Aruna hanya memanfaatkan Arjuna Dewangga. Lelaki yang belum pernah menjalin hubungan kekasih dengan siapapun. Lelaki yang terkenal baik di sekolahnya dan menjadi kesayangan guru karena prestasinya.  Sementara Arjuna, lelaki yang anti-pacaran memutuskan menerima Aruna karena jantungnya yang meningkat lebih cepat dari biasanya setiap berdekatan dengan gadis tersebut.  ***  "Mau minta sesuatu boleh?" Lelaki itu kembali menyuapi dan mengangguk singkat.  "Mau apa emangnya?" Tatapan mata Arjuna begitu lekat menatap Aruna.  Aruna berdehem dan minum sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Arjuna. "Mau ciuman, ayo!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 21
Mereka kembali masuk sekolah setelah libur beberapa hari. Aruna kali ini datang lebih pagi, gadis itu berangkat sambil jalan kaki dan menikmati suasana pagi yang cerah. Merasa lelah, Aruna menelfon Ethan untuk menjemputnya.Aruna yakin, bahwa lelaki itu belum berangkat. Lagian, dia tidak mau bergantung pada Arjuna. Statusnya masih abu-abu.
"Kenapa Run? Gue mau berangkat nih,"
"Jemput gue dong, dari apartemen lurus aja."
"Oke deh, tumben lo nggak bareng---"
Aruna segera mematikan sambungan telfon. Kemarin, saat pulang camping--- Aruna tidur sepanjang perjalanan. Gadis itu terlihat biasa saja, seolah tidak terjadi masalah. Namun, ketika Arjuna hendak mendekat---Aruna langsung mencoba menjauh.
Ethan datang beberapa menit kemudian, Aruna langsung naik ke dalam mobil lelaki itu.
"Lo kenapa nggak bareng Juna?" Ethan menoleh penasaran.
"Emang harus bareng terus ya? Udah deh, gue capek jalan kaki." Aruna bertanya balik dengan nada nyolot.
Ethan menoleh kesal. "Biasa aja kali Run, lagi ada masalah ya?" Tanyanya dengan penasaran. "Lagian kebanyakan gaya banget lo, mau jalan kaki.
Aruna mengedikkan bahunya. "Nggak ada tuh, biasa aja." Sahutnya, mulai menyalakan musik dan bersenandung riang.
Ethan kembalikan fokus pada jalanan, meski merasa aneh dengan Aruna. Tapi, ya sudahlah biarkan saja. Nanti keduanya juga akan berbaikan lagi.
Sampai di sekolah, Aruna mengajak Ethan menuju kantin untuk membeli sarapan. Gadis itu mengatakan belum makan apapun dan merasa lapar. Ethan menurut, berjalan menemani Aruna menuju kantin.
"Ini kalau Juna cemburu, gue males ribut ya Run."
Aruna mencebikkan bibirnya. "Ngapain Juna cemburu sama lo? Emang lo kenapa? Misel aja nggak pernah tuh cemburu," Sahutnya dengan santai tanpa beban.
Wajah Ethan sontak langsung murung. "Misel mah, nggak cinta sama gue. Makanya dia nggak cemburu,"
Aruna tersenyum menatap wajah Ethan yang memelas. "Lagak lo Than, makanya kalau cinta tuh tembak! Bukan main kode, lu pikir si Misel bisa scan perasaan lu lewat kode-kode."
Tumben otak Aruna encer, batin Ethan menatapnya. "Terus, gue harus nembaknya gimana? Tanyain dong Run,"
Aruna mengangguk dan terdiam sejenak. "Gue ada ide! Tapi, lo bayarin dulu nasi goreng sama susu kotak gue ya?" Tawaran tersebut terdengar begitu menarik.
Ethan mengangguk. "Iya, tapi lo janji bantu ya?" Lelaki itu menyodorkan kelingkingnya. Aruna langsung menautkan dengan semangat.
"Janji dong! Ayok, gue laper banget!" Aruna menarik lengan Ethan dengan semangat.
Pemandangan itu tidak luput dari tatapan mata Arjuna dan Raka. Arjuna langsung memutar balik, tidak jadi menuju kantin. Membiarkan Raka sendirian menatapnya heran.
Arjuna pikir, Aruna akan melupakan permasalahan keduanya dan memaafkan dirinya. Nyatanya, semua panggilan telfon dan pesan tidak dijawab sama sekali. Password apartemen pun sudah Aruna rubah. Ketika datang ke sana, gadis itu bahkan tidak membuka pintu untuknya. Arjuna mengusap wajahnya frustasi, dia tidak bermaksud menyinggung siapapun. Sepertinya, pembahasan tentang Mama Aruna begitu sensitif.
Ketika jam istirahat, Arjuna berniat menemui Aruna---gadis itu menghindar dengan cepat. Karin dan Misel tidak menanyakan apapun pada Arjuna, seolah kedua gadis tersebut sudah tahu. Ethan lah yang tidak tahu apapun.
"Runa!" Arjuna menunggu di depan toilet, ketika bel hampir masuk.
Aruna keluar dengan pandangan mata kaget. Gadis itu menyentak tangan Arjuna yang memegang lengannya erat.
"Maafin aku ya? Kamu sendiri yang bilang, kita bakal bicara baik-baik." Suara lembut Arjuna dan wajah memelasnya, tidak membuat Aruna luluh.
"Kamu sendiri yang bilang aku nggak baik, jadi aku nggak bisa bicara baik. Awas, kita udah putus ya!" Usirnya, berjalan cepat menuju kelasnya. Arjuna masih mengikuti dan mencoba mengajak Aruna bicara.
"Aku nggak pernah bilang mau di putusin." Jawabnya dengan datar. "Runa, kita perlu bicara sebentar ya?" Bujuknya dengan lembut.
"Nggak perlu!" Aruna menoleh dan menatapnya datar. "Kadang, aku pikir hidup sama kamu lebih baik dan bahagia. Ternyata sama aja, nggak ada artinya! Toh, kamu emang lelaki baik yang nggak akan pernah berbuat buruk!" Semburnya penuh emosi.
Aruna berjalan masuk dan segera duduk di dalam kelasnya. Arjuna ingin masuk, namun guru sudah lebih dulu datang. Arjuna terpaksa kembali ke dalam kelasnya. Lelaki itu tidak akan menyerah untuk membujuk Aruna. Marahnya Aruna kali ini, sangat berbeda dengan sebelumnya.
Saat pulang sekolah, Arjuna menunggu di depan kelasnya. Aruna langsung menolak mentah-mentah dan berjalan cepat bersama Ethan. Lagi-lagi, ketika ada masalah Ethan ikut pusing. Nanti, saat keduanya senang-senang, Ethan dilupakan.
Misel dan Karin yang di belakang hanya mengikuti dan menonton saja. Arjuna tak berkutik ketika Aruna naik ke mobil Ethan dan melaju meninggalkan sekolah. Lelaki itu menghembuskan nafasnya kasar, menoleh ke belakang.
"Kali ini, gue nggak bisa bantuin lo. Mungkin, menurut lo pribadi--- apa yang lo ucapkan ke Runa, nggak salah. Begitu pun Runa, menurut dia--- apa yang dia lakuin nggak salah." Misel mengangguk setuju dengan ucapan Karin. "Lo nggak ngerasain apa yang Runa rasain, Jun. Sakit hatinya, lukanya, sama traumanya dia." Lanjut Karin dengan suara datar.
"Tentang apa yang lo ucapkan, itu prinsip hidup dan pandangan lo, Juna. Gue tahu niat lo baik, tapi Aruna nggak harus satu visi dan misi sama lo. Lo tahu nggak, kadang dalam hidup---kita nggak bisa memaksa seseorang berubah dengan cepat. Sejak lama, Aruna selalu meyakini bahwa rasa sakit juga harus dibalas dengan hal yang sama." Arjuna terdiam mendengarkan tanpa menyela. Begitu pun Misel, diam menyimak ucapan serius Karin.
"Tapi, gue salut sama lo yang mau minta maaf sama Aruna." Karin menepuk pundak Arjuna.
"Gue setuju sama Karin, kalau pun lo mau untuk kembali sama Runa--- lebih sabar lagi ya?" Misel menatap sorot mata Arjuna yang terlihat lesu. "Kalau gagal, coba lagi. Jangan menyerah, Jun. Satu hal lagi, Aruna sensitif kalau lo coba cegah apa yang udah dia rancang. Dia bakal merasa kalau lo cuma jadi penghalang aja,"
Arjuna tersenyum dan mengangguk. Haruskah dia menuruti kemauan Aruna? Meski hal tersebut bukan hal baik. Balas dendam? Aruna terlalu berambisi dengan hal tersebut. Mungkin, membuat Sisil sakit hati hanya sebagian kecil dari rencana Aruna yang dirinya tahu. Kadang, Aruna menyimpan banyak sekali kejutan.
"Makasih," Arjuna tersenyum tulus dan berbalik menuju motornya. Lelaki itu akan menemui Aruna di apartemennya.
Kali ini Arjuna membawa donat dan minuman kesukaan Aruna. Lelaki itu sudah membunyikan bel sejak tadi, namun tidak ada tanda-tanda akan dibuka.
"Halo boy! Mau cari Aruna ya?!" Sapaan manis bernada centil, membuat Arjuna menoleh dan mengangguk.
Aruna sudah bercerita tentang Tante Wina, tetangga samping apartemennya. Seorang janda cantik yang memiliki usaha salon. Wanita yang katanya akan Aruna jodohkan dengan Papanya. Arjuna kadang heran, Aruna hanya bercanda atau sungguhan.
"Iya Tante, tapi kayaknya Aruna nggak ada deh. Jadi, Juna boleh nitip buat Runa?"
Kening Wina mengkerut, wanita itu sudah tahu bahwa Arjuna kekasih Aruna. Wanita itu lekas membuka ponselnya dan menelfon Aruna.
"Halo Pretty, kamu di mana?"
"Dalam apartemen, lagi nonton film seru banget! Tante mau join?"
Wina tertawa ringan. "Boleh, Tante bawa camilan nih buat kamu! Udah di depan pintu kamu,"
"Oh itu Tante? Ya udah, Aruna keluar bentar!"
"Aruna ada kok, kamu mau pulang atau masuk boy?" Wina bertanya penasaran.
"Masuk," Jawabnya pelan.
Dengan semangat Aruna bangkit dari duduknya. Gadis itu berlari menuju pintu dan segera membukanya lebar. Senyuman riangnya perlahan memudar, ketika melihat Arjuna berniat ikut masuk. Aruna segera mencegahnya masuk, setelah mempersilahkan Wina masuk.
"Disini kawasan orang buruk, jadi cowok baik dilarang kesini. Sana, lo pergi temuin Sisil aja!" Usirnya dengan garang. Aruna bergegas menutup pintu sebelum Arjuna mengucapkan apapun.
Wina mengerjab kaget ketika Aruna menutup pintunya dengan kencang. Langkahnya mengikuti si gadis remaja yang terlihat sedang galau. Wanita itu menaruh di meja kantung kresek titipan Arjuna. Aruna langsung membukanya dan memakan donat tersebut. Emosi membuatnya lapar dan haus.
"Enak kan?" Aruna mengangguk.
"Tante nggak mau?" Tawar Aruna, Wina langsung mengambil sepotong.
"Sebenarnya, ini dari pacar kamu." Aruna langsung tersedak seketika. "Eh! Makan aja! Udah dibeliin sama dia juga. Dia udah nunggu kamu, ih untung tuh cowok sabar. Coba mantan suami Tante, udah ngamuk dia!"
Aruna akhirnya mengangguk dan mengambil minuman dari kantung kresek satunya. Dia memberikan satu untuk Wina.
"Tante gimana? Udah ketemu papi aku belum?" Wina mengangguk.
"Belum apa-apa, Tante udah dilabrak sama istrinya. Ih serem banget, padahal Tante belum flirty-flirty. Tante udah effort dandan cantik padahal!" Keluhnya sambil menyeruput minuman rasa matcha.
"Bahkan pelakor pun takut miliknya direbut, jadi sejenis dia tahu ya---mana yang bisa jadi ancaman." Aruna tersenyum, sementara Wina mengangguk membenarkan.
"Jadi, kamu mau Tante gimana lagi?"
Aruna tampak berpikir sejenak. "Tante kerja di kantor papi ya?" Mohonnya dengan wajah memelas.
"ARUNA! Kali ini kamu benar-benar ya, Tante tuh males suruh mikir-mikir!" Wina menatapnya kesal.
"Ya gimana lagi, kan kita lagi jalanin misi. Masa mau stagnan? Siapa tahu, di kantor papi---tante ketemu cowok berondong ganteng kan?"
"Kalau Tante maunya pacar kamu gimana?" Wina mengedipkan sebelah matanya. "Di lihat-lihat, tampangnya oke banget. Auranya kaya cowok-cowok bau duit!"
"IH! Nggak boleh! Cuma punya Aruna ya!" Sewotnya menatap Wina yang tertawa.
"Salah sendiri di sia-siakan, kalau Tante si udah luluh ya. Terus, kapan kamu mau baikan?" Aruna berdecak.
"Nggak dulu deh, nanti tunggu satu tahun dulu." Jawab Aruna asal-asalan, mengundang cubitan pada pipi kanannya.
"Kalau pun mau cepet di maafin, syaratnya Juna jadi jahat dulu!"
Selain mencubit, Wina juga menjewer pelan telinga Aruna. "Dasar, anak nakal kamu. Udahlah, buat Tante aja fixx. Kalau dia nggak bisa masuk apartemen kamu, Tante ajakin masuk apartemen Tante deh! Soalnya, dia selera Tante banget---type cowok goodboy, softboy sama bau duit."
Godanya pada Aruna.
"Ih Tante mah! Nggak asik deh kalau gitu, Tante jangan jadi pelakor hubungan aku. Cocoknya tuh sama papi, nanti aku mau ketemu papi." "
"Ngapain ketemu papi kamu? Biasanya papi kamu kesini juga ditolak," Wina menatap Aruna heran.
Aruna mengecilkan volume televisi yang tiba-tiba berubah keras karena ada adegan menyeramkan. "Morotin duitnya lah, enak aja cuma dikasih istri kedua!" Sahutnya tidak terima.
Wina mengangguk setuju. "Kamu jangan mau kalah dong, minta aset atau apa kek. Sebelum semua hartanya di kuasai mereka,"
Mengenai hal tersebut, Aruna sudah memiliki rencana sendiri. Tidak mungkin kan istri kedua mendapatkan semuanya? Enak saja. Aruna justru berniat membuat keduanya diusir oleh papinya.
"Makanya, Tante tuh harus bantuin aku. Nanti, aku kasih deh mobil baru, mau kan?"
"Maunya pacar kamu, boleh nggak?"
Aruna melotot dengan tajam, wajahnya sudah memerah. "NGGAK! Lagian Juna tuh udah cinta banget sama aku!" Sombongnya, menatap Wina remeh.
"Oh ya? Buktinya dia pulang tuh. Nggak nungguin kamu lagi, pasti capek deh sama cewek keras kepala." Cibirnya menatap Aruna yang cemberut.
"Aku tuh bukan keras kepala, tapi cinta kan butuh di perjuangkan. Juna harusnya berjuang lah," Wina angkat tangan menyerah. Susah sekali memang memberi tahu Aruna.
"Udah deh, tante tuh terima aja aku kasih papi sama mobil. Kalau Juna, dia udah aku kasih label punya Aruna Sasmita!"
Wina tergelak lucu. "lya deh, yang punya Aruna Sasmita. Tante nggak mau papi kamu, cuma mau mobil baru aja ya?" Aruna mengangguk setuju.
Wina tersenyum senang. Mencium pipi berisi Aruna cepat. Keduanya kemudian asik menonton televisi dan menghabiskan donat yang tersisa karena Arjuna membelikan banyak sekali donat. Jangan luluh dulu, batin Aruna menguatkan diri. Meski dirinya sudah merindukan pelukan hangat Arjuna. Biar, Aruna ingin melihat sejauh mana perjuangan Arjuna. Awas saja, jika Arjuna menyerah.