NovelToon NovelToon
When The Game Cross The World

When The Game Cross The World

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / Action / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:615
Nilai: 5
Nama Author: Girenda Dafa Putra

Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.

Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.

Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.

Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Naluri Penulis di Ambang Kekacauan

...Chapter 22...

Dalam jarak nan terbentang antara mereka, Theo merasakan perbedaan tekanan yang begitu besar.

Udara menekan tubuhnya, bagai dunia sendiri menunduk pada wujud yang baru saja muncul.

Hatinya berdetak tak karuan.

Bukan karena ketakutan, melainkan karena naluri seorang penulis dalam dirinya—insting yang tahu bahwa ketika sesuatu yang seharusnya tak tertulis mulai muncul di dalam cerita, maka itu bukan sekadar kesalahan sistem.

Itu adalah tanda bahwa kisahnya telah mengambil alih pena penciptanya.

"Senang akhirnya bisa menemuimu secara langsung, meski kuharap pertemuan ini tidak berlangsung di tengah kekacauan semacam ini.

Aku tidak punya waktu untuk bertele-tele, jadi akan kusampaikan secara langsung.

Pertarungan antara Erietta dan Aldraya ini terjadi di waktu yang tidak tepat.

Sebagai Administrator, Anda seharusnya menyadari bahwa kejadian ini belum waktunya muncul di pertengahan episode lima, melainkan di episode tujuh atau delapan."

Fuuuuuh!

"Apabila variabel kejadian seperti ini terus muncul tanpa kendali, alur utama akan rusak, narasi cerita bisa kolaps, dan seluruh game Flo Viva Mythology tidak akan lagi mengikuti jalan cerita yang ditetapkan.

Jadi bila kau datang hanya untuk mengamati atau menegur, tolong urungkan niat itu.

Aku harus menghentikan pertarungan ini sebelum dunia ini benar-benar kehilangan koherensi."

Theo berdiri tegak.

Pdangnya masih meneteskan sisa cahaya biru nan berpendar seperti detak jantung yang belum mau berhenti.

Ia tahu kehadiran Cru bukan kebetulan, dan lebih dari itu, bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.

Namun bagi Theo, waktu bukanlah kemewahan yang bisa dibuang untuk percakapan basa-basi.

Dengan sorot mata nan menembus kabut transparan di mana wujud Cru berdiri, ia sempat menunduk sedikit—gestur hormat yang nyaris tak terlihat—sebelum melontarkan kalimatnya dengan nada yang tak memerlukan jawaban.

Ia mengakui kehadiran Cru, bahkan menyatakan kegembiraannya bertemu sang Administrator nan menjadi penjaga nadi dunia ini.

Tetapi hanya sebagai pembuka yang sopan sebelum ia kembali menatap kenyataan yang lebih mendesak.

Baginya, ini bukan waktu yang tepat untuk bersujud pada sistem, bukan pula saat nan pantas untuk berdebat dengan kesadaran yang bisa menghancurkan eksistensinya kapan pun ia mau.

Theo berbicara cepat, lugas, dan penuh tekanan.

Ia menyampaikan bahwa dirinya tak punya waktu untuk meladeni Cru, sebab di sinilah letak pertaruhan yang sesungguhnya.

‘Apakah Flo Viva Mythology masih bisa berjalan sesuai dengan skenario, ataukah dunia ini akan runtuh karena variabel liar yang sedang tumbuh di luar kendali penulis maupun sistem?

Ia memandang ke arah di mana debu pertarungan masih beterbangan—ke arah dua gadis yang sedang menentang takdir mereka dengan pedang terhunus—dan di situlah fokus Theo tertambat.

Ia tahu dengan pasti, setiap tindakan yang terjadi di luar urutan episode berisiko mengguncang fondasi dunia.

Pertarungan antara Erietta dan Aldraya seharusnya menjadi puncak pada episode depan, simbol eskalasi emosi yang matang.

Bukan insiden prematur nan mengacaukan ritme narasi.

Tapi kini, mereka bertarung terlalu cepat, dan itu menandakan sesuatu yang lebih buruk.

Dunia sedang kehilangan kemampuan membedakan waktu dan tempatnya sendiri.

Theo menegaskan hal itu pada Cru, suaranya tajam menyerupai mantra nan diukir dalam udara, menuntut sang Administrator untuk mengerti bahwa tugasnya kali ini bukan untuk tunduk, melainkan untuk bertindak demi menstabilkan dunia yang hampir pecah.

Dalam diamnya, Theo tetap waspada.

Ia sadar, setiap kata yang ia ucapkan bisa menjadi alasan bagi Cru untuk menghapus eksistensinya dari dunia ini.

Namun tatapan Theo tetap menantang.

Bukan karena keberanian semata, melainkan karena tekad seorang penulis yang menolak melihat cerita berhenti di tengah jalan.

Ia akan memperbaiki variabel yang menyimpang, entah dengan cara menulis ulang pertempuran itu, atau dengan tangannya sendiri menghentikan kedua gadis yang kini sedang menulis kisahnya tanpa izin darinya.

'Jadi kau cuma berdiri diam memandangku, Cru? Hah, terlalu tenang untuk sekadar penjaga.

Jika memang ingin mengujiku, mari kita lihat siapa yang lebih dulu terjatuh.'

Buuuuk!

'Satu langkah ke depan, dan—'

Hussssh!

'Hah? Menghilang tanpa jejak?

Tch, seperti yang kuduga dari tadi.

Bukan hologram biasa.

Baiklah, jangan tuding aku nanti.'

Huuuuuh!

'Satu Titik, Sembilan Akupuntur Dituntaskan!'

Tanah di bawah kakinya bergetar pelan ketika Theo mulai melangkah.

Gerakannya perlahan, namun setiap langkahnya mengandung kehati-hatian yang terukur, bagai seseorang yang menapaki permukaan kaca yang mungkin pecah setiap saat.

Ia ingin tahu seberapa jauh batas Cru—apakah entitas itu hanya pengawas yang diam, atau tangan Tuhan nan menebas setiap penyimpangan.

Cahaya dari katana di genggamannya masih berdenyut lembut, ikut menunggu jawaban dari dunia nan sedang menahan napas.

Namun baru satu langkah menjejak, udara di depannya bergetar.

Cru lenyap, tidak seperti menghilang melainkan terserap ke dalam ruang itu sendiri, meninggalkan riak tipis nan melingkar ke luar, membengkokkan pandangan mata Theo.

Detik itu juga, instingnya mengambil alih.

Theo tanpa pikir panjang memutar tubuh, mundur cepat beberapa langkah, dan dalam gerakan yang sama melayangkan Teknik Satu Titik, Sembilan Akupuntur Dituntaskan untuk kedua kalinya.

Gerakan begitu cepat hingga bayangannya sendiri tertinggal di udara, dan bilah cahaya biru itu lahir kembali, membelah ruang dengan suara nan nyaris menyerupai tarikan napas terakhir dunia.

Udara pecah, tanah terbelah, dan kilatan biru itu menembus kabut di sekitar, membentuk garis lurus sempurna yang mengarah ke sumber lenyapnya Cru.

‘Heh, baja ya?

Tapi bukan baja biasa.

Julukan bahwa kau bukan entitas sembarangan memang tidak salah, bukan begitu?'

Suuuuuh!

‘Menarik, sangat menarik.

Bahkan dalam keadaan nyaris tak berbentuk, kau masih dapat menghalau setiap gerakan—seolah telah mengetahui arah niatku sebelum mata ini sempat melihatnya.

Ingin bermain seperti itu, ya?

Baiklah, aku bisa menuruti sedikit kegilaanmu.

Tapi jangan salahkanku kalau nanti kau menyesal muncul di hadapanku.’

Tiiing - taaang!

‘Menabrakkan diri pada teknik Sembilan Akupuntur Dituntaskan dan tetap berdiri tanpa goyah?

Apa kau sadar betapa tidak masuk akalnya hal itu?

Tidak, kau pasti sadar karena justru itulah yang membuatmu tersenyum dalam ketiadaan bentukmu itu.'

Wuuuuuh!

‘Kalau kau pikir aku akan mundur hanya karena satu serangan gagal, kau salah besar.

Aku bukan manusia yang berhenti di kegagalan pertama.

Dunia tempatku berasal mengajarkan bahwa makna kemenangan sejati bukan terletak pada hasil akhir, tapi pada keuletan di tengah absurditasnya.’

Angin di sekitar Theo berputar mengikuti gerakan, membuat butiran debu dan dedaunan beterbangan liar di udara.

Dua puluh tujuh kali tebasan yang lahir dari niat seorang penulis tangguh menabrak sesuatu nan terasa seperti baja, keras dan tak tergoyahkan, menimbulkan gema yang tak henti bergema di antara pepohonan dan reruntuhan kecil di sekitar.

Setiap tebasan lahir dengan presisi luar biasa, menandakan bahwa Theo tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga pemahaman mendalam tentang mekanika pertempuran dan aliran energi yang ia ciptakan sendiri.

Gerakannya begitu cepat dan luwes, seakan tubuhnya menari mengikuti irama skenario yang orang lain tulis, meski dunia ini kini telah menyerap hampir seluruh logikanya ke dalam realitas Flo Viva Mythology.

Lengan Theo berputar tiga kali secara berurutan, senjata berpindah dari tangan kanan ke lengan kanan, lalu ke lengan kiri, dan akhirnya tergenggam mantap di tangan kiri.

Setiap perpindahan terasa bagai simfoni mekanis, sebuah koreografi sempurna yang lahir dari pengalaman bertahun-tahun menulis, mengamati, dan membayangkan dunia ini.

Ia menembus batas kemampuan manusia biasa, tubuhnya menjadi jembatan antara konsep imajinasi dan realitas fisik.

Bersambung….

1
Asri Handaya
semangat berkarya ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!