpisah dengan sahabatku. " Tolong sampaikan permintaan maafku padanya. "
Gideon mengambil tas kecil dari mayat di sampingnya kemudian memasukan guci dan botol pemberianku ke dalam. " Baiklah... "
" Jaga dirimu baik-baik Gideon. Saat misiku selesai, aku pasti akan berkunjung ke Burga lagi. " Kataku mencoba menghibur diri. " Oh ya terimakasih juga sudah mau mengantarkan obat itu "
" Kita ini saudara seperjuangan, jadi tidak perlu sungkan meminta tolong. Aku akan menghidangkan makanan mewah saat kau berkunjung ke Burga. Karena itu pastikan dirimu tetap hidup kawan. " Balas Gideon dengan senyum yang menular padaku. Dia langsung pergi duluan dari tempat ini dan meninggalkanku.
Sedangkan aku mencoba mengelilingi reruntuhan klan Akaichi sekali lagi untuk mengenang memori masa kecilku sebelum melanjutkan misi.
^^^To be continue^^^