Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22. Tak Bisa Menahan Diri
22
"Kalian ngapain disini jam segini, hah?" Aldrich bertanya heran pada Liang dan Allen, menatap keduanya bergantian.
"Gak, Mas. Tadi Allen gak bisa tidur, jadi kita ngobrol sebentar." aling Liang.
"Gak bisa tidur? Makanya aku bilang tidur di ranjang aja. Dia kan lagi gak fit." Aldrich mendelik tajam ke arah Allen yang kembali gelisah karena takut Aldrich akan mendesaknya.
"Tapi Allen udah baikan kok. Iya kan, Al?" Liang langsung menyerobot, tak lupa ia mengedipkan sebelah mata kepada Allen sebagai isyarat.
"I-iya, Mas. Koko bener. Ini aku udah mulai ngantuk kok." Allen merentangkan kedua tangannya sambil pura-pura menguap.
"Ya udah kalo gitu." Aldrich tak ambil pusing lagi.
Ia pun kembali ke dalam, membuka kaosnya dan melemparnya sembarangan. Lalu menghempaskan tubuh besarnya ke atas ranjang hingga pegasnya bekerja dengan sempurna.
Allen sudah duduk di sofa, matanya berat tapi pikirannya justru liar menari. Kaos yang tadi dilempar Aldrich tanpa sengaja mendarat di wajahnya. Ia sempat hendak menyingkirkan benda itu, namun aroma lembut khas tubuh pria itu seperti membiusnya. Ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan, paduan wangi sabun dan parfum mahal, dan sesuatu yang begitu... Khas Aldrich.
Pelan-pelan, kelopak mata Allen terpejam. Dalam lelapnya, dunia mulai kabur, berganti dengan ruang samar di mana cahaya bulan memantul lembut pada kulit.
Dalam mimpi itu, Aldrich berdiri di hadapannya, mengenakan kemeja yang setengah terbuka, menatapnya dengan mata teduh namun dalam. Ada jarak di antara mereka, tapi juga magnet tak kasat mata yang menarik semakin dekat.
Allen merasa napasnya berat ketika jemari Aldrich menyentuh sisi wajahnya, gerakannya penuh kehati-hatian, seolah menyentuh sesuatu yang rapuh. "Kenapa sembunyi, Allen?" suaranya terdengar serak tapi lembut.
"Aku gak sembunyi kok, Mas. Aku selalu ada di sisi Mas Aldrich."
"Makasih ya, Al. Sejak ada kamu, hidupku jadi lebih berarti. Kamu benar-benar mengubah cara pandangku terhadap perempuan. Kamu beda."
Allen tak sanggup menjawab. Yang bisa ia lakukan hanyalah menatap balik dengan mata sendu, matanya bergetar karena gugup dan takut dan sesuatu yang lain yang lebih dalam.
Aldrich menunduk, menyesuaikan tinggi badannya dengan Allen. Namunjarak di antara mereka nyaris hilang. Udara di sekitar pun berubah menjadi hangat seketika, denyut jantung Allen berdentum seperti gendang di telinganya. Ia tak tahu siapa yang lebih dulu bergerak, hanya tahu bahwa sentuhan itu membuat tubuhnya bergetar hebat.
"Boleh Mas ci_um kamu?" Aldrich meminta izin, namun tersirat jelas lewat bola matanya bahwa keinginan itu telah menggebu-gebu.
Allen tak berani menjawab, namun tindakannya yang perlahan mengulum bibirnya sendiri seolah sebuah kode keras bahwa dirinya juga menginginkan Aldrich.
Tanpa banyak kata lagi, bi_bir Aldrich mendekat dan menangkap pelan milik Allen yang lembut. Ciu_man itu tidak terburu-buru, seperti menikmati tiap inci jarak yang perlahan lenyap. Semua terasa begitu nyata, begitu lembut... namun penuh gai_rah.
Meski kini hidup Aldrich terkesan kaku dan hampa, rupanya ia sangat piawai dalam berekspresi. Ia menikmati bi_bir Allen dengan penuh cinta. Allen pun seketika nampak sangat terbuai. Dengan mata terpejam, ia menyambut kemesraan itu dengan sepenuh jiwa hingga tak sadar ketika Aldrich telah menyusupkan tangannya ke balik kaosnya.
"Mas... " Allen agak kaget namun bukannya marah ia justru menginginkan Aldrich menja_mahnya lebih jauh.
"Kamu mau kan?" pertanyaan yang mengandung sejuta makna itu mendapat anggukan pelan dari Allen pertanda ia sudah tersulut bira_hi.
Aldrich menuntun Allen ke tempat tidurnya. Berharap dapat menyalurkan has_rat yang selama ini ia abaikan.
Namun sesaat sebelum jarak benar-benar hilang, suara debur ombak dari luar vila memecah keheningan. Allen terbangun dengan napas terengah, jantungnya berpacu seperti usai berlari jauh.
Kaos Aldrich masih ada di tangannya. Ia menatap benda itu lama, pipinya memanas tanpa alasan.
“Ini cuma mimpi,” bisiknya pelan, tapi wajahnya tetap memerah hingga ke telinga.
**
Sementara itu di tempat lain, suasana berbeda benar-benar terasa. Kediaman Ranvir Singh.
Ayumi yang sedang mengenakan gaun tidur berwarna lembut berjalan pelan ke ruang kerja tempat Patrick sedang menata dokumen hasil rapat siang tadi. Aroma parfum mahal milik wanita itu samar tercium, membuat ruangan yang tadinya biasa saja kini terasa lebih hangat dan beraroma mewah.
“Patrick, kamu kerja terus ya… emang kamu gak capek?” tanyanya dengan nada manja, sambil menepuk bahu pria itu ringan. Sentuhan kecil itu mungkin tampak biasa, tapi Patrick jelas merasa jantungnya berdebar tak karuan.
Ayumi tersenyum kecil, matanya berkilat nakal seperti sedang menguji sesuatu. “Kamu tahu gak, kamu ini jauh lebih rajin daripada asisten lamaku. Kalau semua asisten kayak kamu, aku mungkin gak akan stres.”
Ia tertawa pelan, lalu merapikan kerah kemeja Patrick dengan alasan remeh, padahal tak ada yang salah dengan kerapian itu.
Patrick mencoba tetap tenang. “Saya cuma berusaha melakukan pekerjaan saya sebaik mungkin, Mbak Ayumi,” katanya sopan. Namun suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.
Ayumi mendekat sedikit, cukup dekat hingga Patrick bisa merasakan kehangatan napasnya. “Hm… jangan terlalu formal gitu deh,” ucapnya lembut. “Panggil aku Ayumi aja, kayak dulu orang-orang memanggilku waktu masih sering syuting. Aku suka dengar itu.”
Patrick hanya mengangguk, tak tahu harus berkata apa. Dalam diam, Ayumi tersenyum puas, lalu mengambil pena di tangannya, padahal ada banyak di meja, hanya untuk membiarkan jemarinya bersentuhan sebentar dengan tangan Patrick.
Tak hanya itu, Ayumi sengaja duduk di sudut meja tepat di hadapan Patrick hingga bagian ba_wah dari gaun tidurnya terangkat dan menampakkan pa_hanya yang mulus.
Patrick menelan ludah pelan, menunduk, pura-pura fokus pada pekerjaannya lagi. Tapi bukannya menjauh, Ayumi justru tak menyerah dan menggeser posisinya lebih mendekat hingga ia naikkan salah satu ka_kinya di pang_kuan Patrick.
Terang saja Patrick yang merupakan pria normal merasa hal tersebut merupakan suatu godaan yang besar. Namun Ayumi nampaknya sudah tak mampu lagi menahan dirinya.
"Patrick, kamu yakin gak mau ini?" Ayumi nekad menurunkan bagian depan gaunnya hingga dua buah bongkahan padat berebutan meloncat keluar.
Mata Patrick membelalak, ia tak lagi dapat menjaga sikapnya. Sangat sulit karena senjatanya pun sudah menonjol di balik cela_na.
"Ayo, Patrick. Kalo kamu gak mau, aku simpen lagi nih." Ayumi menggoda dengan gaya na_kalnya. Membusungkan dada agar terlihat lebih menonjol.
"Serius boleh, mbak... Em_Ayumi?" Patrick ingin memastikan sambil meremas tangannya sendiri.
"Iya, boleh. Kamu boleh pe_gang dan... i_sep juga lho." Ayumi benar-benar sudah sa_nge tingkat dewa.
"Boleh i_sep juga? Aku mau!" Sambut Patrick penuh semangat, demikian juga dengan Ayumi.
.
YuKa/ 251025
aku traveling sama petrick deh ih ..masak cuma di gosok doang dah nyembur 🤣
Entah itu yang disebut cinta atau hanya simpati karena mereka menganggap mu seperti saudaranya sendiri..
Gitu loh Mas Aldrich.. 🤣🤣
makin penasaran aku jadinya
apakah Aldrich sdh tahu kebenarannya?
tapi dia pura-pura saja
berlagak tidak mengetahuinya
geregetan banget aku dibuatnya
semoga segera tiba waktunya
Aldrich membongkar penyamaran Allea
pasti kutunggu momennya
love love kak Yuka ❤❤❤
Terima kasih up nya🥰🥰🥰
tenang Len, awalnya hanya mimpi, tapi pelan tapi pasti akan jadi kenyataan
Untung aja Koko baik hati, setidaknya beban Allen sedikit ringan. Kalopun Aldrich tau semoga reaksinya kaya Koko.
Mulai seru nih.. lanjut Mak 💪😍