:"Ya Allah, kalau Engkau tidak mengirimkan jodoh perjaka pada hamba, Duda juga nggak apa-apa ya, Allah. Asalkan dia ganteng, kaya, anak tunggal ...."
"Ngelunjak!"
Monica Pratiwi, gadis di ujung usia dua puluh tahunan merasa frustasi karena belum juga menikah. Dituntut menikah karena usianya yang menjelang expired, dan adiknya ngebet mau nikah dengan pacarnya. Keluarga yang masih percaya dengan mitos kalau kakak perempuan dilangkahi adik perempuannya, bisa jadi jomblo seumur hidup. Gara-gara itu, Monica Pratiwi terjebak dengan Duda tanpa anak yang merupakan atasannya. Monica menjalani kehidupan saling menguntungkan dengan duren sawit, alias, Duda keren sarang duit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Monica , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Sejak malam di makam, hubungan Monica dan Teddy lebih hangat, lebih sering saling mengabari, tertawa bersama, dan lebih peka satu sama lain. Namun, tak ada yang memberi label pada kedekatan itu.
Hari Minggu pagi, Monica menyapu halaman saat suara klakson terdengar. Mobil Teddy terparkir di depan rumahnya.
"Lho, tumben pagi-pagi ke sini?" tanya Monica tersenyum, sedikit terkejut.
Teddy turun dari mobil, mengenakan kaus lengan panjang dan celana jeans santai. Rambutnya sedikit acak-acakan, membuatnya tampak lebih muda.
"Pagi juga. Aku bosan di rumah. Mau ngajak kamu sarapan soto," ujarnya sambil mengangkat kantong plastik berisi dua bungkus soto dan kerupuk.
Monica mengerjap, "Kita nggak jadi pergi?"
"Nggak usah jauh-jauh dulu. Aku tahu kamu belum mandi," godanya.
Monica mendesis sambil menahan tawa, "Dasar Pak Duda nyinyir!"
Mereka duduk di teras. Bu Anna, ibu Monica, sempat muncul dan tersenyum, menyiratkan restu diam-diam.
Sambil menyeruput soto, Monica melirik Teddy, "Kamu sering kayak gini nggak sih dulu sama istri kamu?"
Teddy terdiam sejenak, "Soto sih enggak. Dia lebih suka bubur ayam. Tapi suasananya… ya, mirip. Cuma bedanya, waktu itu aku lebih sering nunduk ke HP. Sekarang aku sadar, duduk bareng dan ngobrol begini itu jauh lebih berharga."
Monica mengangguk, lalu mencolek kerupuk dan menjentikkannya ke arah Teddy, "Berarti kamu lagi belajar jadi pasangan yang lebih baik ya?"
Teddy tertawa kecil, "Belajar pelan-pelan, dari kamu."
Monica tertegun. Senyumnya mengembang, jantungnya berdebar.
Suasana hening. Teddy membuka suara lagi, "Mon, kalau suatu hari nanti aku... menawarkan sesuatu yang serius, kamu bakal takut?"
"Takut?" Monica menaikkan satu alis. "Takut kenapa?"
"Takut karena aku duda. Karena aku punya masa lalu. Karena aku punya anak. Karena aku nggak sempurna."
Monica meletakkan sendoknya, menatap mata Teddy serius, "Aku justru takut kalau kamu nggak pernah ngerasa semua itu. Karena artinya kamu nggak belajar dari apa-apa."
Teddy mengangguk pelan. Angin berembus pelan. Hanya ada tatapan yang tak sanggup didefinisikan, dan sisa kuah soto yang mendingin.
"Monica," gumam Teddy, "Apa aku terlalu nyaman buat kamu?"
Monica nyengir, "Nyaman banget, Pak Duda. Sayangnya, kamu belum ngajak aku ke KUA."
Minggu sore itu, langit mendung seperti hati Monica. Kehangatan dan ketenangan bersama Teddy membuatnya merasa bahaya—kenyamanan bisa membuat seseorang lengah, jatuh terlalu dalam sebelum tahu arahnya.
Setelah makan soto, Teddy pamit pulang, namun sepuluh menit kemudian ia kembali, membawa setangkai mawar merah.
"Ini buat kamu. Karena tadi sotonya enak, dan kamu lebih enak," katanya setengah bercanda.
Monica mendelik, "Enak gimana maksudnya?!"
Teddy tertawa lebar, "Maksudnya, kamu enak diajak ngobrol."
Monica nyaris melempar sapu, tapi tak bisa menahan senyumnya. Duda ini makin nekat menggoda.
Malamnya, Monica duduk di kamar, memandangi mawar merah. Beberapa pesan Teddy masih ada di layar, ringan namun membekas:
"Kalau kamu nanti kedinginan, panggil aja aku. Nggak punya selimut, tapi punya bahu."
Gombalan ala duda yang bikin hati meleleh.
Sebelum membalas, notifikasi baru masuk, dari nomor asing:
“Kamu pikir kamu bisa merebutnya dariku semudah itu?”
Monica menegang. Ia membalas cepat:
“Maaf, ini siapa?”
Balasan tak kunjung datang. Jantungnya berdegup tak karuan. Siapa pengirimnya? Mantan istri Teddy? Perempuan lain? Atau… anak dari masa lalu yang belum selesai?
Pikiran Monica kacau. Kenyamanan yang ia rasakan seakan ditarik kembali. Apakah dirinya salah merasa nyaman dengan duda yang belum selesai berdamai dengan masa lalu?
Notifikasi lain muncul:
Dari: Teddy
“Aku tahu kamu mulai ragu. Tapi jika kamu mau bertahan, aku akan membuat semua keraguan itu jadi alasan untuk jatuh cinta yang sebenarnya.”
Monica menatap layar ponselnya lama. Lalu membalas pelan:
“Aku akan bertahan. Tapi jangan bohongi aku, ya. Sekali aja, aku bisa pergi.”
Hujan mulai turun. Di hati Monica, badai juga mulai mendung.