Jalan berliku telah Nina lalui selama bertahun-tahun, semakin lama semakin terjal. Nyaris tak ada jalan untuk keluar dari belenggu yang menjerat tangan dan kakinya. Entah sampai kapan
Nina mencoba bersabar dan bertahan.
Tetapi sayangnya, kesabarannya tak berbuah manis.
Suami yang ditemani dari nol,
yang demi dia Nina rela meninggalkan keluarganya, suaminya itu tidak sanggup melewati segala uji.
Dengan alasan agar bisa melunasi hutang, sang suami memilih mencari kebahagiaannya sendiri. Berselingkuh dengan seorang janda yang bisa memberinya uang sekaligus kenikmatan.
Lalu apa yang bisa Nina lakukan untuk bertahan. Apakah dia harus merelakan perselingkuhan sang suami, agar dia bisa ikut menikmati uang milik janda itu? Ataukah memilih berpisah untuk tetap menjaga kewarasan dan harga dirinya?
ikuti kelanjutannya dalam
KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Seminggu kemudian...
Nina merasakan penurunan pelanggan di laundry-nya. Dalam hati bertanya-tanya, apakah gerangan sebabnya. Namun, ia tak mau berprasangka buruk.
Sering sekali wanita itu merasakan sesuatu yang aneh, tetapi tidak tahu itu apa. Seperti siang itu ketika Nina sedang duduk di depan meja setrika nya. tangannya bergerak lincah melakukan pekerjaannya. Namun, tiba-tiba saja ia merasa sedikit merinding, merasa seperti ada yang meniup tengkuknya. dia merasa seperti sedang diawasi. Menoleh ke belakang tetapi tak menemukan apapun.
“A'udzu billahi minash shaytanir rajim…” ucapnya lirih. Bergegas saja wanita itu mencabut setrikanya lalu berdiri dan pergi ke belakang untuk mengambil air wudhu.
“Ada apa ya sebenarnya? Kenapa belakangan ini Aku merasa sedikit aneh?” gumam Nina.
“Mbak Nina, kok aku lihat sudah berapa hari ini pintunya tutupan terus?”
Tiba-tiba saja Nina teringat percakapannya dengan beberapa tetangga ketika dia sedang membeli sayur kemarin.
Nina mengerutkan keningnya. “Tutupan bagaimana atau maksudnya Mbak Tina?” Tanya Nina tak mengerti.
“Ya tutupan. Pintu rumah kamu itu sudah beberapa hari tertutup terus, memangnya kamu pergi ke mana? Padahal waktu itu aku mau laundry,” terang Mbak Tina.
Tentu saja itu membuat Nina semakin bingung. Padahal jelas-jelas dia ada di rumah, dan pintu rumahnya maupun pintu tempat laundry-nya selalu dia buka lebar. Bagaimana bisa Mbak Tina mengatakan kalau pintu rumahnya tertutup terus.
“Tutupan gimana? Orang aku tiap hari laundry ke tempatnya Mbak Nina kok?” Belum sempat Nina menjawab, Bu Asih sudah mendahuluinya.
“Aku juga loh,” timpal Bu Sarni. “Aku juga tiap hari laundry, dan aku selalu ketemu Mbak Nina kok.”
“Masak sih?” Mbak Nunik ikut bertanya tidak percaya. "Soalnya tiap kali aku ke rumah Mbak Nina, Aku juga selalu lihat pintu rumah Nina tertutup rapat. Terus aku pulang lagi."
Keterangan berbeda dari beberapa orang, membuat Nina merasa semakin aneh.
sampai suatu ketika, saat Nina sedang menyapu di halaman, wanita itu merasa ada sesuatu yang aneh dari sudut halamannya. Ada tanah yang seperti bekas digali kemudian diratakan kembali.
“Apa ini? Aku tak pernah melihatnya sebelumnya,” gumam Nina, perasaannya tak enak. Nina masuk kembali ke dalam rumah untuk mencari linggis, guna mencongkel tanah itu.
“Hoekkk…”
Nina merasa perutnya mual begitu dia berhasil menggali tanah tersebut. Ada sebuah kain kecil, usang, berwarna gelap. Bau tanah dan sesuatu yang… aneh. Seperti bau bangkai. Nina merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia segera mengambil plastik guna membungkus barang tersebut. Tanpa pikir panjang ia membawa kain itu ke rumah orang tuanya.
Wajah Pak Sukadi langsung berubah drastis. Alisnya bertaut, rahangnya mengeras, dan tangannya gemetar saat ia mengambil benda itu dari Nina. Ia menatap kain itu dengan tatapan tajam. “Kita harus ke rumah Mbah Rul sekarang,” ucapnya sambil bergegas mengeluarkan sepeda motornya.
***
Sesampainya di rumah Kyai Bahrul, Nina menceritakan semuanya yang dia alami beberapa hari terakhir.
Kyai Bahrul mendengarkan dengan sabar, sesekali mengangguk sambil mengamati kain tersebut dengan teliti.
"Apa yang harus saya lakukan, Kyai?" tanya Nina.
"Jangan khawatir, Nduk," jawab Kyai Bahrul. "Kita akan melakukan ruqyah dan doa bersama. Yang terpenting, jaga sholatmu, perbanyak amal baik, dan maafkanlah siapapun yang telah melakukan ini kepadamu. Jangan membalas dengan kejahatan, serahkan saja semuanya pada Allah."
Nina mengangguk begitupun dengan Pak sukadi.
Kyai Bahrul kemudian memimpin doa dan melakukan ruqyah. Ia membacakan ayat-ayat suci Al-Quran dan memanjatkan doa untuk menangkal pengaruh buruk dari teluh tersebut. Setelah itu, Kyai Bahrul memberikan Nina beberapa wejangan.
***
Nina telah kembali berada di rumahnya.
“Kamu dari mana Dek?” Tanya Wito.
“Aku dari rumah Ayah Mas. Tadi,,,, “ Nina kemudian menceritakan apapun yang ditemuinya kepada suaminya. Juga semua yang diwejangkan oleh Kyai Bahrul.
Mata Wito terbelalak tak percaya, namun sesungguhnya dalam hati dia sudah mengira ada satu nama. Kang Damin, kakaknya sendiri. Hanya dia satu-satunya orang yang Wito curigai. Tapi kenapa, Kenapa kakaknya itu begitu tega melakukan hal tersebut pada keluarganya?
****
Seminggu sudah berlalu, Nina mengikuti semua saran Kyai Bahrul. Ia semakin rajin beribadah, berserah diri pada Allah, memperbanyak amal baik, dan selalu menjaga kebersihan rumahnya. Ia juga berusaha mengikuti saran Kyai Bahrul untuk tidak menyimpan dendam. Walaupun kata ikhlas seperti yang diucap oleh Kyai Bahrul, adalah sesuatu yang hanya mudah diucap di lidah tetapi sangat sulit untuk dia terapkan dalam hatinya sendiri.
Perlahan-lahan, kondisi laundry-nya mulai membaik. Pelanggan kembali berdatangan, dan masalah-masalah kecil lainnya pun teratasi.
***
Sementara itu di tempat lain
“Aarhhh,,, Sari,,, Sari…!” Damin terbangun dengan rasa sakit kepala yang luar biasa. Dia berteriak memanggil istrinya. Namun yang datang bukan Sari, melainkan sulungnya, Bowo.
Bowo melihat ayahnya meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya, tetapi pemuda itu tak bereaksi sedikitpun, selain hanya menatapnya dengan wajah datar.
“Mana ibumu yang goblok itu? Sudah tahu suami sakit, bukan diurusi malah kelayapan!” bukannya minta tolong dengan baik-baik, Damin malah berbicara kasar dan memaki.
Tidak ada jawaban apapun dari mulutmu anak sulungnya dan itu membuatnya semakin besar. “Dasar anak durhaka! Seperti itu sikapmu melihat ayahmu yang sedang kesakitan?” Sambil memegangi kepalanya yang sakit, Damin terus mengumpat.
“Aaarghh… sakit , aduh biyung,,,!” Damin kembali berteriak sambil memegangi kepalanya, menungging, membentur-benturkan kepalanya di atas bantal. “Panggilkan Mbah Karso ke sini! Pasti ada yang mengirim guna-guna padaku!” Perintah Damin.
Apa Bowo peduli? Tidak. Pemuda itu sama sekali tak bereaksi.
“Ono opo toh Mas, kok bengak-bengok?” (Ada apa sih, Mas, kok teriak-teriak?) Mendengar keributan Dewi yang sedang memasak di dapur ikut mendekat.
“Ora ngerti, uyahe balik neng awake dewe bekno, (tidak tahu, mungkin teluh yang dia kirim ke orang lain kembali pada dirinya sendiri)” jawab Bowo cuek.
“Ibu kemana, Mas?” Dewi merasa heran, karena biasanya jika mendengar ayahnya berteriak sedikit saja, maka ibunya yang paling gerak cepat.
Bowo melangkah keluar dari kamar ayahnya diikuti oleh Dewi. “Aku sengaja membuat ibu menyingkir,” jawab Bowo santai.
“Haa,,, ?” Mulut Dewi menganga lebar. “Kok bisa? Memangnya Mas Bowo tahu, Ayah bakal kek gitu?”
“Tadi pagi aku melihat gelagat ayah yang aneh. Terus tidak biasanya dia bangun keduluan sama matahari. Jadi aku pikir pasti ada yang tidak beres.” Bowo menjelaskan asumsinya.
“Makanya aku pura-pura minta tolong ke ibu buat nemenin Sinta belanja. Sebelumnya aku sudah bilang sama Sinta Aku suruh dia ajak ibu jalan-jalan. Biar saja sesekali Ibu healing, dan biarkan sesekali Ayah kesusahan tanpa kehadiran ibu.”
“Oooo,,, begitu too,,,?” Dewi manggut-manggut, menyetujui Apa yang diucapkan oleh kakaknya.
“Hoekkk,,,”
Suara orang muntah terdengar di telinga Bowo dan Dewi. Bergegas saja dua anak Damin itu, kembali ke kamar ayahnya. Mulut mereka berdua menganga, manakala melihat ayahnya muntah darah. Namun bukan hanya itu, yang paling menjijikkan adalah, ada banyak belatung dalam muntahan itu.
Rupanya teluh yang tak bisa mengenai Nina dan keluarganya, sedikit demi sedikit berbalik kepada mereka yang telah mengirimnya.
“Kurang ajar,,,!” Teriak Damin. “Siapa yang berani melempar teluh padaku!”
Bowo menggelengkan kepalanya, tadinya ia ingin menolong ayahnya, tetapi nampaknya ayahnya masih bisa berteriak garang. Maka dia pun segera meraih tangan Dewi dan mengajaknya keluar dari tempat itu.
“Hei,, kalian berdua!” Damin merasa tidak terima karena dia ditinggalkan begitu saja. “Dasar anak durhaka,,,!"
Hoekkk…
tak or yak?
terima kasih tetap memberikan hiburan gratis ini,
jangan lupa istrahat cukupp yaaa/Kiss//Kiss/