"Sedang Apa Kalian?"
"Wah! Mereka Mesum!"
"Sudah jangan banyak bacot! Kawinin Pak saja! Kalo gak mau Arak Keliling Kampung!"
"Apa?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiara Pradana Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
"Pagi Den Karim. Silahkan masuk. Bapak sudah nunggu di dalam."
"Makasi Pak, Saya masuk dulu ya."
"Iya Den, silahkan."
Setelah bertegur sapa dengan pekerja di Kediaman Ayahnya, senyum Karim kembali surut.
Dengan langkah mantap, Karim menapaki anak tangga yang terasa membuat langkahnya semakin berat.
Bukan karena lelah tapi banyak spekulasi dan juga sudah tahu kemana arah pembicaraan yang akan Ia obrolkan dengan Sang Ayah.
"Tuan, Den Karim sudah datang,"
Karim melihat, Sang Ayah sedang duduk santai di kursi taman, ditemani Sang Wanita yang bergelar Ibu Sambung bagi Karim namun tak pernah sedikitpun Karim menerima status tersebut meski Sang Ayah sejak awal kemunculannya menegaskan dengan diplomasi.
"Karim, kesini, sudah lama Kamu tidak datang." Sapa Ramah dan lembut Si Ibu Tiri bagi Karim hanya basa basi busuk yang mampu membuat rasa muak Karim semakin menjadi.
Karim masih berdiri, hingga lirikan Sang Ayah tang kembali menatap kolam Ikan Koi yang sedang diberi makan membuat Karim akhirnya duduk.
"Ada apa Ayah manggil Karim?"
Kertanegara. Nama Ayah Karim. Pria yang kini sudah sepuh, rambutnya sepenuhnya sudah memutih namun kharisma dan wibawanya belum juga luntur bagi siapa saja yang melihatnya.
Tapi tidak bagi Karim. Sosok yang dulu Ia banggakan dan Ia sanjung setinggi langit, seketika runtuh, saat Karisma, yang Karim panggil drngan Tante Risma datang dan diakui Sang Ayah sebagai Istri Muda.
Sebuah kenangan yang selalu mampu menyedot ingatan buruk Karim akan pengkhianatan yang dirasakan Kemala Nirwana Putri, Mala, Ibu Kandung Karim yang sudah berpulang karena penyakit Kanker yang dideritanya.
Saat itu, Sang Ayah, memperkenalkan Karisma, yang tak lain adalah Sekretarisnya di Kantor sebagai Madu dari Sang Ibu.
Karim yang baru berusia belasan tahun kala itu begitu marah. Rasa sayang, bangga dan hormatnya pada Sang Ayah seketika luntur.
Karim tak menyangka, keharmonisan yang Ayahnya perlihatkan semua hanya topeng belaka.
Dan setelah kenyataan pahit , pengkhianatan Sang Ayah, Karim harus kembali dikejutkan bahwa fakta sesungguhnya Bundanya, Bunda Mala divonis Kanker stadium empat.
Runtuh dan hancur hati Karim. Keluarga harmonis yang selama ini Ia miliki perlahan mulai hancur dan tak bersisa.
Puncaknya saat Sang Mama rupanya sudah selesai berjuang melawan sakit yang diderita dan berpulang kepada Sang Maha Kuasa, membuat Karim berubah menjadi pribadi yang tertutup dan pendiam.
Karim tumbuh dari rasa sakit dan kehilangan. Karim terbentuk menjadi pria yang tak banyak bicara dengan segudang luka dan amarah.
"Batalkan pernikahan Kamu dengan Gadis Kampung itu. Kembalilah pada Karina."
Bukan jawaban, tawa Karim menyita perhatian Pak Kertanegara dan Bu Risma hingga keduanya saling beradu pandang.
"Ada yang lucu?" Pak Gara, biasa Atah Karim dipanggil mengernyitkan dahi, mendapati Sang Putra malah tertawa sedangkan sejak mendengar Karim mendadak Nikah dengan Gadis yang tak jelas asal usulnya sukses membuat Sang Ayah Geram.
"Sangat Lucu!" Tak sejalan dengan tawa yang menggelegar dari bibir Karim, tatapan Karim tak ubahnya sebilah pedang yang menghunus pada Ayah dan Ibu Tirinya.
"Karim, Kamu jangan buat Ayahmu marah Nak, Kesehatan Ayahmu sekarang sudah," Kalimat Risma, Sang Ibu Tiri terjeda saat Karim angkat bicara.
"Soal pernikahanku, Kalian tidak perlu ambil pusing. Aku lebih tahu mana Wanita yang terbaik bagiku. Aku menikahinya karena Dia adalah Wanita baik-baik dan bukan Wanita tukang selingkuh apalagi Perebut Suami orang!"
"Karim! Jaga bicaramu!" Kertanegara dengan sorot mata menusuk, amarahnya melonjak tajam menatap balik Sang Putra yang sejak dulu sudah membawa dendam dan selalu bersebrangan dengannya.
"Salah yang Karim katakan? Atau Ayah tersinggung dengan kata-kata Karim? Karim harap, Ayah kali ini tidak ikut campur soal siapa yang akan menjadi pendamping Karim. Cukup sekali Ayah ikut campur akan pernikahan Karim. Dan Wanita pilihan Ayah dan Dia, rupanya tak lebih dari Wanita Sundal!"
"Karim!"
"Mas!"
Bu Risma memastikan Sang Suami baik-baik saja, sebelum akhirnya Ayah Karim, Pak Kertanegara memilih dibawa ke kamar, beristirahat.
Karim menatap nanar. Pria yang pernah Ia hormati dan banggakan entah kemana perginya, berganti pria paruh baya yang buta mata hatinya bagi Karim.
"Kamu boleh membenciku, tapi bagaimanapun, Dia Ayahmu, perlakukanlah Ayahmu dengan hormat dan turuti keinginannya. Ayahmu sedang sakit dan Aku harap Kamu mau mempertimbangkan permintaannya."
Langkah Karim terhenti, kedua rangan Karim mengepal di sambung kanan dan kiri, tubuhnya perlahan berbalik, berjalan mendekat kearah Sang Wanita perusak rumah tangga Ibunya.
"Silahkan Anda urus Ayah Saya. Toh itu sudah menjadi tugas Anda sebagai Wanita yang sudah berhasil merebut Suami dari seorang Perempuan yang sudah menolong Anda dari jalanan. Jangan pernah mengatur hidup Saya, karena sejak dulu sampai saat ini, bagi Saya Anda hanyalah benalu dan sudah sepantasnya Anda tahu diri dan cukup diam!"
Karim berbalik. Melangkah cepat. Nafasnya memburu. Amarahnya sudah hampir meledak.
Semua pegawai yang melihat kepergian Karim berbisik, meski kembali membungkam bibir karena paham memang sejak dulu sudah bagai sekam dan bara hubungan Karim dan Tuan Kertanegara.
Karim masuk ke dalam mobil, segera meninggalkan rumah yang menjadi tempatnya bertumbuh sejak kecil sekaligus rumah yang pertama kali menorehkan luka teramat dalam.
"Akh!" Karim memukul kemudi. Nafasnya memburu. Naik turun. Pertanda hati dan jiwanya sedang rak baik-baik saja.
Karim memilih menepi. Sejenak menetralkan diri. Jantungnya terlaku bergemuruh, berpacu dengan sisa amarah yang Ia bawa.
Ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk.
Sebuah Foto. Tama, Adik Iparnya mengirimkan foto Kartika.
Dalam foto, Kartika tampak tersenyum. Cantik. Manis.
"Mas, Mbak Tika Cantik ya?"
Bagai mendapat udara ditengah sedak dan gersang suasana hatinya, Karim membalas.
"Mas OTW, Jangan bilang Mbak Tika, Kejutan."
"Oke. Mas. Cie, Romantisnya Kakak Iparku 🤣."
Karim meletakkan kembali ponselnya. Melajukan mobil, menuju Gedung tempat Kartika berada.
"Kenapa Kami mesam mesem begitu?" Kartika mengernyitkan dahi, melihat Tama dengan ponselnya sungguh mencurigakan.
"Gapapa. Sana Mbak! Aku lagi ada bisnis!"
"Gayamu!"
"Tika, ini Mbaknya mau tanya!" Bu Kartini dan Pak Kartono yang turut mendampingi Kartika.
Tanpa Kartika tahu, sejak tadi Tama secara diam-diam, memvideokan semua aktivitas yang Kartika lakukan dan mengirimnya kepada Karim.
***
"Jadi, Karim besok akan menikah?"
"Justru itu, Kamu seharusnya bisa mencegah pernikahan itu. Bukannya malah membuat Karim semakin membenci Kamu."
"Tapi Tante, Karim bahkan benci banget sama Karina. Nomor Karina beberapa kali di blokir. Karena sudah datangi Karim, tapi yang ada malah Karim ngusir Karina."
"Semua terserah Kamu. Yang jelas, kalau Kamu sudah tidak bisa Tante andalkan jangan salahkan kalau Tante tidak lagi butuh bantuan Kamu dan Kamu tidak usah lagi berurusan dengan Keluarga Kami!"
"Tante! Tante Risma, dengar dulu! Tante! Akh!"
Karina membanting ponselnya. Rencananya berantakan dan kini entah harus bagaimana lagi cara Karina untuk bisa mendekati Karim.